Siapa pun ia, apa pun jabatannya, jika orang itu berada pada jajaran penegakan hukum, pasti selalu salah di mata Teten Masduki. Pentolan Indonesian Corruption Watch (ICW) itu memang kerap membuat telinga petinggi di negeri ini memerah. Bukan karena dijewer, tapi “tersinggung” dengan statemen-statemen mantan guru yang beralih menjadi aktifis lembaga swadaya masyarakat itu.
Namun, ketika terjadi seteru antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri mulai marak, Teten seolah menjadi orang bingung. Potret dirinya yang selalu dicap “orang bersuara vokal” seolah mengharuskannya agar selalu “berteriak”, meski saat itu tidak ada yang perlu diteriakan. Banyak orang yang tersenyum sendiri, melihat kelakuannya. Juga bingung.
Perhatikan, apa kata Teten Masduki, ketika Presiden SBY akan menerbitkan Keppres tentang pembentukan tim yang akan memilih pimpinan KPK pasca diberhentikannya Antasari Azhar selaku Ketua KPK, dan dinonaktifkannya Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, pimpinan KPK yang lain, karena telah ditetapkannya menjadi tersangka oleh Mabes Polri? Dikatakannya, Keppres itu tidak dibutuhkan. Keppres itu merupakan preseden buruk, harus dibatalkan. Keterlibatan RI-1 dalam hal ini, katanya, merupakan bentuk intervensi Pemerintah terhadap independensi KPK. KPK harus dilindungi dari berbagai bentuk intervensi.
Dan, perhatikan pula apa kata Teten Masduki, ketika SBY dalam kasus penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, menyatakan sebagai Presiden dirinya tidak akan ikut campur? Menurut Teten Masduki, langkah yang diambil Presiden itu bukan sikap independensi, tapi sikap cuci tangan.
Apakah ada jaminan, andai Presiden melakukan campur tangan, aktifis LSM ini tidak akan mengatakan, langkah presiden itu merupakan bentuk intervensi dari kekuasaan? Tidak ada jaminan!
Normatif, menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perangkat hukum yang bergerak dalam perkara tersebut, mulai dari pihak penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim sudah ada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Kepolisian selaku penyidik, memiliki dan wewenang yang sudah diatur undang-undang, demikian pula jaksa penuntut umum, hakim, dan penasihat hukum. Kalau kita sudah sepakat bahwa negeri ini adalah rechtstaats dan bukan machstaats, maka biarkanlah mekanisme hukum bekerja.
Setiap orang sama kedudukannya di mata hukum. Dan setiap tersangka maupun terdakwa, di mata hukum selalu dianggap tidak bersalah, sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (in krach van gewijsde). Kalau ada kekhawatiran penegakan hukum yang menyangkut Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah akan berjalan tidak sebagaimana mestinya, mari dikawal bersama-sama. Jangan berteriak-teriak yang tidak perlu. Apalagi menciptakan “pengadilan jalanan” melalui jumpa pers di mana-mana.
Memang potret penegakan hukum di negeri ini masih bopeng. Lihat saja hasil pantauan Transparency International Indonesia (TII) pada 2008, yang dirilis 21 Januari 2009 lalu dapat dijadikan pedoman, bahwa sistem penegakan hukum kita memang masih bobrok. Tidak profesional. Lihat saja, indeks suap di kepolisian menempati rekor tertinggi (48 persen), dengan rata-rata jumlah uang/transaksi Rp 2,273 juta. Pengadilan “hanya” (30 persen), tapi rata-rata jumlah uang/transaksi tertinggi, yakni mencapai Rp 102, 412 juta.
Tapi fakta itu tidak lantas memberikan pembenaran bagi setiap orang untuk bersikap anarkhi, secara verbal maupun non verbal (baca: kekerasan fisik) terhadap Pemerintah. Apalagi perilaku anarkhi itu muncul begitu saja. Seperti kentut, asal bunyi. Pokoknya dan yang penting, pernyataan-pernyataan itu bagi orang lain terasa tidak enak dan tidak nyaman. Tak peduli, apakah pernyataan itu menyebabkan kebingungan atau tidak, bukan lagi urusan aktifis. Yang penting ngomong vokal!
Kapan bertindak profesional? Pertanyaan ini ditujukan kepada siapa saja. Mulai dari penegak hukum –penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat– hingga kalangan pakar dan aktifis LSM yang banyak berkomentar. Untuk memulai bertindak secara profesional dan etis, mereka dituntut untuk tidak menjadikan setiap ruangan sebagai “ruang pengadilan”. Sesuai undang-undang ruang pengadilan itu berada di gedung pengadilan.
Masyarakat di negeri yang ditahbiskan sebagai penghuni rechstaat ini sudah saatnya diajari tertib hukum. Cara pengajaran paling efektif adalah dengan memberi teladan, memberikan contoh. Ada proses yang telah diatur dalam perundang-undangan mengenai alur yang harus dilalui agar suatu peristiwa hukum dapat disidang dan diadili secara seadil-adilnya, tidak memihak, dan transparan. Pengadilan jalanan hanya menjadikan suatu peristiwa hukum terlihat semakin karut marut dan menimbulkan social prejudice.
Penyidik yang telah menyangka dan penuntut umum yang telah mendakwa seseorang melakukan kejahatan/pelanggaran, akan diuji dalam ruang sidang pengadilan di hadapan hakim. Dan, jika hakim salah menerapkan hukum, salah menjatuhkan putusan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Tidak perlu ada forum-forum persidangan di cafe-cafe, warnet-warnet, di dapur ibu-ibu, di pasar-pasar, di kantor-kantor, atau di mana saja di luar gedung pengadilan, termasuk di infotaiment.
Bekerja profesional. Apa itu? Menurut sementara orang, profesional dipahami sebagai tindakan untuk bekerja, memecahkan masalah, memberikan penilaian, dan memutuskan masalah berdasarkan kaidah profesi, mengaplikasikan keahlian terkini, serta memiliki integritas yang kuat. Dengan menerapkan kriteria-kriteria semacam itu, seseorang dianggap telah bekerja secara profesional.
Sikap profesional tidak cukup diperoleh dari cerminan ketrampilan mengaplikasikan suatu bidang keahlian, atau dilihat dari sertifikat-sertifikat yang diperoleh dan gelar-gelar akademis yang berjajar di belakang nama seseorang. Eileen Rachman & Sylvina Savitri, Soft Skills Trainer dari Experd, dalam sebuah tulisannya mengatakan, hal yang tidak ketinggalan penting dalam profesionalitas adalah apakah setiap individu bisa menjalankan profesinya dengan etis. Tahu apa yang tidak boleh dilakukan, walaupun dia bisa. Profesionalitas itu teruji justru ketika individu mempunyai otonomi di tempat kerja dan bebas melakukan keputusan dan gerak geriknya, atau bahkan ketika individu, tergoda, “diperintah” atau “dipaksa” keadaan untuk berbelok dari kaidah profesi yang benar.
Kalau kita memang sudah pro, kini saatnya membiarkan mekanisme hukum bekerja. Jangan ciptakan “pengadilan jalanan” di cafe-cafe, warnet-warnet, di dapur ibu-ibu, di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di forum-forum gosip seperti infotaiment, karena pernyataan-pernyataan yang tidak perlu serta membingungkan. Semoga***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar