Sabtu, 06 Februari 2010

Pertaruhan Pansus Century dan Kerbau si Buya

Pansus skandal Bank Century benar-benar ajang promosi bagi bank yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara itu. Bila rekomendasi pansus ternyata tidak dapat ditindaklanjuti –karena tidak adanya indikasi penyimpangan yang bersifat pidana/tipikor– bank itu bakal memiliki brand yang kuat di benak konsumen. Sebuah pertaruhan antara pengambil kebijakan (baca: pemerintah) dengan pansus DPR yang bakal ditentukan pada 4 Maret mendatang.



Apalagi, bila akibat “ulah” pansus yang menurut banyak kalangan sangat berprasangka itu nantinya gagal– pemerintah maupun Bank Indonesia tentu bakal habis-habisan membela bank tersebut. Sekadar menunjukkan kepada publik bahwa kebijakan yang bernilai trilyunan rupiah itu merupakan tindakan yang tepat. Setidaknya dalam masa kepemimpinan kedua Presiden SBY, akan ada upaya-upaya sistematis agar Bank Century yang semula dinyatakan sebagai bank gagal, setelah menjadi Bank Mutiara betul-betul berkilau bak mutiara.

Namun, jika ternyata rekomendasi pansus dapat ditindaklanjuti, misalnya KPK dapat menetapkan tersangka, Bank Mutiara mungkin terkena imbas aura negatifnya. Nasabahnya bakal menarik dananya, sedangkan bagi calon nasabah ketakutan untuk menempatkan uangnya. Sudah tentu, berangsur tapi pasti, bank itu pun bakal terpuruk dan tetap memenuhi takdirnya, sebagai bank gagal.

Merunut perjalanan panjang pansus Bank Century, agaknya warga bangsa ini tidak dapat berharap banyak. Pertarungan kepentingan politik lebih mendominasi nuansa pemeriksaan daripada upaya-upaya membongkar penyimpangan pencairan bailout itu sendiri. Bahkan perdebatan-perdebatan yang tidak fokus dan tidak perlu lebih sering mendominasi jalannya persidangan, untuk sekadar menampilkan wajah garang atau mendongkrak citra partai.

Tak Simpatik
Sulit mencari pemahaman, apa yang menjadi latar belakang beberapa aktivis yang meneriakan kata: maling, tatkala pansus tengah memeriksa mantan Gubernur BI yang kini Wapres Budiono. Demikian juga ketika Menkeu Sri Muljani memberikan keterangan di depan para wakil rakyat atau saat dialog via radio swasta bersama pengamat ekonomi Faisal Basri. Siapa yang tidak dihormati kala itu, pejabat yang tengah diperiksakah? Ataukah, kredibilitas sidang pansus itu sendiri?

Andai ejekan itu ditujukan kepada pejabat yang tengah diperiksa, tentu hal itu menunjukkan ketidakdewasaan sekaligus ketidaksiapan dalam berdemokrasi. Dan, jika umpatan itu diarahkan terhadap proses sidang pansus, semakin menunjukkan betapa primitifnya bangsa ini tentang pemahaman nilai-nilai ketatanegaraan modern yang baik. Nilai-nilai demokrasi yang mereka usung sekaligus menjadi tameng bagi gerakan aksi unjuk rasa, ternyata baru dipahami pada tataran kulit luar.

Mereka berperilaku lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa atau aktivis baik pada era 70-an (dalam peristiwa Malari) maupun saat fase penjatuhan rezim Soeharto 1989. Meski kala itu mereka “keras” bahkan cenderung bertindak anarkhi, namun mereka bersikap hormat ketika sistem sudah bekerja. Sudah sepantasnya, bagi setiap warga negara –untuk tak menyebut para aktivis– yang merasa membawa moral force bagi terciptanya Indonesia sebagai negara bebas korupsi, menjunjung tinggi HAM serta berkeadilan, memiliki sikap dewasa serta berpikir waras.

Di tengah upaya keras pansus Bank Century, segenap warga bangsa ini sangat pantas bila memberikan support dengan menunjukkan sikap-sikap demokratis dan kedewasaan. Melalui kelompok-kelompok profesi, lembaga-lembaga ekstrakurikuler di kampus-kampus, secara bergiliran dan teratur mengikuti jalannya pemeriksaan. Selanjutnya, melalui lembaga masing-masing, baik via media massa maupun dalam forum-forum diskusi internal maupun eksternal, setiap tahapan hasil pemeriksaan pansus dibahas, dicermati, serta diperbaiki bila memungkinkan.

Kerbau si Buya
Aktivitas terakhir yang sempat membuat sikap pro dan kontra, adalah unjuk rasa yang membawa-bawa kerbau di mana pada bagian tubuhnya bercat nama si Buya, dengan penembalan huruf SBY. Di bagian bokong binatang pembajak sawah itu ditempeli foto Presiden. Seolah dalam aksi itu ingin memberi pesan, bahwa Presiden Republik ini layaknya seekor kerbau yang lambat dalam bersikap serta bodoh.

Sebelumnya, kecaman terhadap Presiden sempat pula menyentakkan kita, ketika Fadjroel Rachman, mengatakan, SBY paranoid. Yakni, terjangkiti penyakit jiwa –untuk tak mengatakan SBY gila– yakni mengalami ketakutan-ketakutan luar biasa terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Baik unjuk rasa dengan model kerbau atau statemen paranoid, merupakan ekspresi yang baru muncul pada era reformasi. Buah dari pilihan kita bersama memilih sistem ketatanegaraan sebagai negara demokrasi. Berarti tidak boleh ada sakit hati, apalagi penyesalan.
Yang patut menjadi catatan, sejak lama penduduk di wilayah kepulauan ini dikenal orang (baca: wisatawan mancanegara) sebagai bangsa yang memiliki sikap sopan-satun yang tinggi. Andai kita tidak sepakat dengan budaya feodal dalam sistem pemerintahan masa lalu, kemudian menggantinya dengan budaya demokrasi, tentu seharusnya penggantian itu tak menghilangan ciri khas kita, yakni sopan dalam bertindak serta santun dalam bertutur kata.

Meski ajaran demokrasi berasal dari dunia Barat, ketika kita menyatakan sepakat dan kemudian mengadopsinya, tidak serta merta kita contoh pula tata budaya Barat yang serba bebas. Indonesia bukan bagian dari negara Barat, dan Indonesia tidak perlu menjadi ala Barat untuk menjadi bangsa besar. Sebagai negara agamis –meski bukan negara agama–, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, tentu penduduknya terdiri dari warga negara yang konsisten terhadap norma-norma ketuhanan.

Kita semua meyakini, tidak ada seorang manusia pun yang terbebas dari kesalahan. Termasuk Presiden SBY beserta jajarannya, yang terdiri dari manusia-manusia juga. Dan, setiap kesalahan harus diluruskan sesuai koridor hukum yang berlaku. Hukum pun harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Pansus Bank Century harus di-support sepenuhnya, agar tidak menjadi pasar “dagang sapi” para politisi busuk di parlemen, yang di-back up partai-partai sakit hati karena kalah perang dalam pemilu lalu. Intinya warga bangsa ini harus independen dari berbagai kepentingan elit.

Sekalian pula kalangan aktivis yang memiliki memiliki moral dan rasa tanggung jawab atas keberlangsungan negara ini, diharapkan tidak larut dalam emosi-emosi kemarahan membabi buta. Yang kemudian tanpa sadar, mereka dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. Kami sebagai bagian dari rakyat negeri ini, terus terang masih menggantungkan harapan pada mereka. Dan tentu saja, menjadi tak pantas bila kalangan aktivis yang memanggul amanat warga negara ini bertindak yang tidak pantas, tidak simpatik, serta keluar dari tatanan budaya bangsa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar