Sabtu, 05 Desember 2009

Socrates: Bibit-Chandra Tidak Bermoral?

Socrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap yang demikian menurutnya, merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Demi mempertahankan filsafatnya itu, Socrates bersedia mati dengan meminum hemlock (Bernard L. Tanya dkk, 2007).



Sikap Socrates itu memang bertolak belakang dengan sikap Bibit-Chandra. Dengan “bersembunyi” dibalik gerakan (baca: unjuk rasa) rakyat dan rekomendasi Tim-8, hari ini, keduanya dibebaskan dari tuntutan. Melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Agung R.I. resmi menghentikan penuntutan terhadap kedua pimpinan KPK non-aktif tersebut. Dengan penghentian penuntutan itu, maka proses hukum yang tengah berjalan berhenti seketika.

Menurut Jampidsus Marwan Effendi, penerbitan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) ada 2 (dua) alasan. Pertama, alasan yuridis, yakni ketidaktahuan kedua tersangka melakukan pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Chandra tanpa melalui rapat pimpinan KPK, merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab tindakan hukum seperti itu biasa dilakukan oleh pimpinan KPK sebelumnya. Dan, kedua, alasan bersifat psikologis.

Atas alasan yuridis tersebut, tim penasihat hukum Bibit-Chandra menyatakan tidak sependapat. Namun demikian, mereka belum menentukan sikap, sebab masih akan mempelajari keseluruhan isi ketetapan tersebut. Yang jelas, para advokat itu telah merasa memenangkan pertandingan. Tapi, terlepas dari pro dan kontra terhadap alasan penerbitan SKPP itu, penghentian penuntutan itu telah mencoreng wajah Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat).

Ada banyak pertanyaan yuridis yang tidak terjawab dalam perkara Bibit-Chandra. Sebab banyak lembaga perlindungan hukum yang sudah disediakan undang-undang (KUHAP), bagi mereka yang merasa didzolimi dalam suatu proses hukum. Tapi lembaga itu ternyata tidak dimanfaatkan. Sebut saja antara lain, kalau memang Bibit-Chandra merasa tidak melakukan perbuatan melawan hukum, mengapa tidak melakukan gugatan pra-peradilan? Mengapa mereka, sebagai penegak hukum, lebih suka menggerakkan rakyat? Mengapa mereka terasa berupaya melakukan penekanan, yang sebenarnya justru bertentangan atau melawan doktrin negara hukum.

Luhut M. Panggaribuan, salah satu penasihat hukum Bibit-Chandra, menjawab pertanyaan Kadiv Humas Mabes Polri dalam suatu dialog di televisi, jelas tidak dapat menjawab secara tegas mengapa lembaga pra-peradilan tidak dimanfaatkan. Padahal lembaga ini berfungsi untuk mempertanyakan setiap perbuatan penyidik, dalam hal terjadi kesalahan menyangkut proses penyidikan. Baik kesalahan dalam hal terjadi salah prosedur penanganan, salah tangkap, atau tidak terpenuhinya bukti permulaan yang cukup bila terjadi dugaan tindak pidana. Mengapa?

SBY Selamatkan Jabatan

Menanggapi polemik Bibit-Chandra, banyak pihak yang tidak lagi memperhatikan hakikat eksistensi negara hukum. Dengan logika pokoknya, berdasarkan pemutaran rekaman hasil penyadapan KPK dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), mereka begitu yakin terjadi kriminalisasi terhadap KPK. Maka, KPK harus diselamatkan. Seolah sudah terbukti, institusi Polri dan Kejaksaan Republik ini sudah penuh kebobrokan akut, bahkan tidak perlu diselamatkan.

Lembaga kepresidenan terpaksa mengambil langkah kebijakan politik. Membentuk Tim-8. Sebagai upaya menyelamatan eksistensi negara hukum, sekaligus berusaha menyelesaikan kemelut yang menyita banyak perhatian itu. Sebab itulah kemudian Presiden SBY mengeluarkan pernyataan sebagai bentuk sikap atas rekomendasi Tim-8, bentukannya. Tidak ada jalan lain!

Meski berpendapat bahwa perkara Bibit-Chandra sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan, tapi Presiden atas dasar ketentuan perundangan, tidak menerbitkan produk hukum apa pun. SBY hanya menginstruksikan kepada Polri dan Kejaksaan Agung sesuai kewenangannya, dengan memperhatikan polemik yang berkembang dan demi kepentingan umum, meminta agar menghentikan proses hukum yang menjerat kedua pimpinan non-aktif KPK tersebut.

Sebelum pernyataan itu dikeluarkan, pendapat di masyarakat sempat terbelah berkait dengan rekomendasi Tim-8. Di satu pihak banyak orang berpendapat agar presiden menjalankan apa yang direkomendasikan itu. Sedang di pihak lain, tidak sedikit pula yang memberi saran agar presiden mengabaikan rekomendasi Tim-8, dan tetap menghormati bekerjanya mekanisme hukum sesuai ketentuan perundangan.

Dari kacamata praktika hukum, pernyataan Presiden tersebut memang masih bias. Bermakna ganda. Walau menginstruksikan agar penyelesaian Bibit-Chandra dilakukan di luar pengadilan, namun proses penyelesaiannya tetap dikembalikan kepada pemilik wewenang, yakni kepolisian dan kejaksaan agung. Artinya, pernyataan Presiden itu masih memberi ruang bagi Kapolri maupun Jaksa Agung, untuk tetap melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut hingga ke pengadilan.

Sikap tersebut tidak salah. Sebab dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, Presiden memang dilarang menabrak undang-undang. Presiden adalah tokoh masyarakat yang tentunya menjadi panutan sekaligus teladan. Sejalan dengan jiwa pendirinya, Republik ini oleh founding father sudah diformat sebagai negara hukum. Tentu tidak pantas bila sistem kekuasaan yang bekerja menjalankan negara itu melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

Sebab itulah, pasca Tim-8 mengekspos rekomendasi sementara, Presiden SBY meminta agar dirinya tidak didorong-dorong untuk melakukan tindakan yang menabrak hukum. Sikap demikian itu sebenarnya memberikan isyarat bahwa penyelesaian kasus Bibit-Chandra tetap harus berada pada jalur hukum yang benar sesuai role of the game, melalui pengadilan. Namun, dalam kapasitas sebagai presiden mandataris, jabatan politis yang diperolehnya dari pemilu langsung, sudah tentu memintanya untuk peka terhadap suara-suara rakyat. Maka, SKPP pun terbit!. Wallahu’alam bissawsab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar