Sabtu, 05 Desember 2009

Dalam Seteru KPK Vs Polri, Polisi Punya Hak Oportunitas

Mabes Polri pada awal Januari 2005 lalu, pernah menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT. Maspion, Alim Markus, sebagai tersangka. Menurut Direktur II Ekonomi Khusus (waktu itu) Brigjen Andi Chaerudin, yang mempimpin penyidikan terhadap pengusaha papan atas itu, Alim Markus bersama tiga tersangka lainnya, Kim Siang, Pauline dan Fo Tjin Yen, diduga melakukan tindak pidana ekonomi menghimpun dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia. Keempatnya dikenai Pasal 46 ayat (1) UU No. 7/1992 yuncto UU No. 10/1998 tentang Perbankan.



Dan, seperti dalam perkara Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, karena pasal yang dipersangkakan ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun penjara, sesuai KUHAP, mereka pun ditahan di rutan Mabes Polri. Namun, untuk Alim Markus sendiri, jenis penahanannya di rutan tersebut kemudian dialihkan menjadi tahanan kota. Hanya saja setelah itu perkaranya belum ada kejelasan hingga saat ini. Dihentikan penyidikannya atau “hilang” begitu saja?

Normatif, mengacu pada Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian R.I., kepolisian (baca: penyidik) memiliki wewenang mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya, pada Pasal 18 dalam undang-undang yang sama, baik ayat 1 maupun ayat 2, selengkapnya berbunyi:
1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan berdasarkan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Wewenang tersebut dalam ilmu hukum disebut dengan asas oportunitas. Yaitu suatu asas yang memberikan hak, baik kepada kepolisian maupun kejaksaan, untuk kepentingan umum dan sangat perlu, dapat mengesampingkan suatu perkara. Dengan asas dimaksud perkara tersebut tidak sampai pada tahap penuntutan oleh kejaksaan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, dalam batasan “apa” dan “bagaimana” suatu perkara dapat diklasifikasikan sebagai perkara yang mengandung kepentingan umum dan sangat perlu.
Kepentingan Umum
Sebenarnya seluruh pejabat penegak hukum (baca: Kepolisian dan Kejaksaan Agung), yang ada di Republik ini sudah mahfum tentang batasan “apa” dan “bagaimana” suatu perkara. Penulis yakin, dalam file-file perkara yang pernah ditangani kedua institusi ini, banyak perkara yang dihentikan penyidikan atau penuntutannya karena prinsip asas oportunitas. Perkara yang dikemukakan pada awal tulisan ini, misalnya, dapat dijadikan sebagai contoh.
Memang, dalam praktik, asas oportunitas ini seringkali diselewengkan untuk sekadar mendapatkan uang sogokan atau uang pungli. Namun, tentunya kita tidak boleh berburuk sangka. Kita masih yakin di negeri tercinta ini tetap ada aparat penegak hukum yang bersih dan berhati nurani. Kita ini kan penganut ajaran Durheim. Maksudnya, kerusakan yang terjadi disuatu institusi bukanlah disebabkan oleh kerusakan sistem, tapi lebih dikarenakan kerusakan moral aparaturnya. Ada oknum yang melakukannya.
Sebab itulah, kalau kita melihat ada kerusakan pada institusi penegakan hukum, maka kerusakan itu semata dilakukan oleh oknum. Bukan oleh institusi itu sendiri. Dan, kerusakan seorang oknum tidak lantas kemudian menyebabkan sebuah institusi secara keseluruhan menjadi ikut rusak. Sekali lagi, itu kerusakan oknum. Demikian, seringkali dikatakan oleh pejabat-pejabat kita.
Sementara menurut Penulis, dari membaca tanggapan-tanggapan pada Blog.Kompasiana.Com, kebanyakan orang menilai dan memahami kerusakan oknum sebagai kerusakan institusi. Tidak salah, memang. Pemikiran semacam ini dapat dianggap sebagai pemikiran para penganut Karl Marx, yang mengembangkan faham/aliran struktural. Faham ini di Indonesia banyak dianut oleh kalangan aktifis lembaga swadaya masyarakat dan beberapa pakar dari kalangan akademisi. Salah satu istilah yang populer di negeri ini yang berbasis pada faham ini adalah istilah kemiskinan struktural. Orang miskin bukan disebabkan oleh nasibnya sendiri, tapi lebih disebabkan oleh struktur masyarakat yang dibangun oleh penguasa.
Nah, kembali ke laptop, dalam kasus KPK Vs Polri, Penulis menilai tentang syarat-syarat adanya “kepentingan umum dan sangat perlu” tampaknya sudah tercukupi. Melalui rapat Menkopolhukam yang melibatkan Kapolri dan Jaksa Agung, Penulis yakin pembahasan sudah memasuki ranah itu. Masalahnya hanya menunggu koordinasi dan persetujuan Presiden sebagai orang nomor satu pada jajaran eksekutif di Pemerintahan ini. Meski Presiden tak perlu “muncul” ketika kebijakan oportunitas itu dilaksanakan. Sesuai undang-udang, cukup dilakukan oleh perangkat penegak hukum, Polri setelah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Hambatan terakhir yang perlu dikesampingkan adalah rasa gengsi dan malu, apalagi rasa balas dendam. Butuh keikhlasan dan ketulusan. Semua bisa dikembalikan dalam koridor hukum. Perhatikan Pasal 4 UU Kepolisian secara tegas menyatakan, Kepolisian RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dan perhatikan pula dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kejaksaaan R.I. dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Maka, Penulis yakin, kalau tidak ada rasa gengsi dan malu, apalagi rasa balas dendam, Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah akan dibebaskan berdasarkan asas oportunitas. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar