ISLAM sebagai agama yang mengajarkan toleransi, saat
ini tengah mengalami degradasi ke bibir jurang pembusukan. Sikap-sikap
intoleransi semakin dipertontokan secara telanjang di depan publik. Yang lebih
memprihatinkan, perilaku kasar yang kerap menimbulkan kerusakan harta benda
bahkan hilangnya nyawa manusia itu, dilakukan oleh mereka yang mendeklarasikan
dirinya sebagai umat beriman (baca: muslim).
Padahal jika kita mencari di dalam literatur
Islam, termasuk di dalam Alquran dan Alhadist, tidak ada perintah atau sunnah
Nabi Muhammad untuk berperilaku semacam itu. Banyak kisah dalam sirah nabawiyyah menggambarkan bagaimana
sikap manusiawi dari Sang Nabi terhadap kalangan non-muslim maupun orang yang
berbeda paham dalam soal keimanan. Sebagai utusan-Nya Nabi Muhammad paham betul
apa makna dari firman Allah, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan tidak ada pula
paksaan dalam keberimanan (Q.S. Al Baqarah: 256 dan Yunus: 99).
Kalangan ulama Nusantara pada masa pra kemerdekaan,
yang sejak awal terlibat aktif dalam kelahiran Republik ini, telah bersepakat
bahwa negeri ini adalah wilayatul
Islamiyah atau wilayah Islam, karena sebagian besar penduduknya muslim. Penetapan
Nusantara sebagai wilayah Islam didasarkan pada keniscayaan bahwa beberapa
kerajaan besar yang menguasai seluruh wilayah negeri ini, sebelum era
penjajahan, adalah kerajaan Islam. Berpijak pada keyakinan itulah, meski kemudian
pemerintahan Hindia Belanda menguasai negeri ini hingga tiga ratus lima puluh
tahun, tidak lantas menyebabkan kewilayahan Islam itu hilang.
Kalangan ulama saat itu berpendapat bahwa negeri
ini telah di-ghasab oleh pihak penjajah.
Karena itu kedudukan pihak penjajah tidak lebih dari sekadar menumpang di
permukaan di bumi Nusantara. Sementara
dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas penduduknya dalam hubungan sosialnya
tetap berpegang teguh pada adat-istiadat, yang secara hakikat telah banyak
dipengaruhi oleh nilai-nilai syariat Islam. Oleh sebab itu wilayah Nusantara dikatagorikan
sebagai daerah jajahan atau darul harb. (Abdul
Mun’im DZ: 2011)
Keyakinan inilah yang kemudian tatkala tentara penjajah
Belanda (NICA), dengan membonceng tentara Sekutu ketika mendarat di Surabaya,
bermaksud menjajah kembali negeri ini, KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945
mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam seruan jihad itu, tokoh pendiri Nahdlatul
Ulama ini dengan tegas menyatakan bahwa perlawanan itu dilakukan demi
menegakkan NKRI dan Agama Islam. Perjuangan yang bersifat jihad fi sabilillah ini kemudian dikenal sebagai serangan 10
November 1945, yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Dengan kenyataan berdasarkan riwayat sejarah
berdirinya Republik itu, semakin jelas bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia
adalah negara republik, yang menganut sistem pemerintahan presidensiil. Karena
itu negara ini mengakomodasi serta memberikan hak yang sama kepada setiap warga
negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
secara bebas. Tidak boleh ada, dari pihak mana pun baik perseorangan maupun
kelompok, melakukan intimidasi, apalagi tindak kekerasan terhadap pemeluk agama
yang berbeda dengan maksud dan atau tujuan apa pun.
Keyakinan mengenai pilihan bahwa negeri ini bakal menganut
sistem pemerintahan republik, dapat dicermati dari peristiwa menjelang
penyerahan kekuasaan bala tentara Jepang di Indonesia. Pada sekitar 1943, KH
Hasyim Asy’ari, tatkala menjawab pertanyaan Pimpinan Tertinggi Tentara Jepang di
Indonesia saat itu Laksamana Maeda, dengan tegas menjawab bahwa yang pantas
memimpin bangsa Indonesia setelah proklaasi kemerdekaan adalah Soekarno,
seorang tokoh nasionalis.
Daulah Islamiyah
Kini, Republik ini berada dalam bayang-bayang
cengkeraman kelompok-kelompok garis keras yang mencita-citakan berdirinya
pemerintahan Islam atau daulah Islamiyah.
