Jumat, 21 Januari 2011

Negara Bodoh yang Akui John Grice Agen CIA

Sudah menjadi semacam “kode etik” di kalangan penjahat, bila di antara mereka tertangkap aparat, wajib tutup mulut. Jika mereka terpaksa, lantaran disiksa wajib menyebutkan nama, tentu ia akan menyebut nama orang yang sudah mati atau orang yang bakal sulit dilacak keberadaannya. Itulah sebabnya dalam berbagai ekspos hasil operasi aparat yang diberitakan media massa, selalu ada nama-nama lain yang kemudian diberi label DPO (daftar pencarian orang) dan ternyata sulit ditangkap.

Pernyataan itu merupakan salah satu kesimpulan dari hasil kajian melalui metode PAR (Participation Action Research) yang dilakukan Penulis terhadap empat lokasi Rutan (Rumah Tahanan Negara) maupun Lembaga Pemasyarakatan di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Tersangka maupun terdakwa yang tidak melaksanakan “kode etik” semacam itu dipastikan bakal dikucilkan dari komunitas mereka.

“Kode etik” semacam itulah yang patut diduga digunakan oleh Gayus HP Tambunan tatkala menyebutkan John Grice atau John Jarome, adalah agen CIA. Itu dilakukannya guna menyembunyikan aktor yang sesungguhnya. Bila prediksi tersebut benar, maka benar pulalah mengenai keberadaan pengusaha yang selama ini berada di balik aksi-aksi kontroversial mantan pegawan Dirjen Pajak itu. Bisa jadi pernyataan Gayus tentang keberadaan “Big Fist” tatkala membacakan pembelaannya di muka sidang bukanlah isapan jempol.

Itu berarti eksisten John Grice atau John Jarome, yang menurut Gayus, merupakan agen CIA merupakan strategi untuk mengalihkan titik fokus. Sebab kalau pun benar, warga negara AS berkulit hitam itu adalah agen Badan Pusat Intelejen negara Adidaya itu, sudah pasti tak bakal diakui. Hanya negara bodoh yang mengakui dan berterus terang bahwa pelaku tindak pidana pemalsuan paspor tersebut adalah agen spionasenya.

Jalan Buntu
Berpijak dari analisis di atas, siapa pun aparat Republik ini yang berusaha keras mencari tahu siapa sesungguhnya John Grice atau John Jarome, bakal menemui jalan buntu. Mending energi para aparat penegak hukum kita yang semakin loyo itu, dikerahkan untuk menyelidiki keterlibatan oknum-oknum di Dirjen Pajak maupun para pengusaha yang selama ini terlibat kolusi. Termasuk keterlibatan Milana Anggraeni, istri Gayus dalam berbagai aksi suaminya itu.

Penulis yakin, tak hanya istrinya, setiap orang di negeri ini tentu mahfum bahwa pada saat Gayus melancong ke luar negeri, posisinya dalam status orang tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua, Jakarta. Maka, tatkala tiba-tiba Gayus muncul di depan istrinya, sang istri pasti terkejut dan tahu ada “sesuatu” yang aneh dengan keberadaan suaminya koq bisa berada di luar tahanan. Bahkan ketika kemudian mereka berdua dapat kluyuran ke luar negeri. Karena itu pernyataan Polri bahwa sampai saat ini belum ditemukan unsur dugaan tindak pidana yang dilakukan Milana Anggraeni, merupakan statemen yang prematur dan menggelikan.

Seperti dapat dipahami, warga bangsa ini sudah semakin cerdas. Era komunikasi modern yang mengiringi jalannya Orde Reformasi Republik ini telah membuka berbagai lubang-lubang informasi. Nyaris tak ada lagi strategi serta kemampuan teknologi yang dapat menghambat/menghadang gerakan arus informasi yang bergeral lalu lalang setiap saat. Kasus situs WikiLeaks, tentunya membuka telah membuka mata kita, bahwa sehebat-hebatnya kekeguman kita terhadap kemampuan Pusat Analisis Data milik Pentagon AS, ternyata rapuh juga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar