Senin, 28 Desember 2009

John Locke Dalam “Membongkar Gurita Cikeas”

Kita semua prihatin, ketika buku “Membongkar Gurita Cikeas” dicekal Kejaksaan Agung. Sebenarnya karya George J. Aditjondro itu dapat disetarakan dengan produk jurnalistik. Kita tahu keberadaan pers di tengah kehidupan sosial memiliki posisi strategis. Sebab kedudukan pers selain memiliki peran dalam memberikan informasi kepada masyrakat juga merupakan sarana komunikasi yang ampuh untuk membentuk opini publik. Karena itu kiprah pers dalam suatu sistem kemasyarakatan yang demoklratis seringkali tampil sebagai pahlawan, menyuarakan sekaligus menuntut ditegakkannya nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia (HAM).



Kebebasan pers yang dikembangkan di negara-negara Barat berdasarkan falsafah John Locke, berpendapat bahwa kebenaran bisa terungkap hanya melalui pertarungan pendapat yang berlawanan dan diutarakan secara bebas. Tidak ada individu atau kelompok yang memegang monopoli atas kebenaran dan terbebas dari kesalahan. Sebab itu pula, pers harus diberi kebebasan untuk memberitakan apa pun yang terjadi, tanpa perlu memberikan persyaratan yang harus dilakukan sebelum “berbicara”.

Tidak perlu pula mempersoalkan apakah yang tengah “dibicarakan” itu adalah informasi yang bertanggung jawab dan jujur. Masyarakat, sebagai komunikan, dianggap dapat menentukan sendiri tentang apa yang disebut dengan informasi yang “bertanggungjawab dan jujur”. Berdasarkan pemikiran itulah, dalam menyoroti buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas”, sang penulis telah menilai masyarakat Indonesia cukup dewasa dalam dinamisasi politik bangsa. Warga bangsa ini tidak perlu lagi didikte untuk menilai tentang “kebenaran” atau “ketidakbenaran” informasi.

Maka, andai karya tulis tersebut kemudian diklasifikasikan juga sebagai produk jurnalistik, sesuai UU Pers, kemerdekaan (baca: kebebasan) mengekspresikan sumber berita/data dalam buku dimaksud haruslah dianggap sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat, berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dan, sesuai Pasal 5 UU Pers itu pula, dalam memberitakan peristiwa dan opini, si penulis wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Termasuk di dalamnya keberanian penulisnya melakukan klarifikasi serta melakukan koreksi, bila tentang apa yang ditulisnya itu ternyata salah.

Bahasa Caci Maki dan Prasangka
Semakin maraknya bahasa caci maki, sumpah serapah, amarah, dan prasangka pada awal pemerintahan periode kedua Presiden SBY saat ini, sebenarnya bukan hal yang baru terjadi. Harian Kompas dalam tajuk rencananya pada 15 Desember 2000, telah mengulas perilaku seperti itu kala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Presiden. Ulasan tersebut merupakan catatan atas pernyataan presiden, ketika menyambut HUT ke-63 Kantor Berita Antara, bahwa situasi krisis moral dan kepemimpinan saat ini (baca: saat itu) ditandai dengan berubahnya ajang dialog menjadi kancah caci maki satu sama lain dan prasangka buruk menjadi ukuran kehidupan.

Harian nasional itu mengemukakan, terlepas dari kebenarannya, segera muncul isu KKN baru. Isu perlakuan diskriminatif terhadap pengusaha besar yang bermasalah. Alasan dan pertimbangan rasional dikemukakan dan sebutlah, masuk akal. Akan tetapi baru sebatas isu pun, hal itu tampak sudah mengguncangkan harapan masyarakat. Berkepanjangan sampai sekarang inilah keadaannya. Bagaimana ke luar dari suasana “prasangkan buruk yang menjadi ukuran kehidupan itu?” Ini tugas kita bersama, terutama tentu saja tugas pemimpin dan para pemimpin.

Faktor-faktor yang menyebabkannya beragam. Faktor-faktor beragam itu amat cepat, menyebabkan komunikasi antara pemerintah dan pemimpin dengan masyarakat luas tidak berjalan lancar. Jangankan dengan masyarakat luas, komunikasi di antara sesama pemimpin dan elite politik pun terhambat, tersendat, dan melahirkan gaya bahasa caci maki, sumpah serapah, dan amarah. Menurut kenyataannya, itulah yang memang terjadi. Harus secara jujur dan secara rendah hati dicari sebab-sebab dan faktor-faktor itu, jika kita menginginkan perbaikan.

Yang lebih dulu ada ialah fenomena, dan itu menyusul kekecewaan dan kemasygulan. Subur prasangka buruk. Karena sama-sama cuek, perasaan dan pikiran diungkapkan dengan bahasa caci maki, sumpah serapah, amarah. Elite politik dan lingkungannya melampiaskan kekecewaan dengan bahasa politik dan bahasa komunikasi kasar, serta prasangka. Masyarakat luas lain lagi cara mereka menyatakan kekecewaan dan amarah. Ditempuhnya jalan perusakan, main hakim sendiri, ambil tindakan sendiri. Sikap dan tindakan emosional massa ada yang spontan, ada pula yang mengail di air keruh, bahkan merekayasa.
Demi Siapa atau Demi Apa
Pangab/Pangkopkamtib (kala itu) Beny Moerdani, menjawab pertanyaan pers usai berbicara sebagai salah satu nara sumber pada HUT ke-15 Mingguan Berita Tempo di Hotel Sahid Jakarta, berkisah tentang Panglima Pasukan Sekutu, Dwight Eisenhower. Ketika akan mulai penyerangan, panglima itu menjelaskan tentang rencana penyerangan terhadap Nazi Jerman tersebut kepada sekitar 200 jurnalis yang menyertainya.

Usai menerangkan, ia pun menyatakan kepada para kuli tinta itu, terserah mereka mau menuliskan rahasia penyerangannya atau tidak. Yang pasti, katanya menambahkan, pasukan yang terlibat dalam penyerangan itu tidak kurang dari 500.000 tentara. Jiwa para tentara itu sepenuhnya tergantung pada keputusan para wartawan. Semua wartawan sepakat untuk tidak mempublikasikannya, dan proses pendaratan tentara sekutu dimaksud berjalan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan.

Dalam episode di atas, jelas sekali pihak pemerintah tidak membatasi kebebasan pers untuk mengekspresikan hak-haknya. Namun, moral wartawan kala itu mengambil sikap untuk tidak menggunakan hak kebebasannya, sebab menurut pertimbangannya mengekspos fakta peristiwa itu sama artinya dengan mengorbankan jiwa para tentara yang telah rela mengabdikan diri bersama jiwa dan raganya. Maka, tindakan selfprotective demi kepentingan negara-negara sekutu dalam perang melawan Nazi Jerman kala itu, menjadi prioritas utama.

Wartawan seperti itu sudah memahami betul demi siapa dan demi apa, mereka menulis atau tidak menuliskan fakta peristiwa. Kalau sekadar demi keuntungan semata, publikasi mengenai rencana dan strategi penyerangan tentu memiliki bobot nilai berita yang tinggi. Tapi mereka tidak mengambil peluang itu. Bagaimana dengan para pemimpin, para pakar, para mahasiswa, serta pers Indonesia? Apakah perubahan dari ajang dialog menjadi kancah caci maki satu sama lain, dan prasangka buruk yang menjadi ukuran kehidupan saat ini telah memiliki landasan berpikir “demi siapa dan demi apa” semua itu dilakukan? Kalau semata demi perut (baca: kekuasaan) atau sekadar mencari popularitas, sekaligus mendapatkan royalti besar, lalu apa perbedaan mereka?

2 komentar:

  1. salam...
    Numpang lewat yah mas...wah artikelnya banyak juga yah...Bisa sharing-sharing neh kayaknya...hehehe...salam kenal yah mas...Ryo

    BalasHapus