Sosok-sosok penganut, atau paling tidak memiliki ide yang sama dengan sekte
Wahabi yang diimpor dari kawasan Timur Tengah, kini telah hadir di Republik ini
dengan menumpang “kapal” Orde Reformasi. Mereka memiliki jaringan pembinaan
maupun pendanaan dalam skala internasional. Sebab itu gerakan ini disebut
gerakan transnasional.
Dalam beraktivitas, gerakan Islam transnasional
ini tidak seluruhnya bertindak terang-terangan. Sebagian yang lain dilakukan
secara tertutup dan terorganisasi secara rapi serta terstruktur. Mereka
mendapatkan dana operasional dari para simpatisan di dalam negeri –baik secara
sadar atau tidak sadar– serta memperoleh kucuran dana dari donatur luar negara
secara teratur. Karena itulah tak mengherankan bilamana ada beberapa oknum
anggota gerakan ini, menjadikan luapan dana bantuan tersebut sebagai sumber
mata pencaharian.
Jika merunut sejarah perkembangan Islam, sikap
intoleransi memang pernah dipertontonkan oleh sekelompok orang yang keluar dari
barisan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama sekte Khawarij, yang memiliki
kegemaran mengkafirkan siapa saja yang mereka anggap “berbeda” baik dalam sikap maupun pandangan. Dan, siapa
pun telah dikafirkan, maka halal darahnya ditumpahkan dan hartanya dirampas.
Aksi-aksi kejam dan destruktif yang dipertontonkan kelompok ekstrem ini
kemudian tenggelam, sebab tak mendapatkan dukungan kaum muslimin.
Sikap dan tindakan kelompok Khawarij ini dilatarbelakangi
pemahaman yang sempit tentang ajaran
Islam. Mereka memahami pesan-pesan Alquran maupun hadist Rasulullah secara
harfiah dan tertutup. Bagi mereka ajaran keimanan menurut Islam tidak perlu
didekati dengan penafsiran, termasuk pendekatan tasawuf. Karena itu, terjadilah
dengan apa yang disebut formalisme agama. Alquran maupun Alhadist diikat dalam
format atau pola pandang yang sempit,
subyektif, serta literalistis (baca: pembacaan secara harfiah). Kelompok
ini memonopoli penafsiran mengenai ajaran Islam secara tertutup dan keras.
Pasca raibnya kelompok Khawarif, ternyata tidak
sekaligus melenyapkan gerakan Islam radikal. Dengan sikap dan perilaku yang hampir
sama, pada abad ke-18 lahir di jazirah Arab kelompok Wahabi. Pencetus sekte ini
adalah Muhammad ibn ‘Abdul Wahab, anak dari ‘Abdul Wahab, seorang hakim di
‘Uyaynah daerah Najd, pengikut madzab Ahmad ibn Hambal. Menurut pencetusnya,
literalisme tertutup terhadap teks-teks Alquran maupun Alhadist, semula
ditujukan untuk maksud memurnikan ajaran Islam. Untuk tujuannya itu sekte
Wahabi mengamputasi segala bentuk kompleksitas pemahaman ajaran Islam, yang
telah tumbuh berkembang serta mempengaruhi dan dipengaruhi tata budaya lokal,
dinamika teologi, maupun tasawuf.
Jika dicermati, gerakan transnasional yang saat
ini marak berkembang di Indonesia, memiliki kesamaan yang hampir persis dengan
ajaran dari sekte Wahabi. Gerakan ini tidak hanya menyerang mereka yang dituduh
“kafir” karena berbeda keyakinan, tapi menyerang kepada sesama muslim yang dituduh
telah “kafir”. Kafir menurut Ibn ‘Abdul Wahab, adalah lawan dari mukmin dan
darahnya halal untuk ditumpahkan, sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, kafir adalah
suatu kondisi tertutup atau menolak kebenaran sejati, bahkan sumber kebenaran
sejati. (Lihat: Hamid Algar dalam Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, 2009).
Secara terorganisasi, gerakan transnasional ini terus
bergerak menyebarkan faham Wahabisme dengan menyusup ke berbagai lembaga
pemerintahan maupun pendidikan, termasuk kalangan mahasiswa dengan menguasai
lembaga dakwah di kampus-kampus. Juga, mendirikan radio amatir di beberapa
daerah, yang menyiarkan materi-materi faham Wahabi, dengan kesukaan
mengolok-olok praktik amaliyah kelompok Islam lainnya yang sudah turun-temurun
diamalkan di negeri ini. Akibat berbagai tindakan dari gerakan ini, di beberapa
kawasan sempat timbul sengketa. Maka dari itu, demi keutuhan NKRI, sudah
saatnya penguasa negeri ini bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok sok
alim, yang kerap melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar