Minggu, 18 April 2010

Kasus Priok: Kepastian Hukum yang Tak Berkeadilan

Kasus Priok II telah berlalu dan meninggalkan luka serta berbagai kerugian, baik korban jiwa maupun materi yang cukup besar. Pertarungan dua kubu –kedua-duanya warga bangsa ini– karena memiliki berhala pengabdian yang berbeda. Yang satu pengabdi terhadap kekuasaan yang otoriter, yang lain meyakini kekeramatan seseorang yang dikenal dengan nama Habib Hasan bin Muhammad al Haddad alias Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A, atau yang dikenal masyarakat dengan sebutan mBah Priok.



Ada dua hal yang patut menjadi bahan renungan dalam peristiwa mengenaskan itu. Pertama, tentang eksistensi komplek makam mBah Priok berangka tahun 1756, beserta masjid yang ada di dalamnya telah berusia sekitar 244 tahun. Apa pun alasannya, keberadaan kompleks makam itu telah mendahului ada daripada kepemilikan PT. Pelindo, meski BUMN ini memiliki dasar hukum. Karena itu hak pertama atas lahan yang ada dalam komplek makam itu sudah tentu ada pada ahli warisnya.

Kedua, mengenai keberadaan Tanjung Priok sebagai pelabuhan internasional peti kemas, yang menjadi urat nadi utama bagi Republik ini dalam gerak pengelolaan ekonomi bangsa. Sehingga karena itu Tanjung Priok perlu dikekola secara apik dan sempurna, bahkan bila perlu semakin ditingkatkan pengelolaannya, agar sumber-sumber pendapatan bangsa ini tidak terhambat atau malah hancur. Itulah sebabnya masalah komplek makam mBah Priok dan pelabuhan Tanjung Priok tidak boleh dipandang sebagai buah simalakama.

Proporsional Saja
Umat Islam, siapa pun itu, tentu diharamkan memuja mBah Priok. Sikap berlebihan dalam menyikapi tokoh penyebar Islam –khususnya terhadap guru-guru agama yang diyakini sebagai waliyullah– dikhawatirkan justru malah berujung pada perbuatan dosa. Mengapa? Karena kebanyakan masyarakat muslim yang melakukan ziarah kubur, yang seharusnya menggenggam niat mendoakan sekaligus bermaksud menapaktilasi sejarah perjuangan si fulan sang guru, justru terjebak meminta-minta dikabulkannya permintaan.

Bila kemudian –atas kehendak Allah– apa yang dicitakan itu terkabul, kemudian mulai tumbuh keyakinan bahwa terkabulnya keinginan itu atas berkah dari ziarah dan berdoa di kuburan si fulan. Berulangnya peristiwa demikian itu, lama-kelamaan secara tanpa sadar menjelma menjadi suatu keimanan fundamenalisme (baca: keyakinan yang amat kuat). Menurut hujjatul Islam Imam Ghozali, sikap semacam itu dapat dianggap melakukan isyrok (baca: kesirikan). Berlawanan dengan sifat ikhlas, untuk mengimani bahwa yang menolak dan mengabulkan permintaan makhluk hanyalah Allah Swt semata.

Pada tataran ini, maka niatan untuk mempertahankan komples makam mBah Priok haruslah dimotivasi mempertahankan hak atas tanah, bukan perjuangan berdasarkan keimanan karena adanya kekeramatan mBah Priok. Sebab Allah Swt telah mengajarkan kepada manusia agar senantiasa meyakini dan berdoa: Allahumma malikal mulk. Tuktilmulka mantasya’, watandziu’ mulka mimantasya, wa tuizzuman mantasya’, wa tudzilu mantasya’, biyadzikal khoir. Innaka ala kulli syaiinqodir. (Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau ambil kekuasaan itu dari manusia yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan manusia yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemilik segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa berbuat segala sesuatu yang Engkau kehendaki).

Hukum Berkeadilan
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam berlaku dan bertindak wajib memiliki dasar hukum. Namun, hukum yang diberlakukan tentulah hukum yang memiliki dasar pijak yang berkeadilan, bukan sekadar berkepastian hukum. Untuk itulah hukum itu harus merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan dan falsafah hidup bangsa ini, yang telah tumbuh dan berkembang sejak sebelum masa kemerdekaan.

Hukum bukanlah sekadar sebuah keputusan dari institusi berwenang –dalam kasus komplek makam mBah Priok– pihak PT. Pelindo merasa berhak karena sudah mengantongi bukti penguasaan/kepemilikan yang sah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Karena surat keputusan semacam itu, oleh penguasa atau pengusaha, dalam wajah hukum yang masih compang-camping seperti saat ini sangat mudah untuk dimanipulasikan. Dan, rakyat selalu berada di pihak yang kalah!

Satpol PP maupun aparat kepolisian yang dikerahkan di lapangan hanyalah pion-pion yang bergerak atas perintah atasan. Mereka tidak dapat disalahkan meski bertindak represif terhadap masyarakat, siapa pun warga masyaarakat itu. Sebab membantah perintah atasan sama dengan mengajukan permohonan pengunduran ini. Mantan Gubernur DKI, Sutijoso mengatakan, mereka akan melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya.

Masalah komplek makam mBah Priok memang sudah selesai. Pihak PT. Pelindo sebagai pengelola pelabuhan Tanjung Priok, dipastikan tidak bakal menggusur komplek makam beserta masjid di dalamnya, tapi justru akan memperbaikinya agar dapat menjadi obyek wisata ziarah. Tapi kasus itu haruslah dipandangan sebagai peristiwa yang mengandung iktibar (pelajaran) bagi semua pihak. Khususnya pihak penguasa agar tak lagi mengadu domba antar-warga negara, demi menjaga kehormatan atas dasar arogansi kekuasaan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar