Jumat, 30 April 2010

Quis Custodiet Ipsos Custodes?

Polisi, Jaksa, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukui, termasuk parlemen adalah institusi negara yang memiliki fungsi pengawasan. Dalam hal ini mengawasi mengenai kamtibmas, kegiatan masyarakat di sektor keuangan, serta perilaku pemerintah. Karena itu pejabat negara yang bertanggung jawab pada institusi itu adalah orang-orang memiliki wewenang besar sekaligus tanggung jawab besar. Itu sebabnya sistem rekruitmen pada institusi tersebut haruslah memiliki tahapan-tahapan yang terpola dan berstandar baku.


Namun, dalam nuansa dinamika kehidupan yang semakin mengedepankan tampilan materi seperti saat ini, tentu saja ada pengaruh psikologi terhadap para pejabat pengawas itu. Terbongkarnya berbagai bentuk mafia hukum akhir-akhir ini membuktikan perihal itu. Demi materi semata untuk membiayai perilaku hedonistik, banyak pejabat pengawas yang kemudian berganti profesi menjadi menjadi pelacur. Ya, pelacur yang menjual kewenangan, jabatan sekaligus kehormatannya kepada siapa saja yang bersedia membelinya.

Maka, agar tidak beralih profesi menjadi pelacur, para pejabat pengawas itu pun harus diawasi. Quis custodiet ipsos custodes? Siapakah yang mengawasi pengawas? Tentu saja pemilik kedaulalatan, yakni rakyat! Sebab jika dirunut dari awalnya, para pejabat pengawas itu memangku jabatannya memang mendapatkan mandat dari rakyat. Jabatan itu diperolehnya berdasarkan kontrak sosial melalui penyelenggaraan pemilihan umum, baik pilpres maupun pileg.

Itulah sebabnya, guru besar sosiologi hukum Indonesia Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan, anarkhisme massa merupakan akibat langsung dari ketidakmampuan perangkat negara –termasuk perangkat hukum– melaksanakan mandat rakyat. Ketika banyak terjadi pelaku kejahatan dibebaskan atau dibiarkan begitu saja, maka kemudian rakyat mengambil alih mandatnya itu kembali. Saat itulah rakyat bertindak selaku polisi, jaksa, sekaligus hakimnya. Terjadilah eigen richting, tindakan main hakim sendiri!

Ketidaksadaran
Saat ini rakyat semakin sadar akan hak-haknya sebagai warga negara. Runtuhnya Orde Baru merupakan contoh konkrit dari akibat rasa kekesalan sosial yang sudah berada pada level puncak. Mandat rakyat itu pun ditarik kembali secara paksa! Saat itu tampaknya rakyat berani bertaruh apa saja untuk merebut mandatnya itu. Jangankan harta benda, kematian pun mereka siap menjemputnya. Organ negara di bidang keamanan, seperti tentara dan polisi, di mata rakyat adalah warga negara juga. Artinya, mereka tidak perlu ditakuti, tapi perlu disadarkan dari ketidaksadaran struktural bahwa mereka berasal dari rakyat dan bekerja untuk rakyat.

Kini, tampaknya ketaksadaran struktural itu menghinggapi banyak pejabat tinggi di Republik ini. Mereka memiliki anggapan bahwa uang negara negara yang bersumber dari pajak rakyat itu, seperti harta peninggalan nenek moyangnya. Karena itu mereka merasa memiliki wewenang untuk menggerogotinya (baca: korupsi) seenak udelnya tanpa moral dan rasa malu. Dalam keadaan seperti itu tentu saja mereka dapat dikatagorikan musuh negara, bahkan musuh nomor wahid!

Dibandingkan dengan tindakan pengebom bunuh diri, tindakan koruptor lebih sadis. Sebab korupsi mengakibatkan kerugiannya lebih luas, serta merugikan rakyat banyak, terutama rakyat pada lapisan paling bawah. Karena itu penjatuhan hukuman mati terhadap koruptor layak diberlakukan di negeri ini. Imam Samudra cs. memang dihukum mati, tetapi relatif lebih terhormat, sebab mereka berani mati demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Tapi koruptor tidak berani mati, hanya memiliki keberanian mencuri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar