Kamis, 06 Januari 2011

Orang Waras, Bingung Menyikapi Kebijakan SBY

Siapa pun Anda dan di mana pun Anda berada, pasti bingung menyikapi kebijakan pemerintah yang dikomandani Presiden SBY. Tak terkecuali SBY sendiri. Koq bisa? Baca Kompas hari ini (7/1), Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam jumpa pers di Jakarta membuat kesimpulan mengejutkan, tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden SBY terus menurun. 

Penurunan tingkat kepuasan publik tersebut bisa jadi disebabkan oleh hiruk pikuk masalah hukum (baca: korupsi dan penyelewenangan apara penegak hukum), yang semakin terkuat. Hal itu belum terhitung dengan perilaku Wakil Rakyat baik di pusat maupun di daerah, yang lebih suka ngelencer dengan dalih melakukan studi banding maupun kunjungan kerja antar-parlemen. Hal-hal semacam itu tidak pernah terdengar pada masa Orde Baru, tatkala rezim Soeharto berkuasa.

Di samping itu, aksi unjuk rasa yang marak di sana-sini, apakah dengan cara damai atau anarkhi, diyakini telah pula menyumbang poin turunnya tingkat kepuasan. Situasi semacam itu masih ditingkahi maraknya publikasi aktivitas pornograsi dan pornoaksi melalui berbagai sarana komunikasi, baik media umum maupun pribadi. Dari berbagai hasil jajak pendapat terhadap perilaku seks bebas remaja seusia sekolah, juga menunjukkan tren kenaikan.

Tak hanya berhenti di situ. Gara-gara statemen Presiden SBY soal undang-undang khusus tentang keistimewaan Yogyakarta, terbukti semakin memburuk potret pemerintahan SBY periode kedua ini. Keadaan tersebut masih belum menghitung beruntunnya bencana alam, seperti gunung meletus, tsunami, dan banjir bandang, yang seolah ikut memberi warna tentang kondisi kekinian kita yang sejak zaman dulu dikenal sebagai negeri yang gemah ripa loh jinawi ini.

Sudah selesai? Ternyata, belum. Cermati saja opini, pernyataan, serta pendapat kalangan pakar –maupun yang mengaku-aku pakar– termasuk kaum rohaniwan, dalam menyikapi situasi negeri ini yang tersiar melalui pelbagai media massa. Nyaris tidak ada yang bernada positif. Sampai-sampai Wakil Presiden Boediono dalam suatu kesempatan menyatakan harapannya, agar warga negara ini jangan suka menjelek-jelekan bangsa sendiri.

Berharap yang Salah
Apa pun situasinya, Penulis berpendapat, negeri ini telah lebih baik daripada era Orde Baru. Jika ada sebagian –khususnya yang menjadi responden LSI– yang melihat begitu banyak keburukan terjadi pada fase pemerintahan SBY, itu wajar. Sebab apa yang dipaparkan LSI itu hanyalah sekumpulan persangkaan, dalam Bhs. Jawa disebut penyongko. Dan, setiap persangkaan pasti tidak memiliki kebenaran mutlak. Maka, mempercayai persangkaan sebagai ukuran kebenaran, merupakan kesesatan berpikir yang radikal dan parah.

Presiden SBY maupun pemerintahan SBY dalam renungan keimanan dapat menjadi berhala bilamana kita berharap kebaikan datang daripadanya. Dengan kata lain, sosok SBY maupun kabinet pemerintahan yang dibentuknya dapat mewujud menjadi aghyar wujudiyyah –dipahami sebagai penghalang/hijab bersifat fisik– yang mengandung kegelapan (dzulmatun). Padahal sebagai manusia, mahkluk yang diciptakan Tuhan, Presiden SBY tentu tidak memiliki kemuliaan hakiki, kecuali kemuliaan semu.

Dalam kontek berpikir yang demikian, jika menurut cermatan lahir kita melihat banyak keburukan di negeri ini, hal itu hakikatnya merupakan konsekwensi setelah Republik ini menerapkan kebijakan yang menginginkan semuanya serba terbuka dan transparan. Ibarat diri kita yang semula menggunakan kacamata berlensa hitam, yang menyebabkan semua benda terlihat berwarna hitam, kini kita menggunakan lensa yang tak berwarna (baca: transparan). Sehingga segala sesuatu yang semula tersembunyi, menjadi terlihat jelas dan kasat mata.

Penulis merasakan, keburukan yang saat ini tengah menerpa Republik ini merupakan bagian dari proses menuju kebaikan. Semua warga bangsa ini tentu tidak ingin kembali pada masa pemerintahan yang penuh dengan kemunafikan. Keseluruhannya terlihat seakan serba teratur serta penuh kemajuan dalam pembangunan. Ada tata niaga di berbagai bidang, termasuk perdagangan dan pertanian. Tata niaga itu semua diatur dan dikendalikan oleh keluarga, kerabat, serta kroni-kroni presiden.

Andai negara ini terlihat seperti sosok manusia, saat ini tengah menderita sakit perut. Terasa mulas, sebab banyak kotoran yang ada di dalam usus besar tapi tak juga mau ke luar. Satu-satunya jalan, kita wajib minum obat –yang tentu saja tidak terasa enak– agar segala kotoran yang bermukim dan bersembunyi ditubuh ini terkuak. Selanjutnya, setelah reaksi obat bekerja optimal dan kotoran itu keluar, Penulis yakin kita bakal merasakan kenikmatan yang luar biasa. Bersyukur dan berharaplah semata hanya kepada Tuhanmu, jangan kepada selain-Nya. Termasuk Presiden SBY dan kabinet pemerintahannya. 

Masih adakah WC yang kosong???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar