Minggu, 18 April 2010

BPN Daerah Masih Menjadi Sarang Pungli

Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih menjadi sarang pungutan liar atau pungli. Institusi yang memiliki wewenang menerbitkan hak atas tanah ini, meski kantornya di beberapa daerah sudah berhasil meraih penghargaan karena “kebersihannya”, toh masih marak dengan aksi penyimpangan. Tanpa memberikan tip kepada pejabat yang terlibat dalam pengurusan, jangan harap mendapatkan pelayanan proporsional.


Sampelnya, lihat saja di wilayah Malang Raya. Menurut salah seorang pegawai notaris yang pekerjaannya mengurusi berbagai peralihan hak atas tanah mengatakan, tanpa memberikan uang sogok berkasnya bakal dipersulit. Tidak hanya lambat penanganannya, tapi juga bisa tak jelas juntrungnya. “Perilaku semacam itu sudah lama berlangsung, dan tampaknya sulit dihilangkan,” kata lelaki berkacamata itu.

Padahal sesuai dengan amanat UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA pada 24 September 1960, pemerintah wajib melakukan ketertiban di bidang pertanahan. Salah satu usaha tertib hukum di bidang ini adalah terbitnya peraturan mengenai pendaftaran tanah, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Ketentuan ini merupakan aturan pengganti dari PP No. 10 Tahun 1961, yang mengatur perihal yang sama, namun karena dipandang sudah tidak sesuai lagi ketentuan yang disebut terakhir ini, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Bertanda “YBS”
Dalam praktik, proses pendaftaran tanah memang tidak semudah yang terlihat. Sebab hampir di seantero republik ini yang namanya pengurusan/ pendaftaran tanah, selalu ditingkahi banyak hambatan. Nyaris di setiap meja bagian pengurusan selalu minta “uang administrasi” yang berkisar antara Rp 30.000,- hingga mencapai Rp 150.000 per orang. Biaya itu belum terhitung pungutan lain, tatkala sertifikat sudah siap ditandatangani kepala kantor.

Sekadar dipahami, untuk pengurusan sertifikat kebanyakan petugas/pejabat BPN cenderung memprioritaskan mereka yang menggunakan calo/perantaran bebas atau melalui kantor-kantor notaris. Bagi mereka yang mengurus sendiri, asalkan rajin memprotes dan selalu menanyakan kelanjutan permohonan, berkas permohonan akan ditindaklanjuti. Tapi bagi yang pemohon malas, pada map berkas permohonan biasanya oleh bagian penerimaan berkas akan ditandai dengan tulisan “YBS”. Maksudnya, permohonan itu dilakukan sendiri oleh “yang bersangkutan”, karena itu biasanya berkas permohonan yang akan ditumpuk begitu saja.

Senyampang dengan adanya arus deras pemberantasan berbagai tindak mafia hukum di Republik ini, pihak BPN tampaknya harus didorong pula melakukan gerakan “bersih-bersih”. Sebab dari pengamatan lapangan, khususnya di Malang Raya –baik di wilayah Malang Kota, Kabupaten Malang, maupun Kota Batu– tindak penyimpangan semacam itu masih ada. Para pemberi jasa (baca: calo) maupun pegawai notaris yang aktivitas di sana tampaknya sulit melepaskan diri dari jeratan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar