Senin, 14 Desember 2009

Jangan Asbun, Wakil Rakyat = Atas Nama Rakyat

Persoalannya bukan hak imunitas, tapi mereka para wakil rakyat itu eksistensinya atas nama rakyat. Jika wakil rakyat asbun (asal bunyi), maka tindakannya itu menodai pula kontituen yang diwakilinya. Apalagi kemudian ternyata yang dikemukakannya itu tidak benar. Memalukan sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas dan kapabilitasnya sebagai anggota dewan.



Hak imunitas diatur dalam Pasal 196 ayat (1) dan (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, dan DPRD. Hak ini adalah hak kekebalan, yakni hak setiap anggota DPR yang tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.

Yang perlu digarisbawahi dalam ketentuan ini adalah “...yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR”. Dengan demikian bila pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya itu karena adanya conflict of interest, seperti sentimen pribadi atau bermaksud melakukan penghinaan/ pemfitnahan, tentu dapat dipidana.

Dalam perkara pernyataan Bambang Soesatyo, anggota Pansus Bank Century, yang menyebarluaskan print out dialog yang diakuinya dibuat berdasarkan bukti rekaman rapat KSSK, tentu dikemukakannya dalam kapasitas fungsi serta tugas dan wewenang anggota DPR. Sebab itu, anggota DPR dari Fraksi Golkar ini tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Andai Menkeu Sri Muljani berkeras hati melaporkan hal itu ke kepolisian, jelas bakal ditolak.

Atas Nama Rakyat
Namun yang patut dipahami, segala bentuk tindakan anggota Dewan hakikatnya adalah mewakili rakyat, paling tidak konstituennya. Fakta itu memberi makna anggota Dewan tidak semata harus pintar dan berani berkata vokal, tapi juga harus bijak dan memiliki adat-istiadat kesopanan yang tinggi. Bagaimana pun mereka, sekalian para wakil rakyat itu adalah pejabat negara yang sekaligus menjadi teladan bagi masyarakat.
Sebagai media antara rakyat dan pemerintah, layaknya wartawan, anggota Dewan pun wajib senantiasa melakukan check and recheck serta selalu bothside cover, sebelum melakukan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis. Sebab, jika yang dikemukakannya mengandung banyak kesalahan, secara langsung atau tak langsung menjatuhkan kehormatan dirinya sekaligus partainya.

Selama ini banyak anggota Dewan yang mewakili dirinya sendiri. Berteriak dan bersuara vokal, seolah melakukan kampanye terus-menerus, agar dipilih kembali pada pemilu yang akan datang. Padahal dipilih kembali atau tidak, tak sepenuhnya tergantung pada teriak-teriakannya itu, tapi sejauh mana dirinya memberikan manfaat bagi rakyat dan bagi kebesaran partainya. Banyak politisi Senayan pada periode lalu di berbagai media massa terkenal garang, toh dalam pemilu 2009 tidak laku. Kini menjadi orator-orator unjuk rasa atau menunggu giliran tampil di televisi dalam dialog interaktif.

Atas nama rakyat. Itulah kalimat keramat yang selama ini sering dipakai sebagai senjata oleh para anggota Dewan yang terhormat itu. Baik untuk keluyuran –di dalam maupun ke luar negeri– dengan dalih studi banding, yang ujung-ujungnya ternyata melakukan aksi tipu-tipu (baca: korupsi) melalui cara kongkalikong dengan Pemda setempat. Contohnya, banyak anggota Dewan periode lalu yang masuk penjara gara-gara terlibat proyek pembangunan daerah, seperti Al Amin Nasution, Hamka Yamdhu, Abdul Hadi, dan masih banyak lagi. Belum lagi anggota DPRD di daerah yang paling suka menggerogoti dana APBD.

5 Miliar
Untuk Pansus Bank Century, anggota Dewan merasa tidak cukup bekerja dengan gaji yang telah diterima sejumlah puluhan juta per bulan. Dan, masih tetap dengan atas nama rakyat, Pansus Bank Century ini mengajukan anggaran yang tidak kecil 5 (lima) miliar rupiah. Terinci, untuk biaya persidangan, honor tenaga ahli dan pendamping, pemanggilan saksi, investigasi dan klarifikasi aset Bank Century, serta biaya rapat.

Ibarat orang sakit influensa, pada mulanya merasa yakin dapat sembuh dengan biaya murah, cukup diobati obat flu biasa dibeli di warung sebelah rumah. Karena tak kunjung sembuh, kemudian dibawa ke dokter biasa, dan tak sembuh pula. Maka, dirujuk ke rumah sakit dengan dokter spesialis, belum tentu sembuh, tapi biayanya semakin membengkak. Skandal Bank Century, awalnya diobati dengan suntikan dana talangan Rp 6,7 trilliun, semakin parah. Sekarang, biaya membengkak menjadi Rp 6,7 trilliun ditambah Rp 5 miliar. Semuanya, uang rakyat!

Kini, kita sebagai rakyat biasa, hanya bisa berdoa semoga para anggota Pansus Bank Century bekerja penuh amanah dan jujur. Dengan kata lain, tidak melakukan politik dagang sapi. Kengototan anggota Tim-9 Pansus Bank Century ingin Presiden SBY, dapat memancing kecurigaan publik. Agar kondisi warga bangsa ini tidak semakin keruh, kalau ada anggota Pansus Bank Century lagi syahwat dengan temuannya, salurkan melalui forum-forum resmi yang tersedia, baik melalui rapat-rapat maupun sidang pleno.

Disetujuinya penggunaan hak atas skandal Bank Century merupakan mekanisme resmi untuk membongkar kebobrokan pengelolaan bank swasta itu. Tidak perlu secara perseorangan anggota Pansus, lagi-lagi bersembunyi dengan dalih untuk dan atas nama rakyat, melakukan jumpa pers sekadar mengumbar “syahwat” untuk diketahui publik. Karena dalam sidang pleno khusus Pansus Bank Century, sudah tercapai kesepakatan bahwa pemeriksaan skandal Bank Century oleh Pansus dilakukan terbuka yang dapat diakses publik melalui media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar