Sabtu, 23 Januari 2010

Cybercrime, Bobol Rp 0,5 Trilyun # 2

Untuk dapat dinyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka harus terlebih dahulu dipenuhi unsur sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, suatu tindakan manusia dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum bilamana perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik/perbuatan pidana, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan pidana.



Tentang pengertian “perbuatan melawan hukum” ini, pendapat Mahkamah Agung R.I dapat dilihat dari Yurisprudensi Tetap MARI No. 30 K/Kr/1969, tanggal 6 Juni 1970, bahwa dalam setiap tindak pidana selalu ada “sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan. Dan, menurut Yurisprudensi Tetap MARI No. 42 K/Kr/1965, tanggal 8 Juni 1966, bahwa pada asasnya dapat dibenarkan sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai “perbuatan melawan hukum” berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan unsur sifat “perbuatan melawan hukum” adalah suatu perbuatan dari petindak sebagai pelaku langsung (manus ministra), yang telah dinyatakan melanggar ketentuan hukum, meliputi:
a. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.
b. Ketentuan berupa asas-asas hukum tidak tertulis.
c. Ketentuan berupa asas-asas hukum yang bersifat hukum publik/umum

Namun suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia sampai saat ini sudah tidak memadai lagi dalam menanggapi kejahatan siber. Di samping itu pula, perundang-undangan pidana yang berlaku tidak mencakup pengertian-pengertian atau dapat ditafsirkan ke arah pengertian-pengertian kejahatan siber. Di sisi lain, hakim sebagai pejabat yang bertugas mengaktualisasikan ketentuan perundang-undangan ke dalam praktika hukum, ternyata tidak cukup berani melakukan pembaruan hukum berdasarkan kewenangan, seperti rechtsvinding, yakni menemukan hukum melalui putusan-putusannya.

Dengan telah diundangkannya UU ITE, sebenarnya secara tak langsung Republik ini telah memproklamasikan diri sebagai negara yang siap terhadap kejahatan siber. Jangan sampai undang-undang itu hanya menjadi momok bagi masyarakat kecil seperti kasus Prita Mulyasari. Termasuk kalangan pers modern seperti saat ini, yang kehidupannya sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi yang melibatkan perangkat ITE.

Putusan Kejahatan Siber
Berikut beberapa kejahatan siber yang pernah diputus oleh pengadilan di Indonesia, dikutip dari Makalah Seminar Hukum tentang E-Commerce dan Mekanisme Penyelesaian Melalui Arbitrase/Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, 3 Oktober 2000, yaitu antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/Pid/1984, tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan pidana ini merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI Cabang Brigjen Katamsi Yogyakarta, dari 15 September – 12 Desember 1982. Perbuatan dilakukan sebanyak 44 kali, hingga mencapai jumlah Rp 815 juta. Caranya, mentransfer uang melalui kliring, di mana warkat kliringnya dibebankan pada rekening orang lain (bukan ke rekening yang tertulis pada warkat kliring) dengan cara membukukan melalui komputer tanpa kartu.
2. Pembobolan BNI New York atau Mantrust New York, yang dilakukan oleh mantan pegawai bank bersangkutan. Caranya, dengan bekerja sama dengan orang lain yang bersangkutan mengoperasikan komputer dari sebuah hotel dan mentransfer ke rekening lain dengan menggunakan USER ID dan password enter, yang memerintahkan City Bank New York untuk mentransfer dana atas beban rekening BNI kepada BNI di Mantrust. Kasus ini menyebabkan kerugian di BNI sebesar US 9,100.000 dollar. Dalam perkara ini penggunaan landasan 363 KUHPidana maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan. (Lebih jelasnya, baca buku Andi Hamzah, S.H. DR. berjudul Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 1992.)
3. Kasus mutasi kredit fiktif melalui Bank Dagang Negara (BDN) Cabang Jakarta Bintari Jaya, yang dilakukan oleh pelaku dengan cara mempersiapkan beberapa rekening untuk menampung mutasi tanpa nota (fiktif), baik dengan cara menggunakan rekening milik orang lain maupun menghidupkan rekening yang tidak aktif. Setelah rekening-rekening tersebut tersedia, kemudian pelaku melakukan penyetoran fiktif ke rekening-rekening itu hingga mencapai Rp 1.525.132.300. Dari rekening-rekening itu pula kemudian pelaku mentrasfer ke dalam beberapa rekening yang dipersiapkan lebih dulu di bank-bank lain. Pelaku dalam dalam ini dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana pencurian.
4. Kasus di Bank Danamon. Pelakunya, orang dalam bank tersebut, dan dijatuhi hukuman karena terbukti melakukan pemalsuan, sebagaimana dimaksud Pasal 264 ayat 2 KUHPidana. Tindak kejahatan itu dilakukan dengan cara, pelaku terlebih dulu membuka rekening di Bank Danamon Cabang Utama dengan nama dan alamat palsu. Sebagai orang dalam pelaku mempelajari bagaimana melakukan akses. Setelah paham, melalui komputer di ruang kerjanya, pelaku menggunakan USER ID dan password tertentu untuk memindahkan uang dari kantor pusat, dan dikreditkan pada rekening miliknya. Kerugian mencapai Rp 372.100.000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar