Selasa, 04 Januari 2011

Joki Napi: Ada Tiga “Keanehan”

Terungkapnya Terungkapnya kasus joki (baca: penggantian posisi) narapidana Kasiyem, yang digantikan Sukarni di Lapas Bojonegoro, Jatim, sebenarnya bukanlah hal baru. Itu adalah modus lama yang baru terungkap. Seorang Kasiyem, rasanya tidak masuk akal memiliki kecerdikan semacam itu. Akal-akalan semacam itu bisa diotaki oleh oknum penyidik, atau oknum kejaksaan, yang keduanya bekerja sama dengan oknum di lembaga pemasyarakatan.

Di kalangan komunitas pembunuh bayaran, keberadaan joki untuk menggantikan kedudukan pelaku/pembunuh yang sebenarnya, sudah lumrah terjadi. Mereka yang bersedia menjadi joki bakal mendapatkan jaminan penghidupan. Tidak semata bagi dirinya sendiri, tapi juga keluarganya. Penjaminan ini juga “diurusi” sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga vonis hakim.

Misal, hasil penyelidikan diperoleh kepastian mengenai pelaku sesungguhnya, yang bersangkutan tetap akan dipanggil penyidik. Kedudukannya, baru sebagai saksi. Sebab itu, ia tidak ditahan. Bila negosiasi gagal, kedudukannya sebagai saksi bakal ditingkatkan menjadi tersangka. Namun, bila negosiasi berhasil, sejak di tingkat penyidikan, yang di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan) adalah orang lain yang memang ditetapkan sebagai joki.

Kasus Kasiyem
Lain lagi dengan kasus joki di Bojonegoro. Mengenai kasus Kasiyem, sejak kapan niatan atau tujuan pokok (oogmerk) kejahatan itu dimulai, di tingkat penyidikankah, penuntutankah, atau saat eksekusi pidana di lembaga pemasyarakatan? Semua masih belum jelas. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memang telah memeriksa Kepala Kejaksaan Bojonegoro, beserta lima jaksa lainnya. Dua di antaranya sudah terindikasi kuat terlibat dalam tindak perjokian tersebut, beserta pengacara Kasiyem.

Sebagai konsultan, Penulis hanya dapat menganalisis adanya kejanggalan-kejanggalan prosedur yang patut dipertanyakan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) tindakan aparat terkait yang dapat dikatagorikan tak lazim. Dengan kata lain, dalam konteks prosedur penegakan hukum, buntut terungkapnya perkara itu, semua pejabat dari institusi penegak hukum yang terlibat dalam kasus joki ini sudah sewajarnya diperiksa.

Pertama, sejak di tingkat penyidikan, perkara Kasiyem yang dianggap bersalah karena menjual pupuk bersubsidi padahal dirinya bukan distributor itu, tidak pernah ditahan. Menurut Kasiyem menjawab pertanyaan wartawan, dirinya merasa tidak pernah merekayasa perjokian tersebut. Ia hanya membayar Rp 22 juta kepada pengacara dengan tujuan, agar bisa bebas. Maknanya, terpidana itu sejak perkara tersebut terungkap tidak ingin ditahan, apalagi dipenjara, berapa pun biayanya. Dan faktanya, ia memang tidak pernah ditahan. Entah, jurus apa yang digunakannya.

Kedua, dengan ketakutan yang sama, Kasiyem pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Bojonegoro, juga tidak ditahan. Dalam dunia praktik hukum, nyaris tidak ada satu pun tersangka baik pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, yang tersangkanya tidak ditahan. Kalau kemudian ternyata tersangkanya tidak ditahan, itu bukan karena penyidik atau penuntut umum yakin pesakitan itu tidak bakal mempersulit pemeriksaan, tapi kebanyakan karena sudah membayar uang “jaminan” yang tidak pernah ada tanda terimanya.

Ketiga, tatkala Kasiyem diantar aparat kejaksaan ke Lapas Bojonegoro untuk menjalani pidana, sesuai pengakuan pihak Kalapas, saat itu berkas kelengkapan administrasi terpidana tanpa disertai foto dan keterangan sidik jari. Prosedural, pihak Lapas seharusnya menolak penyerahan “Kasiyem” palsu untuk menjalani eksekusi. Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan besar serta wajib diinvestigasi oleh Satgas Mafia Hukum, sudah berapa kalikah perjokian tersebut terjadi Lapas Bojonegoro?

Kalangan praktisi hukum sudah mahfum, bahkan mungkin sudah ahli. Dengan hanya mendengar atau membaca informasi melalui media massa, dirinya dapat “mencium” suatu perkara pidana yang tengah diperiksa itu dalam genggaman mafia hukum atau tidak. Memang, tidak semua tersangka yang tak ditahan, pasti telah membayar uang ke penyidik/penuntut umum. Tapi peristiwa semacam itu terbatas, misalnya, karena kasusnya melibatkan pejabat daerah, atau yang bersangkutan memegang katebelece. Sedangkan untuk orang miskin, meski perkaranya kecil, penegak hukum pasti menahannya. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar