Hanya selang sehari, dua kelompok advokat bakal mempraperadilan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), yang membebaskan Bibit-Chandra dari proses hukum. Kelompok pertama, dimotori Luhut M. Pangaribuan, tim penasihat hukum Bibit-Chandra, mengajukan praperadilan sebab alasan yuridis yang menjadi dasar penerbitan SKPP tidak mengandung kebenaran. Kelompok kedua, dikomandoi O.C. Kaligis, mengajukan praperadilan dikarenakan penerbitan SKPP tersebut telah merusak sistem hukum sekaligus melanggar Pasal 142 KUHAP.
Situasi tersebut secara tak langsung telah menempatkan SKPP bak buah simalakama. Bila proses hukum dilanjutkan, diprediksi bakal memicu gerakan rakyat yang sudah terlanjur terkena sindroma social prejudice bahwa ada kriminalisasi terhadap KPK. Namun jika dihentikan, diakui atau tidak diakui, telah merusak sistem hukum yang sudah disepakati bersama sejak Republik ini didirikan.
Untuk mengurai keruwetan yuridis semacam itu, hemat Penulis, perlu ada kajian kritis dengan terlebih dulu menempatkan kesepakatan konstitusional, bahwa kita meyakini kedudukan hukum di negeri ini masih menjadi panglima. Berdasarkan kesepakatan itu, baik dalam sudut hukum publik maupun hukum privat, bila terjadi peristiwa hukum maka untuk menentukan benar atau salah, sudah tentu wajib bermuara pada vonis hakim. Dengan kata lain, pengadilanlah yang paling berwenang memberikan penilaian tentang kebenaran atau ketidakbenaran suatu perkara hukum.
Persetujuan atas kesepakatan konstitusional itu memang harus diletakkan di depan. Sebab merunut sejarah proses-proses penyelesaian hukum terhadap kasus-kasus besar di negeri ini terasa semakin tidak konsisten. Ketidakkonsistenan itu seolah menjadi virus H1N1, yang menyerang kaum elit –mulai kalangan pakar, anggota Dewan, sampai mahasiswa yang suka berunjuk rasa– terlepas dari latar belakang tindakannya tersebut ada rekayasan atau murni jeritan hati nurani.
Ambil contoh, pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Meski akhirnya Soeharto gagal divonis hakim, tapi perkaranya berlanjut terus hingga ke pengadilan. Pada saat itu semua elit di negeri ini berteriak: Adili Soeharto! Adili Soeharto!. Teriakan itu merujuk pada proses hukum yang wajib dijalani mantan penguasa Orde Baru itu hingga di pengadilan. Karena berbagai alasan medis, proses persidangan oleh hakim dinyatakan tidak dapat dilanjutkan. Soeharto pun meninggal dengan menyandang status tersangka koruptor.
Berikutnya, ketika memasuki Orde Reformasi dan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak pejabat diseret dan diadili. Bahkan untuk kepentingan itu Republik ini memiliki hakim ad hoc dan Pengadilan Tipikor, yang tugasnya khusus memeriksa dan memvonis para koruptor. Guna mem-back up apa yang tengah diperjuangkan KPK, lagi-lagi kalangan elit –mulai kalangan pakar, anggota Dewan, sampai mahasiswa yang suka berunjuk rasa– di mana-mana berteriak-teriak: Adili koruptor! Adili koruptor! Teriakan itu pun merujuk pada proses persidangan di pengadilan.
Equality before the Law
Setiap warga negara, dalam negara hukum, berkedudukan sama di depan hukum. Tak terkecuali Bibit-Chandra. Ketika mereka tersandung masalah hukum, jika kita konsisten, sekalian para elit –mulai kalangan pakar, anggota Dewan, sampai mahasiswa yang suka berunjuk rasa– seharusnya meneriakan yel-yel yang sama. Adili Bibit-Chandra! Adili Bibit-Chandra! Bukan sebaliknya, teriakan dan unjuk rasa yang diskenarionkan menekan pihak berwenang bahkan Presiden, agar menghentikan proses perkaranya.
Tak peduli Bibit-Chandra, tak peduli Wapres Budiono, juga tak peduli Menteri Keuangan Sri Muljani dalam kasus Bank Century. Jika ketiga subyek hukum itu terindikasi, dan ada bukti permulaan yang cukup telah melakukan perbuatan melanggar hukum, lakukan proses hukum. Saat ini kan banyak kalangan pakar, anggota Dewan, sampai mahasiswa yang suka berunjuk rasa, melakukan akrobatik. Pada satu sisi meminta perkara Bibit-Chandra dihentikan proses hukumnya, sedangkan di sisi lain mereka berorasi dan menggerakan massa agar Wapres Budiono, dan Menteri Keuangan Sri Muljani diadili.
Bibit-Chandra, Wapres Budiono, maupun Menteri Keuangan Sri Muljani, adalah subyek hukum-subyek hukum yang memiliki tanggung jawab sama di mata hukum. Andai benar atau tidak benar, ketiganya melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang melampaui batas wewenangnya, biarkan vonis hakim yang menentukan. Dan jika kita meyakini, sebagaimana statemen Luhut M. Pangaribuan, bahwa tidak ada satupun bukti yang menunjukan adanya suatu tindak pidana yang dilakukan Bibit-Chandra, biarkan hakim pula yang memutuskan.
Hasil rekomendasi tim verifikasi Tim-8 yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution, bukanlah produk hukum. Tapi hanya rekomendasi semata. Jika setiap perkara hukum yang menyita perhatian publik harus diselesaikan melalui mekanisme model Tim-8, tentu membuka kemungkinan kasus Bank Century –oleh sementara pihak yang berkepentingan– meminta diselesaikan melalui mekanisme yang sama. Dan, model-model penyelesaian proses hukum semacam itu bisa menjadi preseden bagi pemerintahan di masa mendatang.
Yang membuat semakin menarik dalam perkara Bibit-Chandra, tatkala tim penasihat hukum keduanya berkehendak mengajukan praperadilan. Dasarnya, mereka tidak sependapat dengan pertimbangan SKPP yang menyatakan, bahwa perbuatan pidana kedua pimpinan KPK non aktif itu ada, tetapi mereka tidak menyadari akibat dari perbuatan tersebut. Apa yang mereka lakukan sudah berdasarkan ketentuan undang-undang, sama seperti apa yang dilakukan oleh para pimpinan KPK pendahulunya.
Gagasan membawa SKPP kepada proses hukum di pengadilan, menunjukkan kerancuan berpikir para advokat senior itu. Betapa tidak, ketika Bibit-Chandra ditetapkan sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan penahanan, mereka tidak mengajukan gugatan praperadilan. Bahkan Luhut M. Pangaribuan, atas pertanyaan Kadiv Humas Mabes Polri dalam suatu dialog di televisi, jelas tidak mampu menjawab secara tegas mengapa lembaga pra-peradilan tidak dimanfaatkan. Padahal lembaga ini berfungsi untuk mempertanyakan setiap perbuatan penyidik, dalam hal terjadi kesalahan menyangkut proses penyidikan.
Sebagai warga negara hukum, kita seharusnya sependapat dengan rencana O.C. Kaligis bersama-sama 46 advokat lainnya, yang juga bakal ajukan praperadilan atas terbitnya SKPP itu. Menurut mereka, berdasarkan Pasal 142 KUHAP, penghentian penuntutan dapat dilakukan dengan beberapa syarat, yakni tidak cukupnya alat bukti, bukan perbuatan pidana, atau demi kepentingan hukum. Untuk kasus Bibit-Chandra ini, ketiga syarat itu tidak satu pun terpenuhi.
Penulis berharap, baik gugatan praperadilan yang diajukan oleh penasihat hukum Bibit-Chandra maupun O.C. Kaligus dan kawan-kawan, diterima oleh majelis hakim pemeriksa perkara. Vonis hakim tersebut sekaligus menganulir keberlakuan SKPP atas perkara Bibit-Chandra, sehingga perkara itu wajib diproses dan diputus di muka hakim. Demikian keadilan dan tegaknya hukum. Hidup negara hukum!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar