Tim Pencari Fakta (Tim-8) telah menarik kesimpulan. Andai aku adalah Bibit atau Chandra, dua pimpinan KPK yang dinonaktifkan itu, aku akan meminta Kejagung agar perkaranya jalan terus. Ada 2 (dua) kajian hukum yang dapat digunakan untuk menyoroti perkara tersebut.
Pertama, apa pun isi rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8) yang disampaikan kepada Presiden, catatan itu bukan putusan hukum pro yustitia. Artinya, rekomendasi itu hanya dapat diklasifikasikan sebagai memo yang menggambarkan track record terhadap kedua pimpinan lembaga penegak hukum itu –kepolisian dan kejaksaan– beserta jajarannya. Di samping itu, rekomendasi dapat memperkuat prediksi adanya jaringan mafia peradilan di Indonesia pasca dibeberkannya rekaman penyadapan KPK dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden melalui Menkopolhukam itu, dikatakan dalam fakta proses hukum penyidik dinilai tidak memiliki cukup bukti. Andai pun terjadi tindak pidana, penyerahan uang dari Anggodo kepada Ari Muladi langsung tersangka, atau ke tersangka melalui Yulianto, bukti yang dimiliki penyidik terputus. Namun, jika dipaksakan, perkaranya lemah, sebab menggunakan pasal karet.
Terlepas dari posisi hukum rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8), bagi Bibit dan Chandra, isi rekomendasi tersebut jelas sangat menguntungkan. Ibarat seorang anak sekolah dasar yang tengah bersiap menghadapi UNAS (ujian nasional), andai aku adalah Bibit atau Chandra, aku sudah memperoleh bocoran jawabannya. Dengan kata lain, aku tidak perlu ada kekhawatiran tentang hasil “ujian”, karena menghadapi ujian merupakan tahapan untuk menentukan sebuah kelulusan.
Maka, andai aku merasa tidak bersalah, aku justru harus lebih menantang kepada siapa pun agar perkaranya tetap dilanjutkan. Mengapa? Karena bangsa ini sudah terlanjur sepakat dalam konstitusi bahwa negeri ini adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Itu berarti, KPK sebagai bagian dari sistem penegakan hukum di Republik ini, harus pula ditegakkan sesuai koridor hukum yang berlaku. KPK tidak boleh, bahkan dilarang menjadi “anak manja” –karena berbagai fasilitas dan gaji pegawainya– yang selalu meminta diistimewakan.
Maka dari itu, andai aku adalah Bibit atau Chandra, aku akan berpikir bahwa segala niatan yang bermaksud melarikan diri dan bersembunyi dibalik rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8), merupakan tindakan pengecut dan tidak konsisten. Sebab sesuai dengan ilmu hukum, hanya hakimlah yang berhak menentukan seseorang itu bersalah atau tidak bersalah. Bukan kekuasaan yang lain, termasuk bukan Tim Pencari Fakta (Tim-8). Duduk di kursi terdakwa bukanlah kedudukan yang rendah dari sisi martabat, jika hal itu untuk menentukan yang haq dan yang bathil dihadapan masyarakat sekaligus dihadapan Tuhan.
Hakim Ad Hoc
Kedua, melalui pemutaran rekaman hasil penyadapan KPK, jutaan pasang mata di negeri ini telah menyaksikan bagaimana potret wajah mafia peradilan kita. Dan, apa yang terpapar itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi seperti sinetron-sinetron cengeng di televisi kita. Dan, sudah tentu jaringan mafia peradilan itu menyeruak masuk pula di pengadilan-pengadilan negeri.
Sebab itu, andai aku adalah Bibit atau Chandra, tentu saja khawatir bila perkaraku disidangkan oleh hakim-hakim karir yang korup, apalagi memiliki dendam terhadap KPK. Memang menurut data yang ada, banyak hakim-hakim karir yang membebaskan terdakwa korupsi. Namun, jika hanya alasan tersebut kemudian aku ketakutan dan lari bersembunyi dibalik rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8), langkah itu bakal merobohkan tembok demokrasi, penegakan hukum, dan keadilan. Itu sama artinya merobohkan konstitusi beserta lembaga penegak hukumnya, termasuk KPK.
Menurut ketua timnya, rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden melalui Menkopolhukam tersebut, dalam fakta proses hukumnya penyidik dinilai tidak memiliki cukup bukti. Andai pun terjadi tindak pidana, penyerahan uang dari Anggodo kepada Ari Muladi langsung tersangka, atau ke tersangka melalui Yulianto, bukti yang dimiliki penyidik terputus. Namun, jika dipaksakan, perkaranya lemah, sebab menggunakan pasal karet. Bila isi rekomendasi itu benar, andai aku adalah Bibit atau Chandra, tentu sangat menguntungkan. Bahkan aku berani memastikan: Bebas!
Untuk mendukung hasil rekomendasi Tim Pencari Fakta (Tim-8), andai aku adalah Bibit atau Chandra, aku meminta diperiksa dan diadili oleh hakim yang benar-benar bersih, transparan, serta adil. Hakim-hakim semacam itu tentunya baru dapat diperoleh melalui penyaringan yang ketat. Agak istimewa memang. Tapi hal itu perlu dilakukan tidak diarahkan untuk menyelamatan terdakwanya, lebih dimaksudkan untuk menyelamatkan konstitusi negara hukum sekaligus lembaga penegak hukum.
Maka dari itu, andai aku adalah Bibit atau Chandra, aku akan berdoa agar perkaraku jalan terus hingga ke pengadilan, dan Tim Pencari Fakta (Tim-8) merekomendasikan dua hal saja:
1. Bahwa demi tegaknya konstitusi dan perundang-undangan di bidang penegakan hukum di Indonesia, maka perkara Bibit dan Chandra tetap harus dilanjutkan hingga pemeriksaan di muka sidang, dan diputuskan hakim.
2. Bahwa demi terselamatkannya institusi yang bernama KPK, kepada kedua pimpinan KPK yang menjadi terdakwa, akan diperiksa dan diadilli oleh hakim ad hoc.
Dengan rekomendasi yang demikian itu, Tim Pencari Fakta (Tim-8) betul-betul independen. Presiden berdasarkan rekomendasi itu dapat menyatakan, oleh sebab KPK adalah lembaga superbodi yang memiliki tugas berat dalam hal pemberantasan korupsi, maka kepada kedua terdakwa harus diperiksa dan diadili oleh hakim ad hoc. Adanya keputusan tersebut sekaligus menyelamatkan 3 (tiga) institusi, yakni institusi negara hukum agar tetap sesuai UUD, institusi kepresidenan sebagai lembaga eksekutif yang tidak boleh dan diharamkan mengintervensi wilayah yudisial, dan KPK sendiri sebagai “pasukan khusus” pemberantasan korupsi yang semakin akut di negeri ini tanpa menciptakan image bahwa anggota KPK adalah subyek-subyek yang kebal hukum. Selamatkan KPK!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar