Jumat, 30 April 2010

Kembalikan Kasus Bibit-Chandra Pada Jalurnya

Socrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap yang demikian menurutnya, merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Demi mempertahankan filsafatnya itu, Socrates bersedia mati dengan meminum hemlock (Bernard L. Tanya dkk, 2007).

Sikap Socrates itu memang bertolak belakang dengan sikap Bibit-Chandra. Dengan “bersembunyi” dibalik gerakan (baca: unjuk rasa) rakyat dan rekomendasi Tim-8, , keduanya dibebaskan dari tuntutan. Melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Agung R.I. resmi menghentikan penuntutan terhadap kedua pimpinan KPK non-aktif tersebut. Dengan penghentian penuntutan itu, maka proses hukum yang tengah berjalan berhenti seketika.

Itulah dua alinea pembuka tatkala Penulis menanggapi penerbitan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), yang membebaskan Bibit-Chandra dari proses hukum saat itu. Jampidsus Marwan Effendi kala itu mengatakan, penerbitan surat tersebut didasari 2 (dua) alasan . Pertama, alasan yuridis, yakni ketidaktahuan kedua tersangka melakukan pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Chandra tanpa melalui rapat pimpinan KPK, merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab tindakan hukum seperti itu biasa dilakukan oleh pimpinan KPK sebelumnya. Dan, kedua, alasan bersifat sosiologis.

Kemarin, dalam sidang dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI yang membidangi hukum, beberapa anggota dewan sempat mempertanyakan kehadiran Bibit-Chandra pasca putusan PN Jakarta Selatan. Seperti diketahui, pengadilan tersebut mengabulkan permohonan praperadilan Anggodo Widjojo, sekaligus memerintahkan agar perkara pidana yang menjerat dua pimpinan KPK itu segera dilimpahkan ke pengadilan. Dengan putusan itu Bibit-Chandra praktis terancam kembali untuk dinonaktifkan sebagau unsur pimpinan lembaga anti-korupsi tersebut.

Namun, mendasarkan diri pada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Bibit-Chandra, maka status tersangka terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu tidak serta merta menyebabkan yang bersangkutan harus non-aktif. Status non-aktif diberlakukan bilamana keduanya sudah berstatus terdakwa. Sebab itu anggota dewan kemudian bersepakat bahwa Bibit-Chandra diperkenankan untuk dapat terus mengikuti acara dengar pendapat itu.

Tak Berdasar
Penulis menilai, putusan itu sudah betul karena telah menempatkan kembali suatu proses hukum pada jalur yang benar, sebagai perwujudan asas persamaan di depan hukum atas semua warga negara di Republik ini. Sementara Humas PN Jakarta Selatan menjawab pertanyaan pers mengatakan, alasan menghentian penuntutan itu tidak berdasar. Dalam KUHAP, hanya ada tiga alasan untuk menetapkan penuntutan dihentikan, yakni tidak adanya bukti yang cukup, peristiwanya bukan tindak pidana, atau perkaranya ditutup demi hukum.

Menanggapi putusan itu penasihat hukum para tersangka, Bambang Widjojanto menilai, putusan tersebut sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. Mereka begitu meyakini bahwa perkara yang menjerat unsur pimpinan lembaga pemberantasan itu hanya suatu rekayasa semata. Dasar logikanya –dan bukan berdasarkan logika hukum– hanya hasil rekaman yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi antara Anggodo Widjojo dengan beberapa petinggi di Mabes Polri.

Kini perkara Anggodo Widjojo memang memasuki tahap pemeriksaan di pengadilan. Sementara Kejari Jakarta Selatan telah menyatakan mengajukan permohonan banding atas putusan PN Jakarta Selatan tersebut. Dari situasi hukum yang mengitari dinamika proses hukum perkara ini, telah menimbulkan kegamangan. Sebab itulah dilanjutkannya proses pemeriksaan di muka sidang pengadilan atas perkara tersebut, diyakini dapat memperjelas sekaligus memberikan kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi menyangkut Bibit-Chandra? Semoga***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar