Senin, 05 April 2010

Advokat Menjual Diri, Adakah?

Sepekan terakhir profesi advokat benar-benar babak belur. Hiruk pikuk pembongkaran mafia pengadilan, kasus Gayus Tambunan dan Hakim Tinggi PTUN Ibrahim, telah menyeret sejumlah nama advokat. Officium nobile yang memayungi profesi terhormat itu pun runtuh. Nyaris tak ada lagi penegak hukum yang terbebas dari tindak “menjual diri” alias pelacur hukum, apakah polisi, jaksa, hakim termasuk advokat.



Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) sudah dideklarasikan sesuai UU Advokat sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat Indonesia, memiliki tugas berat. Seperti halnya para petinggi di Kepolisian, Kejaksaan Agung, maupun Mahkamah Agung, Peradi pun harus ikut aktif membersihkan baju seragamnya yang berlepotan noda. Bahkan advokat yang memiliki wilayah tugas disemua lini dalam sistem penegakan hukum, memiliki peran utama dan terdepan.

Semboyan “biarpun langit runtuh, hukum tetap harus ditegakkan” bukan hanya jargon untuk menutupi borok di wajah. Seperti kebanyakan advokat yang menyukai tampilan perlente, rumah mewah dan mobil mewah –karena disesuaikan dengan motto: officium nobile–, tapi dibalik kemewahan itu semua mereka tidak lebih terhormat dari calo-calo perkara alias makelar kasus (markus) yang selama ini sering dicemburui karena dianggap merebut periuk nasi advokat.

Bukan Pelacur
Salah, jika ada advokat yang mengartikan officium nobile, yang asli bahasa Latin itu, diterjemahkan menjadi “pelacur hukum”. Sebab advokat bukan pelacur hukum. Dalam UU Advokat Bab Ketiga Pasal 5 tentang Status tegas dinyatakan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri. Sekali lagi, advokat bukan pelacur, tapi bagian dari catur wangsa penegak hukum di Republik ini di samping polisi, jaksa,dan hakim.

Namun, masyarakat kita terlanjur meyakini bahwa dunia penegakan hukum kita adalah dunia mafia hukum. Lahirnya pengartian singkatan KUHP menjadi Kasih Uang Habis Perkara, sebenarnya merupakan ejekan yang merendahkan martabat lembaga hukum negeri ini. Namun, para penegak hukum, kala diundang berceramah di forum-forum akademik maupun non-akademik, tak jarang mengutip pemaknaan KUHP itu dengan raut wajah cengengesan tanpa merasa tersinggung. Aneh?
Padahal kalau dilihat dari sejarah panjang profesi advokat di Indonesia –sebelum diakui sebagai penegak hukum– sangat memprihatikan. Para advokat (dengan izin Menteri Kehakiman) maupun pengacara praktik (memiliki izin dari Ketua Pengadilan Tinggi), di mata penegak hukum lain dipandang tidak lebih dari calo perkara. Pokrol bambu! Yang kiprahnya dalam sistem penegakan hukum hanyalah kepanjangan tangan –sebab dianggap memiliki akses dengan polisi, jaksa atau hakim– oleh orang-orang yang memiliki problema hukum.

Kemandirian advokat/pengacara praktik kala itu, selalu dibayangi-bayangi ketakutan pencabutan izin praktik, khususnya di hadapan hakim. Sedangkan di hadapan polisi dan jaksa, advokat/pengacara praktik adalah oknum yang bisa dimanfaatkan layaknya mesin uang (baca: ATM) untuk menangguk rupiah. Kalaupun ada stetemen-statemen “panas” dari advokat/pengacara praktik di berbagai media massa, maka hal itu hanyalah ludrukan semata.

Peradi Cab. Malang
Peradi Cabang Malang telah menyelenggarakan Musyawarah Cabang I dan berhasil menyusun kepengurusan lengkap pertama. Tentu banyak pihak berharap lembaga milik advokat ini, senyampang dengan maraknya gerakan “bersih-bersih” terhadap perilaku mafia hukum, melakukan upaya-upaya pro-aktif yang mem-back up gerakan tersebut. Paling tidak, pada masing-masing personal advokat anggota Peradi Cabang Malang, menegaskan komitmennya bahwa mereka adalah bagian dari penegak hukum yang menyandang profesi terhormat.

Terseret godaan materi dan kemewahan dunia, itu kodrati dan manusiawi. Asalkan godaan itu tidak menjadi kausa pertama bagi seorang advokat untuk bertindak layaknya pelacur. Yang menjajakan ketentuan hukum dan pasal-pasal dalam undang-undang sebagai komoditas dagang. Sebab itu Peradi mesti menjadi pioner yang mengawal pintu penegakan hukum di garda depan, dibandingkan penegak hukum lain. Peradi harus mengambil peran utama dan pertama dalam gerakan pemberantasan mafia hukum yang semakin mencengkeram Republik ini.

Penulis yakin, setiap sosok advokat di negeri ini menyadari bahwa lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Peradi dapat menjadi bumerang bagi eksistensi advokat. Bila hal itu terjadi, pada saat bersamaan akan tumbuh kepercayaan masyarakat kepada advokat asing –karena dianggap lebih kredibel sekaligus mumpuni– yang kini mulai merambah dan beroperasi di Indonesia. Serbuan advokat asing tentu saja tidak sekadar merebut periuk nasi advokat Indonesia, tapi juga dapat merusak sistem hukum dan tatanan penegakan hukum di Indonesia. Bravo Peradi Cabang Malang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar