Sabtu, 14 November 2009

Protret Wajah Mafia Peradilan Kita (Bag. 1)

Empat lembaga penegakan hukum di Indonesia tengah dipertaruhkan kredibilitasnya. Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa perkara uji materiil terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3), bakal memeriksa (baca: memperdengarkan) rekaman penyadapan yang diduga berisi rekayasa kriminalisasi KPK. Seperti diketahui, dalam setiap konflik hukum selalu ada masalah mengenai perbedaan presepsi, intepretasi, dan penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan.


Pasal 32 ayat (1) huruf c adalah ketentuan yang sedang diuji di MK. Ketentuan itu berbunyi ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhenti atau diberhentikan karena: menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan’. Dalam tuntutan provisinya, pemohon meminta agar pelaksanaan ketentuan ini ditunda sementara. Ketua MK, Machfud M.D. dalam keterangan persnya mengatakan, bilamana nantinya di persidangan terbukti adanya rekayasa, akan mempengaruhi putusan hakim bahwa penggunaan pasal terhadap pimpinan KPK itu tidak sesuai dengan tujuannya.

Keterbuktian tersebut, secara tidak langsung tentu saja bakal menghancurkan institusi kepolisian sekaligus kejaksaan, yang saat ini tengah “mengeroyok” KPK. Sedangkan, jika ternyata tidak terbukti, atau dengan kata lain pengenaan pasal terhadap pimpinan KPK sudah sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan perundangan, sudah pasti proses hukum terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah jalan terus. Nah, jika putusan yang terakhir ini terjadi, MK bakal berhadap-hadapan dengan publik yang sekarang ini mem-back up habis-habisan eksistensi pimpinan KPK tersebut.

Namun, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya adanya dugaan rekayasa, tulisan ini bermaksud mengungkap bagai potret wajah mafia peradilan di Republik ini. Contoh kasus pertama terjadi di Medan, Sumatra Utara. Tiga pegawai honorer dan seorang karyawan di Kejaksaan Negeri Medan memalsukan vonis hakim. Akibat putusan tindak pidana pemalsuan itu, masa hukuman beberapa terpidana menjadi dipersingkat.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah vonis yang telah dipalsukan mencapai 50 kasus. Umumnya menyangkut terpidana narkoba. Untuk jasa manipulasi semacam itu, para pelaku menerima imbalan antara Rp1 juta sampai Rp3 juta.

Kasus kedua, ketika dunia peradilan geger gara-gara Ny. Mimi Lidyawati yang duduk di kursi penonton melempar ke hakim Razak. Menurut pelaku dirinya sudah memberikan uang kepada hakim sebesar Rp 2,5 juta, agar terdakwa Nina yang menipu dirinya diputus dihukum berat. Ternyata divonis ringan. Dan, ketiga, menyangkut skandal Gandhi Memorial Sechool, yakni terjadinya penyuapan terhadap tiga orang hakim agung yang memeriksa perkara itu. Skandal ini diselesaikan hanya melalui pembentukan Korwasus (koordinator pengawasan khusus).

Hampir bersamaan, tiga hakim agung M. Yahya Harahap, Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto juga sempat duduk do kursi pesakitan pada pertengahan 2001. Tetapi ketiga hakim agung lolos dari tuduhan jaksa. Majelis hakim menganggap mereka “tidak dapat diperiksa dan diadili berdasarkan dakwaan yang batal demi hukum”. Padahal kasus penyuapan hakim tidak ada hubungan hukumnya dengan pokok perkara yang diperiksa. Aneh?

Kemudian menyusul F. Zendrato, hakim PN Selatan, duduk di kursi terdakwa. Tak mau ketinggalan, hal yang sama menimpa Zainal Agus, Kasubdit TUN MA. Selanjutnya, ada kasus tiga orang hakim dalam perkara perusahaan asuransi Manulife. Yang terakhir ini tidak sampai ke meja hijau, karena sudah lolos pada pemeriksaan di Majelis Kehormatan Hakim.

Jauh sebelumnya, dalam operasi tertib yang digelar Pemerintah pada 1981 berhasil menjerat empat orang hakim senior: Heru Gunawan, HM Soemadijono, Hangku Izmu Azsar dan JZ Laudoe. Dua di antaranya harus duduk di kursi terdakwa. Laudoe divonis 1,6 tahun penjara, dan Heru dijatuhi hukuman 6 bulan penjara. Enam tahun kemudian, persisnya 1987, Rowiyanto, Ketua PN Malang terpaksa duduk di kursi pesakitan karena menggelapkan uang titipan milik Universitas Brawijaya Malang.

Masih Amburadul
Seluruh warga bangsa di negeri ini, tampaknya masih harus tetap berusaha keras memperbaiki citra lembaga hukum dan aparat penegak hukumnya sekaligus. Masih amburadulnya potret penegakan hukum yang terjadi setelah usia negara ini lebih dari setengah abad, memang semata tidak dapat dilihat secara sepotong-sepotong. Epidemi moralitas yang nyaris dapat dipastikan menghinggapi seluruh perangkat hukum mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas tersebut, tidak dapat dilepaskan pula dari fakta kemiskinan yang masih melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, di samping kondisi masyarakat yang kebanyakan masih buta hukum. Akibatnya, peranan penegakan hukum lebih banyak didominasi masyarakat perkotaan yang memiliki kecenderungan melakukan manipulasi-manipulasi bahkan penipuan terhadap masyarakat pedesaan yang masih lugu dan polos.

Di tengah situasi yang demikian itu, sudah tentu perlu adanya pemberdayaan hukum di kalangan masyarakat umum, khususnya pada masyarakat yang memiliki kepedulian di bidang penegakan hukum dan keadilan. Utamanya dalam kerangka menghadapi mafia peradilan-mafia peradilan yang relatif masih cukup berkuasa dalam sistem penegakan hukum dan keadilan.

Seperti dipahami, dalam tatanan masyarakat apa pun di dunia ini dapat dipastikan selalu diatur oleh hukum. Bagi kehidupan, kedudukan hukum memang tidak dapat dipisahkan dari hubungan-hubungan sosial antar individu, bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat, bila dia akan memutuskan sebuah sikap yang memiliki dampak hukum. Dengan demikian antara hukum dan masyarakat, baik dalam kehidupan masyarakat yang masih sangat primitif maupun masyarakat paling modern pun, memiliki keterkaitan erat yang tidak mungkin dipisahkan.

Kalangan pakar ilmu hukum memang belum bersepakat mengenai definisi hukum itu. Namun, secara umum pengertian hukum telah disepakati sebagai aturan atau norma perilaku dari subyek hukum, baik sebagai individu maupun sebagai badan hukum-badan hukum, dalam tatanan bermasyarakat. Ditinjau dari pelaksanaannya, aturan atau norma hukum memiliki sifat yang memaksa atau coercive, dibandingkan dengan aturan atau norma-norma masyarakat lainnya, seperti norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.

Sebagai aturan atau norma bertingkah laku, kedudukan hukum merupakan institusi sosial yang melindungi manusia sebagai makhluk sosial, sejak dirinya di alam rahim sampai dengan masuk liang lahat. Tidaklah dapat dibayangkan seandainya tata hubungan kehidupan sosial bermasyarakat tanpa didasari aturan-aturan atau norma hukum. Wujud kehidupan sosial kemasyarakatan yang demikian itu sudah tentu kacau-balau dan tidak tenteram, oleh karena setiap individu dalam kehidupan yang semacam itu dapat berbuat seenaknya, sekehendak hatinya.

Sebagai manifestasi dari filsafat hidup yang menyangkut tatanan nilai masyarakatnya, maka hukum merupakan cermin budaya masyarakat yang bersangkutan. Sebab itu dalam kenyataannya hukum senantiasa berkembang, dipengaruhi dan saling mempengaruhi oleh keadaan-keadaan politik, ekonomi, sosial-budaya, ideologi, serta sistem pertahanan dan keamanan masyarakatnya. Maka dari itulah meski hukum mempunyai sifat universal, namun dalam batas-batas tertentu memiliki kekhasan atau perbedaan-perbedaan yang bersifat kebangsaan, antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya.

Dalam kedudukannya sebagai perangkat pedoman untuk bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, secara singkat hukum dapat dinyatakan memiliki tujuan menciptakan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Agar tujuan hukum tersebut dapat tercapai, maka hukum harus memiliki suatu sistem penegakan yang berlandaskan pada nilai-nilai demokratis dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Karena dengan mengabaikan kedua aspek yang disebut terakhir ini, maka apa yang disebut dengan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan sosial hanyalah fatamorgana yang tercipta dari sebuah tirani (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar