Senin, 12 April 2010

Mafia Hukum Di Daerah Masih “Bebas”

Kendati peluit komandon dan genderang perang telah dibunyikan, tindak mafia hukum di daerah masih terus berlangsung. Pungutan tak resmi masih saja terjadi di ruang-ruang pengadilan negeri dengan dalih untuk ini dan itu, yang tak jelas dasar hukumnya. Dan, para advokat yang mewakili kepentingan pencari keadilan tak dapat berbuat banyak, bahkan tak sedikit yang justru terjebak dalam “permainan” tak senonoh itu.


Satgas mafia hukum yang kini tengah asik mansyuk menangani perkara Gayus Tambunan begitu sibuk, seolah sudah membongkar seluruh kejahatan mafia hukum di Republik ini. Tiap hari wajah-wajah mereka menghiasi hampir di seluruh media massa cetak maupun elektronik, karena statemen-statemen mereka yang bombastis dan menarik minat publik. Sementara markus-markus di daerah masih tertawa menyeriangi, hingga tampak gigi taringnya bak vampire yang senantiasa haus darah.

Ambil contoh, di salah satu pengadilan negeri di Malang, biaya resmi untuk mengajukan eksekusi hanya Rp 10 juta. Sesuai prosedur, pihak pemohon eksekusi wajib mengajukan surat permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri setempat melalui kepaniteraan. Pihak pemohon, yang lazim diwakili kuasa hukumnya memang menerima kwitansi pembayaran resmi senilai Rp 10 juta, tapi dapat dipastikan mereka membayar lebih dari itu. Berapa?

Tidak dapat dihitung secara matematis. Sebab jumlah yang harus dibayar tergantung pada nilai harga atas obyek yang bakal dieksekusi. Karenanya, harga yang harus dibayar bisa lima kali lipat, atau bahkan lebih dari sepuluh kali lipat. Dalih yang dikemukakan oknum yang berwenang untuk itu nyaris seragam. Antara lain biaya “sewa” polisi untuk pengamanan, sewa truk-truk pengangkut barang tereksekusi, transportasi dan akomodasi petugas pengadilan negeri yang tak mungkin dirinci satu per satu. Termasuk diantaranya tip untuk ketua pengadilan negeri karena berkenan menandatangani surat penetapan eksekusi.

Lebih Rendah
Di Malang pernah heboh tatkala seorang advokat “diadili” oleh para hakim di ruang ketua pengadilan negeri setempat. Mengapa? Gara-gara ia menulis sebuah artikel di media cetak yang pada pokoknya menyatakan, perilaku oknum-oknum di pengadilan itu lebih rendah daripada pengemis. Dengan kata lain, pengemis yang pekerjaannya meminta-minta itu, masih lebih terhormat dibandingkan mereka yang bekerja di lembaga yang menjadi benteng keadilan itu. Lho koq?

Advokat itu menjelaskan, andai kita memberi tip kepada seorang pengemis, Rp 20 ribu misalnya, maka kita pasti akan didoakan selamat dan banyak rejeki. Pokoknya, kita ini dianggap malaikat yang sangat murah hati. Tapi coba kalau kita memberi tip pada oknum pengadilan Rp 100 ribu, misalnya, mereka bakal nyeletuk: Lho koq cuma segini. Maksudnya, mereka itu memiliki sifat greedy (tamak, rakus, atau loba), meski mereka bekerja di lembaga yang mulia.

Sebab itu mereka tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap para pencari keadilan. Tak peduli apakah para pencari keadilan itu orang berkecukupan atau orang miskin yang didlolimi kekuasaan, mereka tetap meminta uang. Karena itu, meski oknum-oknum itu pegawai berpangkat rendah, tapi mereka sudah bermobil bahkan memiliki rumah mewah. Pokoknya, hampir di semua lini dan tahapan pengurusan di pengadilan negeri itu adalah sarang mafioso kasus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar