Minggu, 13 Desember 2009

Negeri Para Maling Berseragam

Bila mencermati berita, baik melalui media cetak maupun elektronik radio dan televisi, seolah kita ini hidup di negeri para maling berseragam. Nyaris tidak ada ruang kosong bagi pelayanan publik yang bebas dari maling-maling semacam itu. Mulai dari jajaran pelayanan lapis bawah hingga ke lapisan atas. Benar-benar negeri berpenyakit moral akut!



Memang benar, tidak semua pejabat berseragam di Republik ini anggota geng maling. Diyakini masih ada yang bermoral dan konsisten memegang amanah rakyat. Tapi kemuliaan perilaku mereka seolah tertutupi, karena begitu banyaknya yang bermoral laksana maling. Maling-maling berseragam itu ada di mana-mana, di sektor perizinan, penegakan hukum, perbankan, bahkan di dewan perwakilan rakyat.

Padahal negeri ini memiliki Pancasila. Pedoman hidup (baca: way of life) yang diyakini sebagai nilai-nilai dasar berperilaku bagi setiap warga negara. Bahkan di kantor-kantor Pemerintah, lambang burung garuda yang berkalung tameng berisi sila-sila Pancasila, bertengger hampir di setiap ruangan. Sorot mata sang garuda pun masih tetap tajam, seakan mengawasi setiap langkah lalu-lalang para pengawai negeri, yang semakin hari semakin meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa ini.

Maka, sila-sila Pancasila yang setiap Senin senantiasa dibaca peserta upacara, termasuk dalam upacara peringatan hari-hari besar nasional lainnya, menjadi sebuah rutinitas tanpa makna. Padahal pada setiap rezim berkuasa di negeri ini, sang pemimpin selalu membuat pernyataan, bahwa pemerintahannya akan menjalankan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekwen. Namun, hampir di setiap lini kekuasaan, di sana-sana bercokol para maling berseragam yang senantiasa ikut upacara dan meneriakkan sila-sila dalam Pancasila. Kemunafikan yang nyata.

Puncak Gunung Es
Terkuaknya peran Anggodo Widjojo dalam rekaman penyadapan KPK yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, hanyalah pengungkapan puncak gunung es dari keseluruhan kebobrokan para maling berseragam. Sekarang, malah terungkap skandal Bank Century. Pembeda antara mereka dengan maling masyarakat sipil, hanya baju dan kepemilikan surat keputusan pengangkatan sebagai pejabat negara. Selebihnya, sama saja!

Sudah saatnya warga bangsa ini melakukan perlawanan. Karena para pejabat negara pada hakikatnya adalah abdi praja, pelayan masyarakat. Bukan pangreh praja, bukan penguasa negara. Eksistensinya ada berdasarkan mandat rakyat melalui kontrak sosial. Para pejabat negara itu hanyalah penerima mandat serta menjalankan amanah. Sebab itu jika pejabat negara yang sudah tidak dapat dan tidak mampu memegang amanah rakyat, harus dicopot dan diganti dengan cara apa pun sesuai koridor hukum.

Emeretus ilmu sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, ketika menanggapi tentang maraknya aksi-aksi massa membakar hidup-hidup para maling yang tertangkap tangan mengatakan, hal itu merupakan puncak keputusasaan rakyat. Rakyat menilai, aparat penegak hukum yang memegang mandat dan memikul amanah berdasarkan kontrak sosial, terbukti sudah tidak mampu lagi menegakkan hukum. Maka, rakyat pun mengambil kembali mandat dan amanatnya itu, yang diekspresikan dengan tindakan main hakim sendiri (eigen richting).

Tembak Mati
Vonis hukuman mati selama ini hanya dijatuhkan kepada pelaku kriminal umum. Sedangkan terhadap para maling berseragam, tidak ada yang divonis mati di hadapan regu tembak. Lihat saja dalam perkara Jaksa Ester, yang mencuri barang bukti dan menjualnya kembali 300 (tiga ratus) lebih pil ekstasi, hanya divonis hukuman 1 (satu) tahun. Sedangkan warga biasa, seorang sopir yang kedapatan membawa satu butir ekstasi, dihukum penjara 4 (empat) tahun.

Kemudian, lihat pula pejabat-pejabat tinggi kepolisian, yang divonis karena terima uang sogok, cukup menjalani masa hukumannya di Mabes Polri. Dan, kalau pun ada pejabat tinggi negara menjalani masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan (LP), mereka ditempatkan di ruangan-ruangan khusus yang full service. Tentu saja penjatuhan hukuman yang diharapkan mampu menimbulkan efek jera, nyaris tak membawa dampak apa pun, kecuali rasa malu. Padahal para pejabat negara itu rata-rata sudah tak memiliki rasa malu. Tembak mati saja, para maling berseragam itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar