Rabu, 09 Desember 2009

Koin Untuk Hakim Nakal dan Koruptor

Sudah saatnya ada koin untuk hakim nakal dan koruptor. Hakim nakal adalah hakim-hakim yang terlibat mafia peradilan, misalnya membebaskan koruptor. Mengapa? Sebab hakim nakal dan koruptor, meski kehidupannya tampak kaya, hakikatnya mereka adalah orang miskin. Karena jika tidak miskin, tidak mungkin mereka menjadi “maling”.



Ide itu terinspirasi gagasan brilian para blogger dalam aksi koin untuk Prita, yang ternyata mendapatkan sambutan luar biasa. Bantuan “uang receh” –meski tidak semua–untuk bayar denda tersebut secara psikis telah menghukum hakim yang memutus perkaranya sekaligus RS Omni International. Bagaimana tidak, mungkinkah manajemen rumah sakit itu mau menerima pembayaran denda hasil donasi dari berbagai lapisan masyarakat itu? Kalau mau terima, jelas sudah kehabisan “rasa malu”.

Seperti pernah diberitakan, majelis hakim PN Cirebon, yang memeriksa perkara mantan anggota DPRD setempat, karena didakwa mengkorupsi dana APBD, dibebaskan. Kemudian PN Malang, yang memeriksa kasus Kredit Usaha Tani (KUT) oleh fungsionaris Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), dilepaskan dari segala dakwaan. Dan yang paling spektakuler adalah perkara korupsi dana Bulog yang sempat menyeret mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung sebagai pesakitan, akhirnya juga divonis bebas.

Benteng terkuat untuk menjebol barikade mafia peradilan adalah “keyakinan hakim”. Seperti dipahami area kekuasaan mutlak bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, yang menentukan seseorang itu terbukti bersalah atau tidak bersalah adalah keyakinan hakim. Ini wilayah kebebasan. Dan, kebebasan itu begitu besarnya serta dilindungi hukum secara universal. Di negara mana pun kemerdekaan dan kebebasan hakim sangat dilindungan.

Tidak ada kekuatan dari kekuasaan apa pun yang diperkenankan memasuki, mempengaruhi, apalagi mengintervensi “keyakinan hakim”. Hakim-hakim itu ibaratnya menjalankan kekuasaan Tuhan. Itu idealnya. Sekarang, area “keyakinan hakim” itu dijualbelikan. Komoditas atau mata dagangan para hakim nakal adalah area “keyakinan hakim”. Dan nilai/harganya tidak terbatas, tergantung besar atau kecilnya perkara.
Kaum “Dhuafa”
Sebagai kaum “dhuafa” baik hakim nakal maupun koruptor perlu disantuni dengan uang receh. Memang, barangkali, mereka atau keluarganya tidak bakal mau menerima uang santunan itu. Namun, gerakan moral menyeluruh kalangan aktifis anti korupsi yang membawa-bawa kardus amal –seperti aksi koin untuk Prita– secara tak langsung akan mempermalukan para hakim nakal maupun koruptor. Gerakan ini dapat menimbulkan efek jera.

Lambang tikus yang selama ini disimbolkan bagi pelaku korupsi, kini tampaknya sudah tidak mempan. Bagi hakim nakal maupun koruptor simbol tikus mungkin terasa tak lagi menghinakan, justru membanggakan. Seperti kebanggaan kalangan play boy yang disimbolkan dengan kepala kelinci. Simbol bagi hakim nakal dan koruptor sudah saatnya diganti dengan penggambaran seorang pengemis yang sangat gembel, tapi tetap ada gambaran bahwa dirinya adalah sosok maling elit, yakni berdasi.

Saat ini kebencian masyarakat Indonesia terhadap perilaku korup semakin memuncak. Bara kebencian semacam itu harus tetap dijaga, bak panas api yang tak akan pernah padam. Tensi tinggi anti korupsi harus menjadi naluri hidup, insting perilaku setiap warga negara. Dengan demikian pada tataran praktika kehidupan, para pejabat maupun penegak hukumnya tidak menjadi “pedagang” hukum/perijinan, sedangkan pada sisi masyarakat berani menolak menjadi “pembeli” hukum/perijinan.

Selama ini gerakan anti korupsi masih berada di alam orasi. Di wilayah tenggorokan. Belum menjadi perilaku bawah sadar masyarakat Indonesia. Mereka yang turun ke jalan melakukan aksi anti korupsi, berkoar-koar serta berorasi dengan nada keras dan memerahkan telinga, masih banyak yang dipertanyakan komitmennya. Lurus tindak antara sikap hati dan perbuatan, hasil pengamatan empirik Penulis, banyak bertolak belakang.

Maksudnya, tak sedikit orang-orang yang semula diketahui sebagai aktifis anti mafia hukum, ketika mereka terjerat masalah hukum justru memilih langkah kompromi. Melakukan negosiasi, melakukan jual-beli hukum. Contoh paling sederhana, ketika mereka terkena tilang atas pelanggaran lalu. Daripada pada harus repot sidang tilang di pengadilan, mending pilih cara praktis, sogok petugas hukumnya di te ka pe (tempat kejadian perkara). Beres.

Konsistensi Sikap
Saat ini, baik pihak Istana beserta jajarannya, dan masyakarat anti korupsi yang kemarin berhasil menggerakkan aksi massa mulai dari Ibu Kota hingga ke daerah-daerah, sudah waktunya bertindak riil. Tidak lagi berteriak dan saling mengejek. Pada satu sisi, selama ini jika kalangan aktifis menilai Presiden SBY beserta perangkatnya, melakukan perlawanan korupsi hanya melalui pidato-pidato dan retorika kata-kata, sedangkan pada sisi lain pihak Presiden SBY beserta perangkatnya menyatakan, perlawanan korupsi tidak dapat hanya melalui orasi-orasi. Maknanya, kedua kubu sepakat, harus ada tindakan nyata.

Dalam kalimat lain, dalam upaya pemberantasan korupsi wajib ada konsistensi sikap. Gerakan-gerakan aksi massa anti korupsi, seperti yang diperlihatkan pada 9 Desember, harus menjadi agenda rutin. Sebab dengan peringatan yang berulang, diharapkan lama-kelamaan akan terbangun tingkah laku balas (response behavior) tersembunyi untuk menghindari tindak korupsi. Dan, melalui generalisasi sikap petindaknya, maka akan terjadi pula penghindaran-penghindaran terhadap segala tindak yang mengarah atau termasuk katagori korupsi, seperti suap dan pungli. Pada titik itulah Gerakan Indonesia Bersih tercapai. InsyahAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar