Sabtu, 05 Desember 2009

Tafsir Hukum “BAP” (Bag. 2)

Yang kedua, dalam kapasitas sebagai tersangka, dapat dikatakan menempati posisi yang lebih parah. Sebab dalam peristiwa pidana, kedudukan terdakwa di muka sidang sangat lemah, bahkan nyaris tak berharga. Dingkari atau tidak diingkari oleh terdakwa, isi keterangannya yang ada di BAP, penilaiannya tergantung kepada hakim. Sesuai Pasal 175 (KUHAP), jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.



Dan pula, sesuai Pasal 189 (3) undang-undang yang sama menyatakan, keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Maksudnya, terdakwa tidak memiliki kewajiban beban pembuktian atas perkara yang tengah disidangkan. Ini berbeda dengan jaksa penuntut umum (JPU), yang dalam kedudukannya itu ia wajib membuktikan apa yang telah didakwakannya. Sebab itu, hakim dapat mengabaikan sama sekali semua keterangan maupun alat bukti yang diajukan terdakwa jika telah diperoleh keyakinan yang cukup. Betapa mengerikan!

Mari kita kembalikan ke topik awal, ketika Ari Muladi statusnya telah diubah menjadi tersangka, maka kedudukannya menjadi semakin lemah. Bila penyidik merasa cukup memiliki alat bukti –bahkan mungkin sebagian alat bukti diperoleh dari tersangka–, maka “apa saja” yang akan diserahkan ke kejaksaan dalam berkas perkara oleh penyidik, sangat tergantung kepadanya. Dengan kata lain, bisa saja BAP seri kedua yang berisi keterangan Ari Muladi mengenai pengingkarannya terhadap BAP seri pertama, tidak dimasukkan dalam berkas perkara yang diserahkan itu (baca: dihilangkan penyidik). Ari Muladi jelas tidak memiliki kekuatan hukum apa pun untuk menolaknya, kecuali membangun opini di pers.

JPU yang bakal mengajukan perkara ke pangadilan, hanya bergantung pada berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik. Itulah sebabnya di dunia praktika hukum ada semboyan yang dialamatkan ke penyidik: “Sudahlah, ikuti saja apa keinginan penyidik, karena penyidiklah yang menentukan “merah-putihnya” suatu perkara.” Maka, menjadi wajar bilamana seseorang terjerat perkara, pada tahapan penyidikan ia akan berusaha apa saja agar kasusnya dipetieskan, atau diringankan, atau bahkan dapat merubah pasal yang dipersangkakan dengan menghilangan sebagian alat bukti!

Sementara di sisi lain, meski dalam Pasal 189 (1) KUHAP terdapat ketentuan, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami tendiri, dalam praktikannya seringkali diabaikan. Hakim lebih “mengistimewakan” keterangan terdakwa yang termuat dalam BAP, dengan dalih menggunakan ayat (2) ketentuan yang sama, bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Maka menjadi wajar bila dalam dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI Kapolri dengan tegas dan yakin mengatakan, tidak ada pencabutan BAP oleh Ari Muladi. Walau Ari Muladi kemudian membantahnya melalui jumpa pers usai diperiksa Tim Pencari Fakta (Tim-8), pernyataannya itu tidak bakalan membuat penyidik panik. Jika benar memang ada skenario yang merekayasa perkara ini (baca: seteru KPK versus Polri), Penulis yakin sudah ada penataan yang utuh, mulai dari penyidikan, di kejaksaan hingga pengadilan. Sekali lagi, dalam praktika hukum untuk kasus-kasus yang ada unsur rekayasanya sudah jamak diatur mulai dari siapa jaksanya, siapa hakimnya, terbukti atau tidak terbuktinya perkara, vonis hukuman yang bakal dijatuhkannya, hingga blok dan kamar penjaranya.

Eksistesi Tim Pencari Fakta (Tim-8), hemat Penulis hanyalah sekadar kamuflase politis untuk dapat “memainkan” sekaligus “mengelola” perasaan publik yang tengah bergolak. Pernyataan ini bukan tak memiliki dasar rasionalitas, tapi dapat kita kaji dari logika berpikir bahwa Tim Pencari Fakta (Tim-8) bukanlah lembaga yudisial, sehingga tidak memiliki kewenangan menjatuhkan putusan. Demikian pula lembaga kepresidenan. Sehingga Presiden tidak dapat serta merta, berdasarkan rekomendasi dari Tim Pencari Fakta (Tim-8), kemudian menyatakan bahwa perkara pidana atas Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, harus di-SP3-kan. Artinya, perkara tersebut tetap akan jalan terus sampai ke pengadilan. Yang paling urgent adalah menyelamatkan KPK. Bravo KPK!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar