Sabtu, 05 Desember 2009

KPK Vs Polri: Pertaruhan Hukum atau Gengsi?

Seolah mewakili pemahaman masyarakat awam hukum, Tjipta Lesmana, pengamat politik, dalam suatu wawancara di televisi swasta sempat mengatakan, “Bingung”. Kebingungan di sini dalam konteks memberikan penilaian atas perseteruan antara Mabes Polri dengan KPK. Begitu banyak pernyataan maupun pengakuan, baik dari pilak Polri, KPK, tim penasihat hukum, maupun dari Tim Pencari Fakta (Tim-8), yang saling bertentangan.



Dalam situasi yang demikian, media massa benar-benar menjadi “forum pengadilan”. Forum pengadilan bukan terhadap pokok perkaranya, tapi pengadilan terhadap sistem penegakan hukum di Republik ini. Awam, yang selama ini hanya mendengar selentingan tentang keberadaan mafia peradilan, mengenai keberadaan makelar perkara, hari-hari terakhir ini benar-benar memperoleh bukti.

Tapi yang paling bahagia, bahkan menertawakan dagelan hukum ini, adalah para cukong. Ya, para pemilik modal yang selama ini telah mempermainkan hampir terhadap seluruh sistem pemerintahan ini. Manipulasi-manipulasi di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, dan keamanan, seolah telah menjadi teman akrab dalam sejarah bangsa. Begitu rendahkah moral kita?

Padahal para cukong (baca: pemilik modal) itu memperoleh duit dari memanipulasi pula. Seperti lingkaran setan. Uang hasil manipulasi dimanfaatkan kembali untuk melakukan manipulasi, seperti tindak korupsi. Kalau kita menuduh “kemiskinan” sebagai biang keladi, otak kita tentu tidak setuju. Sebab faktanya, para pejabat itu sudah lebih dari kaya. Rumahnya besar, mobilnya lebih dari satu, dan shopping-nya selalu di luar negeri.

Kalau bukan “kemiskinan” sebagai biangnya, lalu siapa? Moral! Kerakusanlah sebagai biangnya. Masih banyak pejabat kita yang memiliki wewenang, wewenang apa pun itu, mulai dari tingkat pejabat rendahan hingga pejabat tinggi berjiwa rakus. Kerakusannya bahkan melebihi rasa malunya. Sehingga tidak memiliki rasa malu.

Siapa yang salah? Tidak perlu dicari siapa yang salah. Tapi, tampaknya butuh segera adanya revolusi birokrasi, bukan reformasi birokrasi di Republik ini. Terbukti, kebijakan reformasi birokrasi yang telah dijalankan selama tidak cukup ampuh memperbaiki kerusakan yang terjadi. Bahkan semakin menjadi-jadi. Dan, penegakan hukum yang seharusnya berdiri sebagai panglima, justru mengidap penyakit akut yang butuh banyak amputasi. Kerusakan komplikatif, mulai dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga advokatnya yang memiliki semboyan officium nobile (jabatan/profesi terhormat).

Harus Dibuktikan
Menyikapi perkembangan yang terjadi, agaknya tidak ada pilihan bagi kedua pihak (baca: KPK dan Polri), selain membuktikan dalil-dalilnya di muka persidangan yang adil. Pengadilan yang adil, berarti pengadilan yang perangkat hukumnya –hakim dan kepaniteraan– yang akan memeriksa perkara itu harus bersih. Maksudnya, hakim-hakim maupun panitera yang bakal mendokumentasi seluruh proses dan berkas perkara tersebut, tidak pula bertindak manipulatif untuk mengkriminalisasikan KPK karena adanya unsur dendam.

Bila dicermati, setidaknya ada 3 (tiga) opsi untuk menyikapi peristiwa seteru antara KPK Vs Polri, dengan konsekwensi hukumnya masing-masing:

Opsi pertama, atas dasar demi perdamaian antar-lembaga penegak hukum sekaligus menciptakan ketentraman masyarakat, kepolisian dan kejaksaan bersepakat menggunakan asas oportunitas. Maksudnya, perkara pidana tentang dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan kedua pimpinan non-aktif Bibit Samat Riyanto dan Chamzah, dikesampingkan. Sehingga tidak berlanjut hingga pemeriksaan di muka persidangan.

Langkah ini legal, karena memiliki dasar hukum, yakni Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian R.I. dan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. huruf c. Sebab itu tidak ada konsekwensi hukumnya. Namun, tetap membawa konsekwensi logis bagi institusi Polri dan Kejaksaan Agung. Kebijakan itu bak menampar muka sendiri. Itu berati, harus ada kebesaran hati, keikhlasan, dan kesabaran yang luar biasa.

Opsi kedua, atas dasar hasil kerja dan rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8), kepolisian dan kejaksaan mengambil opsi seperti opsi pertama. Meski langkah hukum tersebut memiliki dasar hukum, konsekwensi hukumnya berbeda. Apa itu? Menabrak undang-undang! Sebab Tim Pencari Fakta (Tim-8) bukan lembaga yudisial, sehingga tidak memiliki wewenang mengadili: benar atau salah. Persis seperti apa yang dikemukakan oleh anggota tim, Todung Mulya Lubis, Tim Pencari Fakta (Tim-8) bukan pemadam kebakaran.

Bila konsekwensi yuridis ini dilanggar, tidak semata melanggar hukum, juga menjadi preseden buruk. Di masa mendatang, penguasa (baca: pemerintah) dengan dalih demi kepentingan umum dapat mempengaruhi sebuah proses hukum yang tengah berjalan dengan cara membentuk tim-tim serupa. Maka, seperti pada zaman Orba, penguasa demi melanggengkan kekuasaannya, bakal sangat mudah mengintervensi sistem penegakan hukum di negeri ini.

Opsi ketiga, membiarkan perkara pidana tentang dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan kedua pimpinan non-aktif Bibit Samat Riyanto dan Chamzah, hingga masuk ke pengadilan. Masing-masing pihak yang selama ini telah menciptakan forum-forum “pengadilan jalanan” melalui media massa, akan dibebani pembuktian di muka hakim yang adil.

Dengan pilihan opsi yang terakhir ini, seluruh sistem penegakan hukum di Republik ini diuji kehormatan melalui persidangan yang bebas dan terbuka untuk untuk. Tim Pencari Fakta (Tim-8), sebagai tim ad hoc masih dibutuhkan keberadaannya untuk melakukan supervisi selama proses persidangan berlangsung. Anda pilih opsi yang mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar