tag:blogger.com,1999:blog-29393901478115037822024-02-20T13:17:45.354-08:00Hipotesis HukumKirimkan Permasalahan dan Pertanyaan Anda melalui email: mono_lawfirm@yahoo.comHENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.comBlogger41125tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-59311004020605288942012-06-16T15:57:00.000-07:002012-06-16T15:57:10.777-07:00NKRI dalam Cengkeraman Gerakan Islam Transnasional<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5qurCtj6y7ofckCUekLsZIbvU8pgvUcfGoKelhDye_L7wl3Rpf53wQOK8daDhBDBhfHI2Xuk_UFDo2kXqm-eel2te35Ai-z160fBeviIa2O1vnwbg4DZtI4tkow4dgWZn6oLC1jpstgSD/s1600/Foto+Image-NKRI.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5qurCtj6y7ofckCUekLsZIbvU8pgvUcfGoKelhDye_L7wl3Rpf53wQOK8daDhBDBhfHI2Xuk_UFDo2kXqm-eel2te35Ai-z160fBeviIa2O1vnwbg4DZtI4tkow4dgWZn6oLC1jpstgSD/s1600/Foto+Image-NKRI.png" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CTOSHIBA%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><span lang="IN">ISLAM sebagai agama yang mengajarkan toleransi, saat
ini tengah mengalami degradasi ke bibir jurang pembusukan. Sikap-sikap
intoleransi semakin dipertontokan secara telanjang di depan publik. Yang lebih
memprihatinkan, perilaku kasar yang kerap menimbulkan kerusakan harta benda
bahkan hilangnya nyawa manusia itu, dilakukan oleh mereka yang mendeklarasikan
dirinya sebagai umat beriman (baca: muslim). <a name='more'></a><o:p></o:p></span><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Angsana New";
panose-1:2 2 6 3 5 4 5 2 3 4;
mso-font-alt:"Microsoft Sans Serif";
mso-font-charset:222;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:16777217 0 0 0 65536 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0cm;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-font-family:"Angsana New";
mso-ansi-language:EU;
mso-fareast-language:EU;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]--></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Padahal jika kita mencari di dalam literatur
Islam, termasuk di dalam Alquran dan Alhadist, tidak ada perintah atau sunnah
Nabi Muhammad untuk berperilaku semacam itu. Banyak kisah dalam <i>sirah nabawiyyah </i>menggambarkan bagaimana
sikap manusiawi dari Sang Nabi terhadap kalangan non-muslim maupun orang yang
berbeda paham dalam soal keimanan. Sebagai utusan-Nya Nabi Muhammad paham betul
apa makna dari firman Allah, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan tidak ada pula
paksaan dalam keberimanan (Q.S. Al Baqarah: 256 dan Yunus: 99).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Kalangan ulama Nusantara pada masa pra kemerdekaan,
yang sejak awal terlibat aktif dalam kelahiran Republik ini, telah bersepakat
bahwa negeri ini adalah <i>wilayatul
Islamiyah</i> atau wilayah Islam, karena sebagian besar penduduknya muslim. Penetapan
Nusantara sebagai wilayah Islam didasarkan pada keniscayaan bahwa beberapa
kerajaan besar yang menguasai seluruh wilayah negeri ini, sebelum era
penjajahan, adalah kerajaan Islam. Berpijak pada keyakinan itulah, meski kemudian
pemerintahan Hindia Belanda menguasai negeri ini hingga tiga ratus lima puluh
tahun, tidak lantas menyebabkan kewilayahan Islam itu hilang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Kalangan ulama saat itu berpendapat bahwa negeri
ini telah di-<i>ghasab</i> oleh pihak penjajah.
Karena itu kedudukan pihak penjajah tidak lebih dari sekadar menumpang di
permukaan <span> </span>di bumi Nusantara. Sementara
dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas penduduknya dalam hubungan sosialnya
tetap berpegang teguh pada adat-istiadat, yang secara hakikat telah banyak
dipengaruhi oleh nilai-nilai syariat Islam. Oleh sebab itu wilayah Nusantara dikatagorikan
sebagai daerah jajahan atau <i>darul harb. </i>(Abdul
Mun’im DZ: 2011)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Keyakinan inilah yang kemudian tatkala tentara penjajah
Belanda (NICA), dengan membonceng tentara Sekutu ketika mendarat di Surabaya,
bermaksud menjajah kembali negeri ini, KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945
mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam seruan jihad itu, tokoh pendiri Nahdlatul
Ulama ini dengan tegas menyatakan bahwa perlawanan itu dilakukan demi
menegakkan NKRI dan Agama Islam. Perjuangan yang bersifat <i>jihad fi sabilillah</i> ini kemudian dikenal sebagai serangan 10
November 1945, yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Dengan kenyataan berdasarkan riwayat sejarah
berdirinya Republik itu, semakin jelas bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia
adalah negara republik, yang menganut sistem pemerintahan presidensiil. Karena
itu negara ini mengakomodasi serta memberikan hak yang sama kepada setiap warga
negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
secara bebas. Tidak boleh ada, dari pihak mana pun baik perseorangan maupun
kelompok, melakukan intimidasi, apalagi tindak kekerasan terhadap pemeluk agama
yang berbeda dengan maksud dan atau tujuan apa pun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Keyakinan mengenai pilihan bahwa negeri ini bakal menganut
sistem pemerintahan republik, dapat dicermati dari peristiwa menjelang
penyerahan kekuasaan bala tentara Jepang di Indonesia. Pada sekitar 1943, KH
Hasyim Asy’ari, tatkala menjawab pertanyaan Pimpinan Tertinggi Tentara Jepang di
Indonesia saat itu Laksamana Maeda, dengan tegas menjawab bahwa yang pantas
memimpin bangsa Indonesia setelah proklaasi kemerdekaan adalah Soekarno,
seorang tokoh nasionalis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><i><span lang="IN">Daulah Islamiyah<o:p></o:p></span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Kini, Republik ini berada dalam bayang-bayang
cengkeraman kelompok-kelompok garis keras yang mencita-citakan berdirinya
pemerintahan Islam atau <i>daulah Islamiyah.</i>
Sosok-sosok penganut, atau paling tidak memiliki ide yang sama dengan sekte
Wahabi yang diimpor dari kawasan Timur Tengah, kini telah hadir di Republik ini
dengan menumpang “kapal” Orde Reformasi. Mereka memiliki jaringan pembinaan
maupun pendanaan dalam skala internasional. Sebab itu gerakan ini disebut
gerakan transnasional. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Dalam beraktivitas, gerakan Islam transnasional
ini tidak seluruhnya bertindak terang-terangan. Sebagian yang lain dilakukan
secara tertutup dan terorganisasi secara rapi serta terstruktur. Mereka
mendapatkan dana operasional dari para simpatisan di dalam negeri –baik secara
sadar atau tidak sadar– serta memperoleh kucuran dana dari donatur luar negara
secara teratur. Karena itulah tak mengherankan bilamana ada beberapa oknum
anggota gerakan ini, menjadikan luapan dana bantuan tersebut sebagai sumber
mata pencaharian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Jika merunut sejarah perkembangan Islam, sikap
intoleransi memang pernah dipertontonkan oleh sekelompok orang yang keluar dari
barisan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama sekte Khawarij, yang memiliki
kegemaran mengkafirkan siapa saja yang mereka anggap “berbeda”<span> </span>baik dalam sikap maupun pandangan. Dan, siapa
pun telah dikafirkan, maka halal darahnya ditumpahkan dan hartanya dirampas.
Aksi-aksi kejam dan destruktif yang dipertontonkan kelompok ekstrem ini
kemudian tenggelam, sebab tak mendapatkan dukungan kaum muslimin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Sikap dan tindakan kelompok Khawarij ini dilatarbelakangi
<span> </span>pemahaman yang sempit tentang ajaran
Islam. Mereka memahami pesan-pesan Alquran maupun hadist Rasulullah secara
harfiah dan tertutup. Bagi mereka ajaran keimanan menurut Islam tidak perlu
didekati dengan penafsiran, termasuk pendekatan tasawuf. Karena itu, terjadilah
dengan apa yang disebut formalisme agama. Alquran maupun Alhadist diikat dalam
format atau pola pandang yang sempit,<span>
</span>subyektif, serta literalistis (baca: pembacaan secara harfiah). Kelompok
ini memonopoli penafsiran mengenai ajaran Islam secara tertutup dan keras.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Pasca raibnya kelompok Khawarif, ternyata tidak
sekaligus melenyapkan gerakan Islam radikal. Dengan sikap dan perilaku yang hampir
sama, pada abad ke-18 lahir di jazirah Arab kelompok Wahabi. Pencetus sekte ini
adalah Muhammad ibn ‘Abdul Wahab, anak dari ‘Abdul Wahab, seorang hakim di
‘Uyaynah daerah Najd, pengikut madzab Ahmad ibn Hambal. Menurut pencetusnya,
literalisme tertutup terhadap teks-teks Alquran maupun Alhadist, semula
ditujukan untuk maksud memurnikan ajaran Islam. Untuk tujuannya itu sekte
Wahabi mengamputasi segala bentuk kompleksitas pemahaman ajaran Islam, yang
telah tumbuh berkembang serta mempengaruhi dan dipengaruhi tata budaya lokal,
dinamika teologi, maupun tasawuf.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Jika dicermati, gerakan transnasional yang saat
ini marak berkembang di Indonesia, memiliki kesamaan yang hampir persis dengan
ajaran dari sekte Wahabi. Gerakan ini tidak hanya menyerang mereka yang dituduh
“kafir” karena berbeda keyakinan, tapi menyerang kepada sesama muslim yang dituduh
telah “kafir”. Kafir menurut Ibn ‘Abdul Wahab, adalah lawan dari mukmin dan
darahnya halal untuk ditumpahkan, sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, kafir adalah
suatu kondisi tertutup atau menolak kebenaran sejati, bahkan sumber kebenaran
sejati. (Lihat: Hamid Algar dalam Ilusi Negara Islam, <i>Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia</i>, 2009).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Secara terorganisasi, gerakan transnasional ini terus
bergerak menyebarkan faham Wahabisme dengan menyusup ke berbagai lembaga
pemerintahan maupun pendidikan, termasuk kalangan mahasiswa dengan menguasai
lembaga dakwah di kampus-kampus. Juga, mendirikan radio amatir di beberapa
daerah, yang menyiarkan materi-materi faham Wahabi, dengan kesukaan
mengolok-olok praktik amaliyah kelompok Islam lainnya yang sudah turun-temurun
diamalkan di negeri ini. Akibat berbagai tindakan dari gerakan ini, di beberapa
kawasan sempat timbul sengketa. Maka dari itu, demi keutuhan NKRI, sudah
saatnya penguasa negeri ini bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok <i>sok
alim,</i> yang kerap melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<br /></div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-8434031089111370352011-05-06T14:49:00.000-07:002011-05-06T16:04:09.122-07:00Teknik Menangkal Operasi “Cuci Otak”<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK4MtYoz8uLj6yxyNaFjjJCo283vExRY3qNyTU84MLFT7XndOaTFH-6JXI98F8aJO6tL28X-ZI0pfA810MNyXyn_xQPu0E6MopqSTJ0hWP_oTyp0s0AMJ_J4lSiDfBeSRf2poYcEa8yQbp/s1600/Gelombang+Otak.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK4MtYoz8uLj6yxyNaFjjJCo283vExRY3qNyTU84MLFT7XndOaTFH-6JXI98F8aJO6tL28X-ZI0pfA810MNyXyn_xQPu0E6MopqSTJ0hWP_oTyp0s0AMJ_J4lSiDfBeSRf2poYcEa8yQbp/s1600/Gelombang+Otak.JPG" /></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Setidaknya dalam seminggu terakhir publik di negeri ini dihebohkan dengan pengakuan beberapa mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta yang mengaku dicuci otak. Targetnya, menurut kabar yang beredar, mereka dipengaruhi serta diajak dalam pergerakan untuk mendirikan negara Islam Indonesia, yang lebih dikenal dengan singkatan NII. Kalangan mahasiswa itu mengaku berkenalan dengan para doktriner di beberapa tempat, antara lain di sejumlah <i>outlet</i> makanan cepat saji.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
<a name='more'></a><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> Mahasiswa yang menjadi korban “cuci otak” tersebut bahkan ada yang sempat dibaiat di Jakarta. Dua orang yang dicurigai sebagai doktriner program cuci otak itu mengaku bernama Fikri alias Deni asal Cilacap dan sedang kuliah di UII Yogyakarta serta Adam alias Muhayin. Anehnya, ujung dari proses cuci otak itu, setelah para korban menjalani proses baiat diwajibkan membayar sejumlah uang yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah. “Dalihnya untuk membiayai pergerakan kebangkitan Islam,” kata salah seorang mahasiswa yang sempat dibaiat.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Secara keilmuan dikenal adanya 4 (empat) katagori gelombang otak. Pada masing-masing gelombang otak tersebut memiliki situasi yang berbeda-beda dalam menyikapi pengaruh eksternal. Menurut seorang ahli psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Bagus Riyono kepada harian <i>Kompas </i>mengatakan, dalam proses mempengaruhi pikiran dapat bermakna positif, seperti dalam proses pembelajaran, bisa pula bermakna negatif, seperti yang dialami pelaku teroris. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Lebih jauh dikemukakannya, teknik mempengaruhi pikiran dapat dilakukan dengan hipnotis, penciptaan kondisi seseorang agar mudah dipengaruhi, sugesti, maupun lewat proses pembelajaran. Untuk dapat dipengaruhi, seseorang harus dibuat tidak sadar serta tidak mampu mengendalikan diri. Proses indoktrinasi dapat dilakukan melalui ceramah, pidato, maupun pembicaraan yang memberi makna atas hal yang diyakini serta memaknai keadaan dan peran dirinya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Indoktrinasi membuat orang yang semula tak memiliki ikatan kuat dengan keyakinannya menjadi memiliki keteguhan luar biasa. Akibatnya, ia mau melakukan apa pun untuk menjalankan keyakinan itu, termasuk meninggalkan keluarga dan melukai orang lain. Indoktrinasi juga dapat dilakukan pada seseorang yang semula sudah memiliki keyakinan cenderung ekstrem. Untuk kelompok ini, proses indoktrinasi menjadi lebih muda dilakukan. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b><i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Empat Gelombang</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Seperti disinggung sebelumnya, pada setiap diri manusia normal memiliki 4 (empat) kondisi gelombang otak yang sama. <i>Pertama</i>, pola gelombang Beta, yakni kondisi selaras antara kesadaran diri dan situasi otak. Dalam keadaan yang demikian, orang bersangkutan memiliki kesadaran penuh, waspada, konsentrasi, tidak mengantuk, serta mampu mengendalikan diri. Pada keadaan yang demikian, masuknya pengaruh eksternal kepada diri seseorang merupakan “sesuatu” yang diterima secara sadar. Atau dengan kata lain, apa yang ia lakukan atau dikerjakannya merupakan keputusan sadar utuh.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">, pola gelombang <i>Alfa, </i>adalah situasi orang yang sedang mengalami tidak sadar ringan (<i>light trance</i>). Pada keadaan demikian orang bersangkutan biasanya sedang dalam suasana santai, situasi relaksasi dalam proses meditasi di mana alam pikiran berada di antara sadar dan ketidaksadaran. Kondisi yang semacam itu sangat tepat untuk melakukan proses pembelajaran. Otak sangat mudah menyerap masuknya pengaruh eksternal, terlepas apakah pengaruh tersebut bernilai positif atau negatif. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ketiga</span></i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">, disebut pola gelombang <i>Theta</i>, yaitu situasi gelombang otak manusia yang berada pada keadaan imajinatif. Keadaan tersebut dapat terjadi tatkala manusia melakukan tindakan meditasi dan telah berada pada situasi puncak. Kesadaran inderawinya nyaris tiada, layaknya seseorang yang tengah berada dalam situasi mengantuk yang amat sangat. Tidak tidur, tapi juga tidak berada dalam posisi sadar penuh. Situasi <i>gong lewang liwung, </i>kata penganut meditasi Jawa. Dalam situasi yang demikian, persangkaan-persangkaan pikiran –baik positif maupun negatif– yang bersumberkan dari pengaruh eksternal, dapat memperoleh pijakan sekaligus pembenaran yang memiliki nilai untuk diyakini.</span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Keempat</span></i><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11pt; line-height: 150%;">, dikenali sebagai pola gelombang <i>Delta, </i>merupakan situasi gelombang otak yang berada dalam keadaan tidak sadar penuh. Seperti seseorang yang merasa sangat sedih, sangat marah, sangat capek/kepayahan, atau bahkan amat sangat gembira, maka dirinya kehilangan seluruh kendali diri. Para doktriner yang bekerja untuk melakukan rekruitmen, baik untuk tujuan positif maupun negatif, biasanya akan menggiring situasi pikiran para “korban”-nya untuk berada pada jalur gelombang ini. Karena seseorang yang berada pada gelombang otak delta, pada dasarnya telah kehilangan kendali diri. Ia akan bertindak atau melakukan apa saja yang diperintahkan oleh doktrinernya. Layaknya, kerbau yang dicucuk hidung.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-9481910891080015872011-01-24T08:27:00.000-08:002011-01-24T08:27:12.720-08:00Gayus: Agen Backstabber Para Koruptor<div style="text-align: justify;">Andai Anda bertransaksi bisnis via internet, setelah uang ditransfer ternyata barang pesanan yang dikirim kualitasnya tidak sesuai harapan, tentu merasa sakit hati. Merasa tertipu. Rasa sakit hati itu terasa begitu dalam, meski nilai uang yang hilang barangkali tidak begitu besar. Namun, bila transaksi itu dilakukan melalui tenaga penjualan terlatih (sales), kita tidak merasa tertipu apalagi sakit hati, meski kualitas barangnya sama dan harga pembeliannya relatif lebih mahal. Mengapa?</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Sebab, dalam model pertama, motivasi untuk bertransaksi terlahir “begitu saja” dari pihak pembeli, yang tertarik setelah melihat iklan promosi. Sedangkan dalam model kedua, niatan untuk bertransaksi telah “diprovokasi” sedemikian rupa oleh sales, sehingga gerakan hati yang bekerja seolah sebagai kejujuran sikap. Sikap mana tumbuh dari dalam diri dan tindakan pembelian barang itu memang suatu kebutuhan yang rasional.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aksi sales itulah yang kini diperankan oleh Gayus HP Tambunan dalam rentetan kasusnya yang semakin menghebohkan Republik ini. Penulis melihat peran mantan pegawai Ditjen Pajak itu layaknya agen rahasia para koruptor yang bermaksud memukul balik, akibat kedudukannya yang semakin terjepit. Salah satu fungsi agen rahasia adalah menciptakan fitnah (backstabber agent). Targetnya, membangun situasi saling curiga di antara sesama penegak hukum, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, KPK, dan tentu saja melibatkan Satgas Anti Mafia Hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lihat saja, tak hanya tokoh lintas agama yang terprovokasi, kalangan Wakil Rakyat di DPR-RI, kalangan pakar –termasuk yang mengaku-aku pakar– ramai-ramai bersaling komentar melalui berbagai media massa. Terakhir, kalangan mahasiswa dari berbagai elemen perguruan tinggi, berdemo di depan istana negara menuntut Pemerintahan SBY mundur dan Satgas Anti Mafia Hukum dibubarkan, karena dinilai tidak memberi manfaat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i><b>Koruptor Tersenyum</b></i></div><div style="text-align: justify;">Kini, tentu saja, kalangan koruptor di negeri ini tengah menikmati masa jeda untuk refreshing, setelah dirinya dan keluarganya merasa terancam. Betapa tidak, tatkala institusi penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung terjangkiti impotensi, KPK dan Satgas Anti Mafia Hukum atas informasi masyarakat, terus berusaha membongkar kebusukan dan pembusukan hukum, yang selama ini tersembunyi rapi di negeri ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Antara lain, kasus napi “anak emas” Artalita Suryani, yang mendapat perlakuan istimewa tatkala menjalani masa hukumannya, dibongkar. Kasus joki narapidana di LP Bojonegoro, diinvestigasi dan hasilnya beberapa oknum Kemen Hukham, Kejaksaan, dan seorang advokat, sudah ditetapkan menjadi tersangka. Selanjutnya, pasca terbongkarnya pelesiran Gayus ke Nusa Dua Bali, Satgas Mafia Hukum juga meng-up load fotokopi dokumen berupa paspor palsu milik Gayus, melalui situs jejaring sosial. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tujuannya apa? Agar penegak hukum lain, seperti Polri maupun pihak Ditjen Imigrasi, termasuk Kejaksaan Agung, tak punya alasan untuk membangun kilah dan alasan. Atau, melakukan penghilangan bukti-bukti. Hasilnya, ternyata benar, semakin terbongkar perilaku korup di jajaran penegak hukum kita. Ada korupsi sistemik, yang melibatkan oknum dari berbagai institusi hukum, dan telah menjalar ke mana-mana bak sel kanker akut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Memang patut diakui, kekuatan para koruptor tidak dapat dianggap enteng. Terbukti, sampai saat ini atasan Gayus di Ditjen Pajak, para pengusaha pem-back up Gayus, maupun oknum-oknum petinggi Polri dan Kejaksaan Agung, yang terlibat kasus mafia pajak, masih relatif aman. Patut diyakini, para koruptor yang bersembunyi di berbagai institusi –termasuk lembaga perwakilan rakyat– saat KPK kemudian Satgas Anti Mafia Hukum terbentuk, merasa semakin tidak aman, tapi tak mungkin melakukan perlawanan terbuka. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Satu-satunya cara untuk melakukan counter adalah dengan menciptakan “situasi batin” di kalangan masyarakat bahwa baik di KPK maupun Satgas Mafia Hukum pun sarat korupsi dan rekayasa. Maka lahirlah kasus Bibit-Chandra dengan pemeran utama Anggodo Widjojo, selanjutnya perkara Gayus ditampilkan sebagai martir, untuk menunjuk hidung siapa-siapa oknum baik di KPK dan Satgas Mafia Hukum yang berbau busuk.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terjadilah kasus yang melibatkan dua pimpinan KPK, yang sempat dinonaktifkan karena telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes Polri. Keduanya diduga terlibat kasus suap dalam perkara Anggoro Widjojo –adik Anggodo Wudjojo– yang kini bersembunyi di Singapura. Menurut pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief, SK Pengesampingan Perkara atau deponeering atas perkara kedua pimpinan KPK itu, Senin (24/1) sudah ditandatangani. Sudah selesaikah perlawanan para koruptor? Belum!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saat ini, Gayus adalah backstabber agent yang terbukti bekerja efektif. Semua perangkat dan sistem Pemerintahan di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif, ditambah hiruk pikuk pendapat kalangan pakar politik, pers plus pakar komunikasi, LSM, dan mahasiswa, telah saling serang. Chaos! Social prejudice, mulai menggejala di mana-mana. Dan, di sana, di tempat tersembunyi, para koruptor tertawa-tawa. Gayus pun di ruang sel tahanannya, tersenyum mendengar berita-berita media massa hari ini. </div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-39326866168174727662011-01-21T22:01:00.000-08:002011-01-21T22:01:19.836-08:00Negara Bodoh yang Akui John Grice Agen CIA<div style="text-align: justify;">Sudah menjadi semacam “kode etik” di kalangan penjahat, bila di antara mereka tertangkap aparat, wajib tutup mulut. Jika mereka terpaksa, lantaran disiksa wajib menyebutkan nama, tentu ia akan menyebut nama orang yang sudah mati atau orang yang bakal sulit dilacak keberadaannya. Itulah sebabnya dalam berbagai ekspos hasil operasi aparat yang diberitakan media massa, selalu ada nama-nama lain yang kemudian diberi label DPO (daftar pencarian orang) dan ternyata sulit ditangkap.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Pernyataan itu merupakan salah satu kesimpulan dari hasil kajian melalui metode PAR (Participation Action Research) yang dilakukan Penulis terhadap empat lokasi Rutan (Rumah Tahanan Negara) maupun Lembaga Pemasyarakatan di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Tersangka maupun terdakwa yang tidak melaksanakan “kode etik” semacam itu dipastikan bakal dikucilkan dari komunitas mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kode etik” semacam itulah yang patut diduga digunakan oleh Gayus HP Tambunan tatkala menyebutkan John Grice atau John Jarome, adalah agen CIA. Itu dilakukannya guna menyembunyikan aktor yang sesungguhnya. Bila prediksi tersebut benar, maka benar pulalah mengenai keberadaan pengusaha yang selama ini berada di balik aksi-aksi kontroversial mantan pegawan Dirjen Pajak itu. Bisa jadi pernyataan Gayus tentang keberadaan “Big Fist” tatkala membacakan pembelaannya di muka sidang bukanlah isapan jempol.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Itu berarti eksisten John Grice atau John Jarome, yang menurut Gayus, merupakan agen CIA merupakan strategi untuk mengalihkan titik fokus. Sebab kalau pun benar, warga negara AS berkulit hitam itu adalah agen Badan Pusat Intelejen negara Adidaya itu, sudah pasti tak bakal diakui. Hanya negara bodoh yang mengakui dan berterus terang bahwa pelaku tindak pidana pemalsuan paspor tersebut adalah agen spionasenya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><i>Jalan Buntu</i></b></div><div style="text-align: justify;">Berpijak dari analisis di atas, siapa pun aparat Republik ini yang berusaha keras mencari tahu siapa sesungguhnya John Grice atau John Jarome, bakal menemui jalan buntu. Mending energi para aparat penegak hukum kita yang semakin loyo itu, dikerahkan untuk menyelidiki keterlibatan oknum-oknum di Dirjen Pajak maupun para pengusaha yang selama ini terlibat kolusi. Termasuk keterlibatan Milana Anggraeni, istri Gayus dalam berbagai aksi suaminya itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penulis yakin, tak hanya istrinya, setiap orang di negeri ini tentu mahfum bahwa pada saat Gayus melancong ke luar negeri, posisinya dalam status orang tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua, Jakarta. Maka, tatkala tiba-tiba Gayus muncul di depan istrinya, sang istri pasti terkejut dan tahu ada “sesuatu” yang aneh dengan keberadaan suaminya koq bisa berada di luar tahanan. Bahkan ketika kemudian mereka berdua dapat kluyuran ke luar negeri. Karena itu pernyataan Polri bahwa sampai saat ini belum ditemukan unsur dugaan tindak pidana yang dilakukan Milana Anggraeni, merupakan statemen yang prematur dan menggelikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Seperti dapat dipahami, warga bangsa ini sudah semakin cerdas. Era komunikasi modern yang mengiringi jalannya Orde Reformasi Republik ini telah membuka berbagai lubang-lubang informasi. Nyaris tak ada lagi strategi serta kemampuan teknologi yang dapat menghambat/menghadang gerakan arus informasi yang bergeral lalu lalang setiap saat. Kasus situs WikiLeaks, tentunya membuka telah membuka mata kita, bahwa sehebat-hebatnya kekeguman kita terhadap kemampuan Pusat Analisis Data milik Pentagon AS, ternyata rapuh juga!</div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-74880736190925318532011-01-16T20:49:00.000-08:002011-01-16T20:49:33.892-08:00Pemerintahan SBY Bisa Akhiri Hidup?<div style="text-align: justify;">Berpijak pada pernyataan Rinny Soegijoharto, seorang psikolog tatkala mengomentari aksi bunuh diri mantan timer bus antar-kota, warga Kota Bekasi, Arip bin Maman (Kompas, 17/01), Pemerintahan SBY pun bisa melakukan hal yang sama. Sebab, akibat pernyataan tokoh lintas agama yang “menyakitkan” itu, secara psikologis bisa berdampak timbulnya proses yang dirasakan dalam jangka waktu panjang serta menimbulkan kecemasan. </div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Pemerintahan SBY akan melakukan aksi bunuh diri? Jawabannya pasti, tentu tidak! Kita hidup di negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tidak ada budaya di Republik ini bisa seseorang merasa gagal lalu melakukan aksi harakiri. Apalagi atas 9 dosa kebohongan publik sebagaimana dikemukakan tokoh lintas agama itu, masih ada ruang untuk diperdebatkan dari berbagai disiplin ilmu. Pernyataan itu bukan kebenaran mutlak!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut Penulis, dalam sejarah negeri ini sejak diproklamasikan, tidak ada satu pun Presiden yang tidak pernah melakukan kebohongan. Termasuk kebohongan publik. Bahkan kita bisa meyakini bahwa seluruh Wakil Rakyat, baik di pusat maupun di daerah, nyaris tak ada yang tidak pernah melakukan kebohongan publik. Bila yang dimaksudkan dengan kebohongan itu adalah ketidakterbuktian antara janji tatkala kampanye dengan kondisi faktual ketika mereka sudah menjabat. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam suatu kisah pada zaman Nabi Isa As, saat terjadi penangkapan pasangan pelaku zina, umat sang Nabi menuntut agar kedua pezina itu dirajam sampai mati. Dengan bijak lelaki utusan Allah itu mempersilakan agar hukum rajam itu dilaksanakan dengan syarat, yang boleh merajam hanya mereka yang tidak pernah melakukan zina. Hasilnya, tidak ada satu pun di antara umatnya saat itu yang berani melaksanakan hukuman rajam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i><b>Kesalahan SBY</b></i></div><div style="text-align: justify;">Jika kita masih meyakini Pancasila sebagai way of life bangsa ini, memang ada kesalahan mendasar pada diri Presiden SBY. Yakni, tatkala kampanye dalam upaya merebut kembali jabatan orang nomor satu di negeri ini, selalu lupa mengucapkan InsyaAllah (maknyanya, jika Tuhan menghendaki). Dalam Alquran, Allah telah mengingatkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". (Q.S. Al Kahfi: 23-24).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nah, ternyata kemudian Allah tidak berkenan, yang menurut analisis tokoh lintas agama, ketidakberhasilan menepati janji merupakan kebohongan publik. Jajaran Pemerintahan SBY pun terhenyak. Kaget. Sampai-sampai Staf Ahli Kepresidenan, DR. Daniel Sparinga, yang dikenal cukup santun itu mengatakan, ada kemunafikan yang menyeruak di sekitar kita. Pengajar Universitas Airlangga itu seolah hendak mengatakan, bahwa dalam pernyataan tentang kebohongan publik itu juga mengandung unsur kebohongan publik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berikut beberapa klaim keberhasilan Pemerintahan SBY. Di bidang perekonomian berdasarkan data BPS dan Kementerian Keuangan, sejak masa krisis pada tahun 1998, terus mengalami kenaikan. Pada periode 1999 – 2001, pertumbuhan ekonomi naik sebesar 3 persen, dan menjadi 3,7 persen pada periode 2001-2004. Dan, sejak 2004 hingga sekarang sudah mencapai 5,6 persen (Kompas, 06/7/2010).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kondisi eksiting UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) per 2008, data BPS 51,26 juta. Terinci, untuk usaha mikro kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 50 juta, dengan hasil penjualan kurang dari Rp 300 juta. Usaha kecil kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 50 juta s/d Rp 500 juta, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 300 juta s/d Rp 2,5 miliar. Usaha menengah kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 500 juta s/d Rp 10 miliar, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 2,5 miliar s/d Rp 50 miliar. Sedangkan untuk usaha besar/konglomerat lebih dari Rp 10 miliar, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 10 miliar (Kompas, 14/8/2010).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan, menurut data BPS dan Kementerian Koordinator Kesra, berurut sejak tahun 2007 sebesar Rp 50,0 triliun, tahun 2008 sebesar Rp 63,0 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 66,2 triliun, tahun 2010 sebesar Rp 94,0 triliun. Capaian terhadap pengurangan penduduk miskin –kota dan desa– pada 2007 jumlah penduduk miskin 37,17 juta jiwa., pada 2008 jumlah penduduk miskin turun menjadi 34,96 juta jiwa., pada 2009 jumlah penduduk miskin turun menjadi 32,54 juta jiwa., dan jumlah penduduk miskin turun menjadi 31,02 juta jiwa (Kompas, 07/1/2011).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><i>Disayang Allah</i></b></div><div style="text-align: justify;">Dalam kajian Kitab Al Hikam karangan Syech Ahmad Attoillah, KH. Drs. Imron Djamil mengatakan, yang namanya manusia itu adalah kawulo (pengabdi). Sebab itu, dihadapan bendoro (Tuhan Allah Swt), kedudukan manusia itu hina dan rendah, alias tidak memiliki kemuliaan. Dengan eksistensi semacam itu, bila kemudian jajaran Pemerintahan SBY mendapatkan kehinaan –meski akibat pernyataan manusia–, hal itu merupakan kewajaran pula. Karena kemuliaan itu memang milik Allah Swt semata, bukan milik jajaran Pemerintahan SBY.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika dalam Pilpres SBY terpilih dalam dua periode untuk memerintah Republik ini, hakikatnya Sang Presiden itu menerima pemberian “baju kemuliaan” Allah Swt. Bukan untuk dimiliki, lalu dijadikan alat untuk membangun citra diri, atau untuk kesombongan bahwa diri ini mampu menciptakan kemakmuran sekaligus menyejahterakan rakyat. Pemerintahan SBY hanyalah sekumpulan abdi dalem kerajaan Tuhan yang senantiasa harus bekerja, sedangkan kemakmuran dan kesejahterakan rakyat itu adalah urusan sekaligus haknya Allah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan landasan pemikiran semacam itu, maka menilai pernyataan tokoh lintas agama itu, sebenarnya merupakan wujud cinta kasih Allah kepada Pemerintahan SBY. Allah telah mengingatkan kepada negeri ini, bahwa kewajiban terhadap setiap sosok bangsa ini adalah senantiasa berusaha dan berusaha tanpa henti, untuk mendapatkan keridhoan-Nya dalam posisi kehambaan. Sedangkan hasil dari penghambaan kawula itu, berwujud kesuksesan atau kegagalan sepenuhnya hak prerogatif Allah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Siapa pun kita, orang awam, atau pejabat, atau tokoh lintas agama, maupun kalangan pakar yang kini semakin laris menjadi narasumber setelah pernyataan kontroversial itu, dalam wujud fisik tidak lebih dari setumpukan daging dan tulang yang setiap lubangnya mengeluarkan kotoran. Orang menilai kita baik dan penuh kemuliaan hanya terjadi tatkala wujud non-fisik kita melakukan amal perilaku baik. Merujuk istilah sahabat Kristiani, kawulo itu setara dengan domba (Bhs. Jawa, wedhus atau kambing). Maka, sesama kambing tidak pantas saling menghujat!</div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-80584557722630386792011-01-07T20:23:00.000-08:002011-01-07T20:23:52.033-08:00Kabinet Pak Beye, Tak Pantas Dipuji!<div style="text-align: justify;">Saya yakinkan kepada Anda. Tidak peduli siapa pun Anda. Apakah Anda seorang politisi, polisi, anggota Densus 88, anggota Badan Intelejen Negara (BIN), pembunuh bayaran, maupun preman, bahwa Kabinet Indonesia Bersatu –Jilid I dan II– tidak pantas memperoleh pujian. Apa pun hasil ikhtiar yang telah mereka lakukan!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><a name='more'></a>Memang patut diakui, ada dinamika positif yang berlangsung di Republik ini. Yakni, keberanian untuk terbuka dan transparan. Tidak sedikit pejabat negara yang terlibat korupsi dipenjarakan. Kedok-kedok kemunafikan yang tampak dari wajah-wajah para Wakil Rakyat pun baik di pusat maupun di daerah, dicopot. Hingga terlihat potret asli mereka yang selama ini setiap hari senantiasa berupaya menyelewengkan duit rakyat.<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di jajaran kepolisian, sejak kasus Anggoro Widjaya terkuak, seolah ada air bah yang berbau busuk ke luar dari Mabes Polri. Berita majalah mingguan Tempo yang mengangkat isu tentang Rekening Gendut Polisi, seolah melengkapi sekaligus membuktikan bagaimana kondisi moral aparat kepolisian kita selama ini. Di era Orde Lama maupun Orde Baru, paparan faktual semacam itu bisa divonis berdasarkan Undang-undang Anti Subversi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun demikian, kiprah aparat kepolisian tidak seluruhnya jelek. Lihat prestasi Densus 88 dalam memerangi kejahatan terorisme, patut mendapatkan acungan jempol. Nyaris, pekerjaan anggota pasukan antiterorisme besutan Polri yang mendapatkan dukungan dana dan pelatihan dari AS ini, adalah ngintip keseharian para aktifis teroris di Republik. Seolah tak ada tempat yang aman untuk tumbuh dan berkembangnya ideologi mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sayangnya, bau harum baju seragam institusi penanggung jawab kamtibmas itu “dikotori” lagi oleh para petinggi Polri sendiri dalam kasus Gayus H. Tambunan. Intitusi ini seolah mandul tatkala harus membongkar tuntas kasus mafia pajak, sebab tak menyentuh “pemain” kelas kakap. Kondisi demikian masih ditambah dengan buruknya Rutan Brimob Kelapa Dua, yang tampaknya lebih berfungsi sebagai “pasar” untuk bertransaksi hukum. Gayus pun lalu dapat kluyuran ke Nusa Dua Bali, Malaysia, Singapuran, dan Macao bersama istrinya meski dalam status tahanan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i><b>Semakin Prospektif?</b></i></div><div style="text-align: justify;">Untungnya, di sektor lain, di bidang perekonomian berdasarkan data BPS dan Kementerian Keuangan, sejak masa krisis pada tahun 1998, terus mengalami kenaikan. Pada periode 1999 – 2001, pertumbuhan ekonomi naik sebesar 3 persen, dan menjadi 3,7 persen pada periode 2001-2004. Dan, sejak 2004 hingga sekarang sudah mencapai 5,6 persen (Kompas, 06/7/2010).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kondisi eksiting UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) per 2008, data BPS 51,26 juta. Terinci, untuk usaha mikro kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 50 juta, dengan hasil penjualan kurang dari Rp 300 juta. Usaha kecil kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 50 juta s/d Rp 500 juta, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 300 juta s/d Rp 2,5 miliar. Usaha menengah kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 500 juta s/d Rp 10 miliar, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 2,5 miliar s/d Rp 50 miliar. Sedangkan untuk usaha besar/konglomerat lebih dari Rp 10 miliar, dengan hasil penjualan lebih dari Rp 10 miliar (Kompas, 14/8/2010).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan, menurut data BPS dan Kementerian Koordinator Kesra, berurut sejak tahun 2007 sebesar Rp 50,0 triliun, tahun 2008 sebesar Rp 63,0 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 66,2 triliun, tahun 2010 sebesar Rp 94,0 triliun. Capaian terhadap pengurangan penduduk miskin –kota dan desa– pada 2007 jumlah penduduk miskin 37,17 juta jiwa., pada 2008 jumlah penduduk miskin turun menjadi 34,96 juta jiwa., pada 2009 jumlah penduduk miskin turun menjadi 32,54 juta jiwa., dan jumlah penduduk miskin turun menjadi 31,02 juta jiwa (Kompas, 07/1/2011).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i><b>Yang Pantas Dipuji</b></i></div><div style="text-align: justify;">Siapa yang pantas dipuji dalam konteks dinamika Republik ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, adalah baiknya Anda baca Kompas hari (08/1), yang memberitakan Ted Williams, lelaki gelandangan miskin berusia 53 tahun. Ia tinggal di sebuah di sebuah tenda dekat sebuah jalan raya di Columbus, Ohio, AS, dan jauh dari tempatnya meminta-minta. Mantan pembaca acara radio di era 1980-an itu menggelandang sejak tahun 1996, setelah hidupnya dihancurkan oleh narkoba dan minuman keras.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kisahnya nyaris persis sama dengan nasib negeri ini, yang menjadi peminta-minta –kepada IMF dan Bank Dunia– setelah dihantam badai krisis pada 1998. Pada masa sebelum krisis rezim berkuasa beserta keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya, benar-benar “berpesta” untuk mengeruk apa pun yang dapat ditukar dengan kekayaan duniawi. Bahkan sebagian kekayaan Republik ini sampai sekarang masih ada yang ngendon di luar negeri. Dan, menjelang keruntuhan rezim diktator-otoriter itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level minus 13,1 persen (Kompas, 06/7/2010). Bayangkan!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kehidupan Ted Williams berubah total hanya dalam kurun waktu 48 jam, yang ia sebut sebagai perubahan yang “kelewatan”, sehingga ia sempat berucap, menemukan suatu perasaan spiritual baru. Lalu, ia menegaskan, siap menangani kesempatan kedua yang diberikan kepadanya. Siapa yang memberikan kesempatan kedua itu? Tentu saja, Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Demikian pula, ketika kondisi kehidupan Indonesia merangkak naik, itu berarti pula ada kesempatan kedua dari Allah. Kabinet Indonesia Bersatu –Jilid I dan II– hanya kepanjangan tangan dari karunia Allah kepada bangsa ini. Maka, pantaslah kita berucap:</div><div style="text-align: justify;">“Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam” (Q.S. Al Mukmin: 65).</div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-59913119617736455762011-01-06T18:57:00.000-08:002011-01-06T19:03:44.569-08:00Orang Waras, Bingung Menyikapi Kebijakan SBY<div style="text-align: justify;">Siapa pun Anda dan di mana pun Anda berada, pasti bingung menyikapi kebijakan pemerintah yang dikomandani Presiden SBY. Tak terkecuali SBY sendiri. Koq bisa? Baca Kompas hari ini (7/1), Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam jumpa pers di Jakarta membuat kesimpulan mengejutkan, tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden SBY terus menurun. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><div style="text-align: justify;">Penurunan tingkat kepuasan publik tersebut bisa jadi disebabkan oleh hiruk pikuk masalah hukum (baca: korupsi dan penyelewenangan apara penegak hukum), yang semakin terkuat. Hal itu belum terhitung dengan perilaku Wakil Rakyat baik di pusat maupun di daerah, yang lebih suka ngelencer dengan dalih melakukan studi banding maupun kunjungan kerja antar-parlemen. Hal-hal semacam itu tidak pernah terdengar pada masa Orde Baru, tatkala rezim Soeharto berkuasa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, aksi unjuk rasa yang marak di sana-sini, apakah dengan cara damai atau anarkhi, diyakini telah pula menyumbang poin turunnya tingkat kepuasan. Situasi semacam itu masih ditingkahi maraknya publikasi aktivitas pornograsi dan pornoaksi melalui berbagai sarana komunikasi, baik media umum maupun pribadi. Dari berbagai hasil jajak pendapat terhadap perilaku seks bebas remaja seusia sekolah, juga menunjukkan tren kenaikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tak hanya berhenti di situ. Gara-gara statemen Presiden SBY soal undang-undang khusus tentang keistimewaan Yogyakarta, terbukti semakin memburuk potret pemerintahan SBY periode kedua ini. Keadaan tersebut masih belum menghitung beruntunnya bencana alam, seperti gunung meletus, tsunami, dan banjir bandang, yang seolah ikut memberi warna tentang kondisi kekinian kita yang sejak zaman dulu dikenal sebagai negeri yang gemah ripa loh jinawi ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sudah selesai? Ternyata, belum. Cermati saja opini, pernyataan, serta pendapat kalangan pakar –maupun yang mengaku-aku pakar– termasuk kaum rohaniwan, dalam menyikapi situasi negeri ini yang tersiar melalui pelbagai media massa. Nyaris tidak ada yang bernada positif. Sampai-sampai Wakil Presiden Boediono dalam suatu kesempatan menyatakan harapannya, agar warga negara ini jangan suka menjelek-jelekan bangsa sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i><b>Berharap yang Salah</b></i></div><div style="text-align: justify;">Apa pun situasinya, Penulis berpendapat, negeri ini telah lebih baik daripada era Orde Baru. Jika ada sebagian –khususnya yang menjadi responden LSI– yang melihat begitu banyak keburukan terjadi pada fase pemerintahan SBY, itu wajar. Sebab apa yang dipaparkan LSI itu hanyalah sekumpulan persangkaan, dalam Bhs. Jawa disebut penyongko. Dan, setiap persangkaan pasti tidak memiliki kebenaran mutlak. Maka, mempercayai persangkaan sebagai ukuran kebenaran, merupakan kesesatan berpikir yang radikal dan parah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Presiden SBY maupun pemerintahan SBY dalam renungan keimanan dapat menjadi berhala bilamana kita berharap kebaikan datang daripadanya. Dengan kata lain, sosok SBY maupun kabinet pemerintahan yang dibentuknya dapat mewujud menjadi aghyar wujudiyyah –dipahami sebagai penghalang/hijab bersifat fisik– yang mengandung kegelapan (dzulmatun). Padahal sebagai manusia, mahkluk yang diciptakan Tuhan, Presiden SBY tentu tidak memiliki kemuliaan hakiki, kecuali kemuliaan semu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam kontek berpikir yang demikian, jika menurut cermatan lahir kita melihat banyak keburukan di negeri ini, hal itu hakikatnya merupakan konsekwensi setelah Republik ini menerapkan kebijakan yang menginginkan semuanya serba terbuka dan transparan. Ibarat diri kita yang semula menggunakan kacamata berlensa hitam, yang menyebabkan semua benda terlihat berwarna hitam, kini kita menggunakan lensa yang tak berwarna (baca: transparan). Sehingga segala sesuatu yang semula tersembunyi, menjadi terlihat jelas dan kasat mata.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penulis merasakan, keburukan yang saat ini tengah menerpa Republik ini merupakan bagian dari proses menuju kebaikan. Semua warga bangsa ini tentu tidak ingin kembali pada masa pemerintahan yang penuh dengan kemunafikan. Keseluruhannya terlihat seakan serba teratur serta penuh kemajuan dalam pembangunan. Ada tata niaga di berbagai bidang, termasuk perdagangan dan pertanian. Tata niaga itu semua diatur dan dikendalikan oleh keluarga, kerabat, serta kroni-kroni presiden.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Andai negara ini terlihat seperti sosok manusia, saat ini tengah menderita sakit perut. Terasa mulas, sebab banyak kotoran yang ada di dalam usus besar tapi tak juga mau ke luar. Satu-satunya jalan, kita wajib minum obat –yang tentu saja tidak terasa enak– agar segala kotoran yang bermukim dan bersembunyi ditubuh ini terkuak. Selanjutnya, setelah reaksi obat bekerja optimal dan kotoran itu keluar, Penulis yakin kita bakal merasakan kenikmatan yang luar biasa. Bersyukur dan berharaplah semata hanya kepada Tuhanmu, jangan kepada selain-Nya. Termasuk Presiden SBY dan kabinet pemerintahannya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Masih adakah WC yang kosong???</div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-30474961952557094662011-01-05T05:48:00.000-08:002011-01-05T05:48:36.279-08:00Anjing Saja, Jika Tahu Diri Dihormati<div style="text-align: justify;">Anjing, merupakan salah satu jenis binatang yang memiliki kecerdasan. Sebab itulah orang yang suka memelihara anjing. Jenis binatang ini, dengan latihan khusus dan teratur, mampu menjadi partner manusia baik pada sisi hiburan mapun keamanan. Sampai-sampai ada pepatah, lebih baik memelihara anjing penjaga daripada membayar orang untuk menjadi penjaga. Alasannya, anjing tidak bisa disogok!</div><a name='more'></a><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anjing yang pintar adalah anjing yang tahu diri. Dia tidak akan menggigit orang sembarangan. Tidak akan mengejar orang sembarangan. Bahkan tidak mau makan sembarangan. Sebab itu anjing pintar dan tahu diri, pasti dihormati. Tidak hanya oleh pemiliknya, tapi juga orang lain. Kita bisa melihat bagaimana anjing mendapatkan medali kehormatan, karena mampu menoreh prestasi tertentu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anjing pada dasarnya termasuk binatang buas. Jenis carnivora, karena pemakan daging. Namun karena kepintarannya dan sikap tahu diri, dia memperoleh penghargaan. Meski demikian, kadangkala justru si pemilik yang tidak pantas untuk dihormati. Misal, sang pemilik adalah oknum-oknum aparat penegak hukum kita. Sebagai manusia –tak bermaksud membandingkan dengan anjing– ia adalah pemegang amanat rakyat yang pengangkatannya melalui mekanisme rumit dan berbiaya mahal.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tapi, apa yang kita peroleh. Menurut data yang dikemukakan berbagai media massa, aparat penegak hukum kita semakin terkuak banyak yang suka berbuat “maksiat”. Lihat saja kasus perjokian napi, kasus Gayus, yang seolah menjadi lubang pengintip untuk melihat lebih jauh sampai di mana kerusakan moral institusi penegakan hukum kita. Mulai dari institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga pemasyaratan, keimigrasi, perpajakan, termasuk kepengacaraan. Nyaris, tidak ada sudut yang dapat mempertontonkan keindahan potret lembaga penegakan hukum kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><em><strong>Zoon Politicon </strong></em></div><div style="text-align: justify;">Berbasis pada hasil pemikiran Aristoleles, manusia disebutkannya sebagai zoon politicon. Secara harfiah dapat dipahami bahwa manusia hakikatnya masih termasuk golongan binatang, tapi yang bermasyarakat atau ber-muamalah. Bermodal akal, pikiran, dan nuraninya, manusia berhubungan dengan manusia lain guna memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Tanpa kelengkapan potensi itu, manusia tidak lebih dari “sebuah karung yang berisi tahi”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mari kita pelototi tubuh manusia satu per satu. Mulai dari bagian kepala yang tumbuh rambut, bila rambut itu tidak dirawat, dikeramas, selama dua hari saja, baunya tentu tidak enak. Kemudian kedua mata, lubang telinga, lubang hidung, lubang mulut, lubang kemaluan, serta lubang dubur, kesemuanya mengeluarkan kotoran. Pun pori-pori kulit, lubang-lubang kecil yang menutupi seluruh tubuh itu, juga mengeluarkan cairan yang disebut keringat. Kotoran juga. Sehingga bila kita tidak mandir dua atau tiga hari saja, baunya sudah ampun-ampunan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan kata lain, keindahan wadag atau wujud jasmani manusia itu tampil tatkala eksistensinya ditutupi tindak tanduk dan perilakunya. Sehingga, andai pun aparat penegak hukum itu ketika tampil kesehariannya terlihat terhormat karena mentereng rumahnya, mewah kendaraannya, dan selalu harum bau tubuhnya, tapi menjadi terhina saat kebusukan perilakunya terkuak. Busuknya perilaku manusia semacam itu akan tercium ke mana-mana, seantero kampung, kota, negara, bahkan ke seluruh dunia. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam kondisi demikian, sosok manusia itu tidak lebih dari seongok daging yang ditutupi gombal (baca: pakaian) semata. Kehormatannya hilang seketika. Lalu, banyak orang yang tiba-tiba enggan berdekatan dengannya, karena takut disangka terlibat. Pada saat yang seperti itu, biasanya manusia baru tersadar bahwa pada hakikatnya dirinya tidak memiliki kehormatan apa-apa. Kehormatan itu ternyata hanyalah pemberian atau anugerah. Tidak ada satu manusia pun yang mampu mempertahankan kehormatannya, tatkala pemilik kehormatan mengambilnya kembali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Perhatikan firman Allah dalam Alquran Ali Imron: 26 yang berbunyi, Sesungguhnya Engkaulah (Allah) pemilik kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau ambil kekuasaan itu dari manusia yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan manusia yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemilik segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa berbuat segala sesuatu yang Engkau kehendaki. </div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-70327455229579265642011-01-04T18:38:00.000-08:002011-01-04T18:38:23.970-08:00Joki Napi: Ada Tiga “Keanehan”<div style="text-align: justify;">Terungkapnya Terungkapnya kasus joki (baca: penggantian posisi) narapidana Kasiyem, yang digantikan Sukarni di Lapas Bojonegoro, Jatim, sebenarnya bukanlah hal baru. Itu adalah modus lama yang baru terungkap. Seorang Kasiyem, rasanya tidak masuk akal memiliki kecerdikan semacam itu. Akal-akalan semacam itu bisa diotaki oleh oknum penyidik, atau oknum kejaksaan, yang keduanya bekerja sama dengan oknum di lembaga pemasyarakatan.</div><a name='more'></a><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di kalangan komunitas pembunuh bayaran, keberadaan joki untuk menggantikan kedudukan pelaku/pembunuh yang sebenarnya, sudah lumrah terjadi. Mereka yang bersedia menjadi joki bakal mendapatkan jaminan penghidupan. Tidak semata bagi dirinya sendiri, tapi juga keluarganya. Penjaminan ini juga “diurusi” sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga vonis hakim.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Misal, hasil penyelidikan diperoleh kepastian mengenai pelaku sesungguhnya, yang bersangkutan tetap akan dipanggil penyidik. Kedudukannya, baru sebagai saksi. Sebab itu, ia tidak ditahan. Bila negosiasi gagal, kedudukannya sebagai saksi bakal ditingkatkan menjadi tersangka. Namun, bila negosiasi berhasil, sejak di tingkat penyidikan, yang di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan) adalah orang lain yang memang ditetapkan sebagai joki.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><em><strong>Kasus Kasiyem</strong></em></div><div style="text-align: justify;">Lain lagi dengan kasus joki di Bojonegoro. Mengenai kasus Kasiyem, sejak kapan niatan atau tujuan pokok (oogmerk) kejahatan itu dimulai, di tingkat penyidikankah, penuntutankah, atau saat eksekusi pidana di lembaga pemasyarakatan? Semua masih belum jelas. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memang telah memeriksa Kepala Kejaksaan Bojonegoro, beserta lima jaksa lainnya. Dua di antaranya sudah terindikasi kuat terlibat dalam tindak perjokian tersebut, beserta pengacara Kasiyem.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebagai konsultan, Penulis hanya dapat menganalisis adanya kejanggalan-kejanggalan prosedur yang patut dipertanyakan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) tindakan aparat terkait yang dapat dikatagorikan tak lazim. Dengan kata lain, dalam konteks prosedur penegakan hukum, buntut terungkapnya perkara itu, semua pejabat dari institusi penegak hukum yang terlibat dalam kasus joki ini sudah sewajarnya diperiksa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama, sejak di tingkat penyidikan, perkara Kasiyem yang dianggap bersalah karena menjual pupuk bersubsidi padahal dirinya bukan distributor itu, tidak pernah ditahan. Menurut Kasiyem menjawab pertanyaan wartawan, dirinya merasa tidak pernah merekayasa perjokian tersebut. Ia hanya membayar Rp 22 juta kepada pengacara dengan tujuan, agar bisa bebas. Maknanya, terpidana itu sejak perkara tersebut terungkap tidak ingin ditahan, apalagi dipenjara, berapa pun biayanya. Dan faktanya, ia memang tidak pernah ditahan. Entah, jurus apa yang digunakannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, dengan ketakutan yang sama, Kasiyem pada tingkat penuntutan di Kejaksaan Negeri Bojonegoro, juga tidak ditahan. Dalam dunia praktik hukum, nyaris tidak ada satu pun tersangka baik pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, yang tersangkanya tidak ditahan. Kalau kemudian ternyata tersangkanya tidak ditahan, itu bukan karena penyidik atau penuntut umum yakin pesakitan itu tidak bakal mempersulit pemeriksaan, tapi kebanyakan karena sudah membayar uang “jaminan” yang tidak pernah ada tanda terimanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketiga, tatkala Kasiyem diantar aparat kejaksaan ke Lapas Bojonegoro untuk menjalani pidana, sesuai pengakuan pihak Kalapas, saat itu berkas kelengkapan administrasi terpidana tanpa disertai foto dan keterangan sidik jari. Prosedural, pihak Lapas seharusnya menolak penyerahan “Kasiyem” palsu untuk menjalani eksekusi. Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan besar serta wajib diinvestigasi oleh Satgas Mafia Hukum, sudah berapa kalikah perjokian tersebut terjadi Lapas Bojonegoro?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalangan praktisi hukum sudah mahfum, bahkan mungkin sudah ahli. Dengan hanya mendengar atau membaca informasi melalui media massa, dirinya dapat “mencium” suatu perkara pidana yang tengah diperiksa itu dalam genggaman mafia hukum atau tidak. Memang, tidak semua tersangka yang tak ditahan, pasti telah membayar uang ke penyidik/penuntut umum. Tapi peristiwa semacam itu terbatas, misalnya, karena kasusnya melibatkan pejabat daerah, atau yang bersangkutan memegang katebelece. Sedangkan untuk orang miskin, meski perkaranya kecil, penegak hukum pasti menahannya. <em>Wassalam.</em></div>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-68853400349521683532010-09-16T15:55:00.000-07:002010-09-16T15:56:03.880-07:00Pembatalan Putusan Arbitrase di Indonesia<b>Tony Budidjaja, S.H., LLM </b><br />
Ketentuan-ketentuan Pasal 70 – 72 yang termuat di dalam Bab VII Undang-Undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”), yang biasa dijadikan pedoman bagi pengadilan untuk memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia, dalam praktek sering menimbulkan persoalan dan perdebatan. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Putusan-putusan pengadilan di Indonesia pun nampaknya masih belum “kompak” dalam memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan ini. Pasal 70 menentukan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur, pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.<br />
<br />
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa Pasal 70 hanya mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Alasan-alasan tersebut bersifat “optional” atau fakultatif (boleh digunakan, boleh tidak, tergantung pilihan atau keputusan pihak yang bersangkutan). Karena sifatnya yang “optional” tersebut, Pasal 70 UU Arbitrase, menurut penulis, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam proses arbitrase, yang mempunyai “dugaan” bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan terhadapnya mengandung unsur pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen. <br />
<br />
Pasal 70 tidak mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase. Pasal 70 UU Arbitrase nampaknya tidak dimaksudkan untuk membatasi alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk memeriksa dan mengabulkan, ataupun menolak suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase. Ketentuan Pasal 70 tidak menyebutkan, misalnya, bahwa “suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila …..”. <br />
<br />
Meskipun Pasal 70 tidak mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, akan tetapi perlu dipahami, bahwa “tidak diatur” bukan berarti “tidak boleh”. Prinsip hukum yang berlaku secara universal adalah “tidak dilarang berarti boleh”; bukan sebaliknya.<br />
<br />
Menurut penulis, ketentuan di dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase yang menyebutkan bahwa pembatalan putusan arbitrase "dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain (alasan-alasan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70) juga menunjukkan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70 bukan merupakan “satu-satunya” alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase menurut UU Arbitrase. Ada alasan-alasan lain yang dapat digunakan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase.<br />
<br />
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus permohonan pembatalan putusan arbitrase Pertamina v. KBC (2002) sempat mempertimbangkan hal ini. Salah satu pertimbangan penting Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus ini menyatakan bahwa “dengan adanya penyebutkan kata ‘antara lain’ dapat ditafsirkan bahwa oleh (UU Arbitrase) untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain”. Sayangnya putusan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung di tingkat banding, dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal V (1) e Konvensi New York 1958, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus ini, mengingat putusan arbitrase yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di Swiss. Meski demikian, pertimbangan PN Jakarta Pusat mengenai pemahaman dan penerapan Pasal 70 sama-sekali tidak dikoreksi atau ditentang oleh Mahkamah Agung.<br />
<br />
Contoh alasan yang tidak disebutkan dalam Pasal 70, akan tetapi menurut UU Arbitrase tampaknya dapat digunakan oleh pengadilan dalam hal pembatalan putusan arbitrase, adalah alasan bahwa sengketa yang diputus menurut hukum tidak dapat diarbitrasekan (non-arbitrable). Dalam hal ini, ketentuan penjelasan Pasal 72 (2) menyebutkan bahwa: "Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase”. Berdasarkan ketentuan ini, UU Arbitrase jelas mengatur kewenangan pengadilan untuk mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan “menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase”. <br />
<br />
<br />
<i>Alasan Pembatalan di Luar UU Arbitrase<b></b></i><br />
Sistem hukum Indonesia menentukan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya. Bahkan, Pasal 22 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (Peraturan Umum mengenai Peraturan Perundang-Undangan untuk Indonesia; “AB”) dengan keras menyatakan “hakim yang menolak untuk mengadakan keputusan terhadap perkara dengan dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut karena menolak mengadili perkara”. <br />
<br />
Lebih lanjut, Pasal 16 (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasan Kehakiman pun menentukan bahwa “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. “Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” sehubungan dengan masalah pembatalan putusan arbitrase ini untungnya tidak sulit ditemui, karena sudah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik nasional maupun internasional, bahkan jauh sebelum UU Arbitrase diberlakukan. <br />
<br />
Rv (Reglement op de Recthvordering), yang merupakan peraturan perundang-undangan yang penting yang berlaku pada zaman Hindia Belanda dan sempat diberlakukan pada masa kemerdekaan Indonesia sampai dikeluarkannya UU Arbitrase, dapat dijadikan referensi mengenai “nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat” sehubungan dengan masalah pembatalan putusan arbitrase ini. Pasal 643 Rv, misalnya, mengatur secara lebih jelas dan lengkap hal-hal yang dapat membuat suatu putusan arbitrase dapat dibatalkan.<br />
<br />
Ada sepuluh alasan berdasarkan Pasal 643 Rv yang bisa dijadikan dasar pembatalan putusan arbitrase. Pertama, putusan itu melampaui batas-batas perjanjian arbitrase. Kedua, putusan itu diberikan berdasarkan suatu perjanjian arbitrase yang ternyata tidak sah atau gugur demi hukum. Ketiga, putusan itu telah diberikan oleh arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa kehadiran arbiter lainnya. Keempat, telah diputuskan hal-hal yang tidak dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Kelima, putusan itu mengandung hal-hal yang satu sama lain saling bertentangan. <br />
<br />
Selanjutnya alasan keenam, arbiter telah lalai memberikan putusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut perjanjian arbitrase diajukan kepada mereka untuk diputus. Ketujuh, arbiter telah melanggar prosedur hukum acara arbitrase yang harus diikuti dengan ancaman kebatalan. Kedelapan, telah dijatuhkan putusan berdasarkan surat-surat yang setelah putusan itu dijatuhkan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu. Kesembilan, setelah putusan diberikan, surat-surat yang menemukan yang dulu disembunyikan oleh para pihak, ditemukan lagi. Kesepuluh, putusan didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama jalannya pemeriksaan, yang kemudian diketahui. <br />
<br />
Di samping itu, ada dua instrumen internasional mengenai arbitrase yang penting dan dianggap sebagai sumber hukum arbitrase utama di dunia, yang seharusnya dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan pula oleh pengadilan dalam memeriksa suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase. Yang pertama adalah United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (“Konvensi New York”), yang telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981; dan yang kedua adalah United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on International Commercial Arbitration (“UNCITRAL Model Law”).<br />
<br />
Article V Konvensi New York mengatur dengan jelas dan lengkap alasan-alasan suatu putusan arbitrase tidak dapat dilaksanaan atau ditolak pelaksanaannya. Terjemahan tidak resmi dari konvensi tersebut adalah, "Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak atas permohonan pihak terhadap siapa putusan tersebut dijatuhkan, hanya apabila pihak yang mengajukan permohonan dimaksud membuktikan beberapa hal. <br />
<br />
Pertama, para pihak pada perjanjian (arbitrase) yang disebut dalam pasal II, tidak memiliki kecakapan berdasarkan hukum yang berlaku atas mereka, atau perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana para pihak sudah menundukkan diri atau, apabila tidak terdapat petunjuk mengenai hal tersebut di atas, maka berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dijatuhkan. Atau, kedua, pihak terhadap siapa putusan dijatuhkan tidak diberi pemberitahuan yang patut mengenai penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau tidak dapat membela perkaranya. <br />
<br />
Atau, ketiga, putusan berkenaan dengan perselisihan yang tidak dimaksudkan oleh atau tidak termasuk dalam kesepakatan-kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase atau memuat putusan atas hal-hal yang berada di luar lingkup kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase, dengan ketentuan bahwa, apabila putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat dipisahkan dari putusan yang tidak diajukan, maka bagian dari putusan arbitrase yang mencantumkan putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan. <br />
<br />
Atau, keempat, komposisi majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian para pihak atau, apabila kesepakatan tersebut tidak ada, tidak sesuai dengan hukum negara di mana arbitrase itu dilangsungkan. Atau, kelima, putusan arbitrase masih belum mengikat para pihak, atau telah dibatalkan atau ditangguhkan oleh pihak yang berwenang dari negara di mana atau berdasarkan hukum mana putusan arbitrase itu dijatuhkan.<br />
<br />
Selanjutnya, konvensi New York juga menyatakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase juga dapat ditolak apabila pihak yang berwenang di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan diupayakan menemukan bahwa materi pokok perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum dari negara tersebut, atau pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase berlawanan dengan ketertiban umum dari negara tersebut.<br />
<br />
Pasal 34 (2) UNCITRAL Model Law pun mengatur dengan jelas dan lengkap alasan-alasan pembatalan suatu putusan arbitrase. Putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh pengadilan yang disebut dalam pasal 6 ketentuan tersebut hanya apabila, pihak yang mengajukan permohonan menyerahkan bukti bahwa, pertama, pihak perjanjian arbitrase yang disebut dalam Pasal 7 tidak memiliki kecakapan, atau perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana para pihak sudah menundukkan diri, atau, apabila petunjuk mengenai hal itu tidak ada, berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dijatuhkan.<br />
<br />
Atau, kedua, pihak yang mengajukan permohonan dimaksud tidak diberi pemberitahuan yang patut mengenai penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau tidak dapat membela perkaranya. <br />
<br />
Atau, ketiga, putusan berkenaan dengan perselisihan yang tidak dimaksudkan oleh atau tidak termasuk dalam kesepakatan-kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase atau memuat putusan atas hal-hal yang berada di luar lingkup kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase, dengan ketentuan bahwa, apabila putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat dipisahkan dari putusan yang tidak diajukan, maka bagian dari putusan arbitrase yang mencantumkan putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan. <br />
<br />
Atau, keempat, komposisi majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian para pihak atau, apabila perjanjian tersebut tidak ada, tidak sesuai dengan hukum negara di mana arbitrase itu dilangsungkan.<br />
<br />
Selanjutnya, berdasarkan pasal yang sama di UNCITRAL Model Law, putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila pengadilan menemukan bahwa pokok sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara ini atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum dari negara ini.<br />
<br />
Perlu dipahami bahwa ketentuan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 34 (2) UNCITRAL Model Law tersebut persis sama dengan ketentuan yang termuat dalam hukum arbitrase nasional dari negara-negara seperti: Australia, Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Belarusa, Bermuda, Bulgaria, Kanada, Chili, di China: Hong Kong Special Administrative Region, Macau Special Administrative Region; Kroasia, Siprus, Mesir, Jerman, Yunani, Guatemala, Hongaria, India, Iran, Irlandia, Jepan, Yordania, Kenya, Lithuania, Madagaskar, Malta, Meksico, Selandia Baru, Nigeria, Oman, Paraguay, Peru, Philipina, Korea Selatan, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilangka, Thailand, Tunisia, Ukraina, di Inggris Raya: Skotlandia; di Bermuda, di Amerika Serikat: California, Connecticut, Illinois, Oregon and Texas; Zambia, and Zimbabwe.<br />
<br />
Jadi, berdasarkan Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, pada pokoknya alasan-alasan tersebut dibagi dua: alasan yang “optional” yang dapat diajukan oleh para pihak, dan alasan-alasan yang boleh (bahkan menurut pandangan umum para ahli-ahli hukum arbitrase, wajib) digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, yakni apabila sengketa yang diputus menurut hukum tidak dapat diarbitrasekan (non-arbitrable) atau melanggar ketertiban umum (public policy).<br />
Pasal 52 dari Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (yang biasa disebut Konvensi Washington), yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1968, pun mengatur alasan-alasan yang jelas dan lengkap dalam hal apa suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan berdasarkan Konvesi itu dapat dibatalkan. <br />
Fungsi dan Kewenangan pengadilan <br />
Menurut penulis, fungsi dan kewenangan pengadilan dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase berbeda dengan fungsi dan kewenangan pengadilan dalam memeriksa permohonan pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase. Apabila dalam memeriksa permohonan eksekusi putusan arbitrase, fungsi pengadilan lebih bersifat administratif, maka dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase, fungsinya adalah yudikatif (mengadili). Itu sebabnya, menurut penulis, pihak yang dimenangkan oleh putusan arbitrase seharusnya ikut didengar keterangannya oleh pengadilan, selain tentu saja keterangan dari arbiter yang mengeluarkan putusan arbitrase itu. <br />
<br />
Kewenangan pengadilan dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase pun lebih luas dari kewenangan pengadilan dalam memeriksa suatu permohonan pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase. Dalam hal memeriksa suatu permohonan pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase, pengadilan seharusnya hanya dapat menjalankan fungsi kontrolnya secara “prima facie” saja. <br />
<br />
Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70, maka menurut penulis, pemohon pembatalan seharusnya membuktikan adanya “dugaan” yang sah bahwa putusan arbitrase tersebut mengandung “unsur” pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen. UU Arbitrase sayangnya tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan kata “dugaan” ataupun kata “unsur” sebagaimana disebut di dalam Pasal 70 tersebut. UU Arbitrase juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kata “pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen” sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 70. Hal ini dalam praktek sering menjadi perdebatan.<br />
<br />
UU Arbitrase tidak pernah menyebutkan, dan karenanya penulis tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa dugaan bahwa putusan arbitrase “mengandung unsur” pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen, harus dinyatakan terbukti oleh putusan pengadilan dalam perkara pidana. Agar jelas, penulis sengaja mengutip ketentuan penjelasan Pasal 70 berikut ini: <br />
<br />
“Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”.<br />
<br />
Dalam praktek, penulis mengamati ada pendapat yang mengatakan bahwa “dugaan” adanya “unsur” pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen yang menjadi alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Pihak-pihak yang mengeluarkan pendapat ini biasanya mendasarkan pada kalimat pertama ketentuan penjelasan Pasal 70 ini saja, tanpa memperhatikan dan memahami kalimat berikutnya. <br />
<br />
Padahal, apabila kalimat selanjutnya dibaca, maka pendapat tersebut akan sulit dipertahankan. Perkataan “putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan" dalam ketentuan tersebut dapat dianggap bahwa putusan pengadilan tidak mutlak disyaratkan bagi pengadilan untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 70, pengadilan boleh mengabulkan ataupun menolak suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase, tanpa harus terikat dengan suatu putusan pengadilan tertentu.<br />
<br />
Menurut penulis, apabila ketentuan penjelasan Pasal 70 ini dipertimbangkan dan dipahami secara utuh atau lengkap, maka pengadilan yang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase diberikan kewenangan oleh UU Arbitrase untuk menilai atau memutuskan apakah alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon pembatalan beralasan atau tidak. <br />
<br />
Penjelasan Pasal 72 Ayat (2) UU Arbitrase pun menyebutkan “Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan”. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase”. Ketentuan ini pun secara tersirat menunjukkan adanya kewenangan yang besar yang diberikan kepada pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase.<br />
<br />
Penulis terus-terang khawatir sekaligus ngeri membayangkan apa akibatnya apabila pendapat yang mengatakan bahwa “dugaan” adanya “unsur” pemalsuan, tipu-muslihat, atau penyembunyian fakta/ dokumen yang menjadi alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (bahkan harus oleh putusan pengadilan dalam perkara pidana). Hal ini dapat mengakibatkan akan amat sulit, bila tidak dikatakan mustahil, suatu putusan arbitrase dapat dibatalkan di Indonesia. <br />
<br />
Pasal 71 UU Arbitrase mensyaratkan “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”; Selanjutnya, Pasal 59 (1) menentukan “Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jadi, maksimum waktu yang disediakan untuk memperoleh “putusan pengadilan” tersebut hanyalah 60 hari. Bagi mereka yang biasa berperkara di pengadilan akan segera memahami betapa “sulit ketentuan ini dapat dijalankan. Padahal, ada adagium hukum yang penting yang menyatakan bahwa “lex non cogit impossibilia” atau “the law requires not to impossibilities”. <br />
<br />
Menurut penulis, kata “dugaan” di sini dapat disamaartikan dengan kata “persangkaan” sebagaimana yang biasa digunakan dalam hukum acara perdata. Mengenai hal ini, sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang baik yang menjelaskan apa pengertian “persangkaan” menurut hukum. Meski demikian, penulis perlu mengatakan bahwa suatu persangkaan yang dapat mendukung alasan pengabulan permohonan pembatalan putusan arbitrase, harus mempunyai nilai atau bobot yang sah sebagai alasan pengabulan. Dalam hal ini, harus ada fakta yang mendukung persangkaan, atau sekurang-kurangnya ada petunjuk-petunjuk yang membenarkan persangkaan, dan fakta atau petunjuk itu harus masuk akal.<br />
<br />
Penulis berpendapat apabila terdapat fakta atau petunjuk misalnya bahwa arbiter telah melakukan suatu kelalaian yang penting dalam melaksanakan tugas (atau wewenang) yang diberikan menurut perjanjian arbitrase, maka kelalaian tersebut dapat dianggap sebagai suatu “penipuan” ataupun “tipu-muslihat”. Dalam hal ini, ada adagium hukum yang mengatakan “Magna culpa dolus est. Great neglect is equivalent to fraud”. Kelalaian yang besar sama artinya dengan penipuan/ tipu muslihat.<br />
<br />
Contoh lain, sebagaimana diakui oleh Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, dan sudah diikuti oleh sebagian besar negara-negara di dunia, dalam hal perjanjian untuk membawa sengketa itu ke arbitrase tidak sah, maka hal itu pun merupakan alasan yang sah untuk membatalkan putusan arbitrase. Apalagi perlu diingat, dasar arbitrase adalah “perjanjian”. Tanpa adanya perjanjian arbitrase yang sah, seharusnya sejak semula, proses arbitrase itu tidak sah dan karenanya putusan arbitrase yang dijatuhkan menjadi “batal demi hukum” (void ab initio). <br />
<br />
<i>Ketertiban Umum<b></b></i><br />
Pelanggaran terhadap “ketertiban umum” (public policy, public order) seharusnya dianggap sebagai suatu pelanggaran yang bobotnya "melampaui" atau "lebih berat dari" alasan-alasan yang termuat di dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, suatu putusan arbitrase dianggap melanggar “ketertiban umum” apabila putusan itu “nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia”. Pasal 23 AB menentukan “Undang-undang yang ada sangkut pautnya dengan ketertiban umum atau tata susila yang baik, tidak dapat dihilangkan kekuatan hukumnya dengan tindakan atau persetujuan”. <br />
<br />
Sudah banyak kasus di mana pengadilan Indonesia, seperti halnya pengadilan-pengadilan di banyak negara-negara lain di dunia, menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang bersifat memaksa (mandatory rules of law) merupakan pelanggaran atas “ketertiban umum” di Indonesia, yang mengancam pelanggarannya dengan ancaman kebatalan atau pembatalan (“Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and Enforcement of Foireign Arbitral Awards in Indonesia” (Tatanusa, 2003)). <br />
<br />
Sehubungan dengan hal ini, perlu diingat ada beberapa ketentuan di dalam UU Arbitrase yang dapat dianggap sifatnya mandatory (memaksa atau bagaimanapun tidak dapat dikesampingkan). Misalnya: keharusan adanya perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para pihak untuk membawa suatu sengketa ke arbitrase (Pasal 1.3, Pasal 2, dan Pasal 4 (2) UU Arbitrase), keharusan adanya persetujuan para pihak dalam hal ada pihak ketiga yang mau ikut serta dalam proses arbitrase (Pasal 30); keharusan mendengarkan kedua belah pihak secara adil/ seimbang (Pasal 29 ayat 1), keharusan menjatuhkan putusan dalam waktu 180 hari, kecuali bila disetujui para pihak (terutama mengingat arbitrase pada prinsipnya komersial; semakin lama, maka semakin mahal biaya yang harus ditanggung para pihak) (Pasal 48). <br />
<br />
Kalau bukan pengadilan yang menegakkan ketentuan hukum yang sifatnya memaksa tersebut, maka siapalah yang akan melakukannya? Ingat pula adagium hukum yang mengatakan “error qui non resistitur, approbatur” atau bahasa Inggrisnya “an error not resisted is approved”. <br />
<br />
Di beberapa negara (misalnya di Swiss dan Peru), putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar batas waktu yang ditentukan merupakan alasan yang sah bagi pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase itu. Di Argentina dan Polandia (dan di Indonesia pada zaman Hindia Belanda), putusan arbitrase yang saling bertentangan satu sama lain merupakan alasan yang sah bagi pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase itu.<br />
<br />
<b>Penyempurnaan UU Arbitrase<i></i></b><br />
Arbiter adalah manusia biasa, yang tidak pernah luput dari kesalahan. Hakim yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus saja tidak luput dari kesalahan, apalagi arbiter, yang mungkin saja tidak berlatarbelakang pendidikan hukum. Suatu putusan arbitrase karenanya tidak kebal (immune) terhadap kontrol (pengawasan) atau pemeriksaan oleh pengadilan. Justru, untuk menjaga kualitasnya sehingga pada akhirnya arbitrase dapat berkembang, arbitrase membutuhkan kontrol pengadilan. <br />
<br />
Itu sebabnya, pembatalan suatu putusan arbitrase adalah upaya hukum yang “biasa” yang berlaku secara universal. Hukum arbitrase di negara manapun pasti mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu putusan arbitrase, walaupun istilah yang digunakan mereka mungkin berbeda-beda. Di Amerika Serikat misalnya menggunakan istilah “vacating the award” (dapat diterjemahkan “peniadaan putusan”); di Perancis seperti halnya di Belanda dan Indonesia menggunakan istilah pembatalan (annulment; recours en annulation); di beberapa negara lainnya menggunakan istilah “setting aside” (dapat diterjemahkan “pengesampingan”).<br />
<br />
Meski demikian, tentu saja, upaya pembatalan putusan arbitrase tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Campur-tangan pengadilan melalui kewenangannya untuk membatalkan putusan arbitrase perlu dibatasi, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat mengenai arbitrase. <br />
<br />
Agar arbitrase di Indonesia dapat berkembang baik, UU Arbitrase memang perlu disempurnakan dalam beberapa aspek, khususnya dalam hal pengaturan mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase. Penulis berharap pihak-pihak yang berwenang segera melakukan segala upaya agar UU Arbitrase dapat disempurnakan sehingga UU Arbitrase Indonesia boleh sinkron dengan konvensi-konvensi internasional mengenai arbitrase yang sudah terlebih dahulu diratifikasi Indonesia, maupun kaidah-kaidah hukum arbitrase yang berlaku secara universal. <br />
<br />
Sementara waktu, mengingat UU Arbitrase belum mengatur secara khusus alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali, dipahami, dan diikuti oleh pengadilan Indonesia. <br />
Alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, seperti: ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah, pelanggaran terhadap prinsip kepatutan atau keadilan dalam berperkara (due process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam proses pemilihan arbiter atau proses arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut dan pemberian kesempatan membela diri yang adil/ berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan dengan perjanjian, arbiter yang bertindak di luar kewenangan (excess of authority), dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non-arbitrable), maupun (apalagi) alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), menurut penulis sepatutnya ikut dipertimbangkan oleh pengadilan dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia. <br />
<br />
<i>Dimuat pada Hukum Online.com Edisi 20 Juli 2005 (Admin)</i>HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-26201595365773394642010-04-30T00:21:00.000-07:002010-05-21T21:37:32.073-07:00Quis Custodiet Ipsos Custodes?Polisi, Jaksa, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukui, termasuk parlemen adalah institusi negara yang memiliki fungsi pengawasan. Dalam hal ini mengawasi mengenai kamtibmas, kegiatan masyarakat di sektor keuangan, serta perilaku pemerintah. Karena itu pejabat negara yang bertanggung jawab pada institusi itu adalah orang-orang memiliki wewenang besar sekaligus tanggung jawab besar. Itu sebabnya sistem rekruitmen pada institusi tersebut haruslah memiliki tahapan-tahapan yang terpola dan berstandar baku.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Namun, dalam nuansa dinamika kehidupan yang semakin mengedepankan tampilan materi seperti saat ini, tentu saja ada pengaruh psikologi terhadap para pejabat pengawas itu. Terbongkarnya berbagai bentuk mafia hukum akhir-akhir ini membuktikan perihal itu. Demi materi semata untuk membiayai perilaku hedonistik, banyak pejabat pengawas yang kemudian berganti profesi menjadi menjadi pelacur. Ya, pelacur yang menjual kewenangan, jabatan sekaligus kehormatannya kepada siapa saja yang bersedia membelinya.<br />
<br />
Maka, agar tidak beralih profesi menjadi pelacur, para pejabat pengawas itu pun harus diawasi. Quis custodiet ipsos custodes? Siapakah yang mengawasi pengawas? Tentu saja pemilik kedaulalatan, yakni rakyat! Sebab jika dirunut dari awalnya, para pejabat pengawas itu memangku jabatannya memang mendapatkan mandat dari rakyat. Jabatan itu diperolehnya berdasarkan kontrak sosial melalui penyelenggaraan pemilihan umum, baik pilpres maupun pileg.<br />
<br />
Itulah sebabnya, guru besar sosiologi hukum Indonesia Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan, anarkhisme massa merupakan akibat langsung dari ketidakmampuan perangkat negara –termasuk perangkat hukum– melaksanakan mandat rakyat. Ketika banyak terjadi pelaku kejahatan dibebaskan atau dibiarkan begitu saja, maka kemudian rakyat mengambil alih mandatnya itu kembali. Saat itulah rakyat bertindak selaku polisi, jaksa, sekaligus hakimnya. Terjadilah eigen richting, tindakan main hakim sendiri!<br />
<br />
Ketidaksadaran<br />
Saat ini rakyat semakin sadar akan hak-haknya sebagai warga negara. Runtuhnya Orde Baru merupakan contoh konkrit dari akibat rasa kekesalan sosial yang sudah berada pada level puncak. Mandat rakyat itu pun ditarik kembali secara paksa! Saat itu tampaknya rakyat berani bertaruh apa saja untuk merebut mandatnya itu. Jangankan harta benda, kematian pun mereka siap menjemputnya. Organ negara di bidang keamanan, seperti tentara dan polisi, di mata rakyat adalah warga negara juga. Artinya, mereka tidak perlu ditakuti, tapi perlu disadarkan dari ketidaksadaran struktural bahwa mereka berasal dari rakyat dan bekerja untuk rakyat.<br />
<br />
Kini, tampaknya ketaksadaran struktural itu menghinggapi banyak pejabat tinggi di Republik ini. Mereka memiliki anggapan bahwa uang negara negara yang bersumber dari pajak rakyat itu, seperti harta peninggalan nenek moyangnya. Karena itu mereka merasa memiliki wewenang untuk menggerogotinya (baca: korupsi) seenak udelnya tanpa moral dan rasa malu. Dalam keadaan seperti itu tentu saja mereka dapat dikatagorikan musuh negara, bahkan musuh nomor wahid!<br />
<br />
Dibandingkan dengan tindakan pengebom bunuh diri, tindakan koruptor lebih sadis. Sebab korupsi mengakibatkan kerugiannya lebih luas, serta merugikan rakyat banyak, terutama rakyat pada lapisan paling bawah. Karena itu penjatuhan hukuman mati terhadap koruptor layak diberlakukan di negeri ini. Imam Samudra cs. memang dihukum mati, tetapi relatif lebih terhormat, sebab mereka berani mati demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Tapi koruptor tidak berani mati, hanya memiliki keberanian mencuri!HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-13298345241981983062010-04-30T00:19:00.000-07:002010-05-21T21:37:53.391-07:00Kembalikan Kasus Bibit-Chandra Pada JalurnyaSocrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap yang demikian menurutnya, merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Demi mempertahankan filsafatnya itu, Socrates bersedia mati dengan meminum hemlock (Bernard L. Tanya dkk, 2007).<br />
<a name='more'></a><br />
Sikap Socrates itu memang bertolak belakang dengan sikap Bibit-Chandra. Dengan “bersembunyi” dibalik gerakan (baca: unjuk rasa) rakyat dan rekomendasi Tim-8, , keduanya dibebaskan dari tuntutan. Melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Agung R.I. resmi menghentikan penuntutan terhadap kedua pimpinan KPK non-aktif tersebut. Dengan penghentian penuntutan itu, maka proses hukum yang tengah berjalan berhenti seketika. <br />
<br />
Itulah dua alinea pembuka tatkala Penulis menanggapi penerbitan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), yang membebaskan Bibit-Chandra dari proses hukum saat itu. Jampidsus Marwan Effendi kala itu mengatakan, penerbitan surat tersebut didasari 2 (dua) alasan . Pertama, alasan yuridis, yakni ketidaktahuan kedua tersangka melakukan pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Chandra tanpa melalui rapat pimpinan KPK, merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab tindakan hukum seperti itu biasa dilakukan oleh pimpinan KPK sebelumnya. Dan, kedua, alasan bersifat sosiologis.<br />
<br />
Kemarin, dalam sidang dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI yang membidangi hukum, beberapa anggota dewan sempat mempertanyakan kehadiran Bibit-Chandra pasca putusan PN Jakarta Selatan. Seperti diketahui, pengadilan tersebut mengabulkan permohonan praperadilan Anggodo Widjojo, sekaligus memerintahkan agar perkara pidana yang menjerat dua pimpinan KPK itu segera dilimpahkan ke pengadilan. Dengan putusan itu Bibit-Chandra praktis terancam kembali untuk dinonaktifkan sebagau unsur pimpinan lembaga anti-korupsi tersebut. <br />
<br />
Namun, mendasarkan diri pada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Bibit-Chandra, maka status tersangka terhadap kedua unsur pimpinan KPK itu tidak serta merta menyebabkan yang bersangkutan harus non-aktif. Status non-aktif diberlakukan bilamana keduanya sudah berstatus terdakwa. Sebab itu anggota dewan kemudian bersepakat bahwa Bibit-Chandra diperkenankan untuk dapat terus mengikuti acara dengar pendapat itu.<br />
<br />
Tak Berdasar<br />
Penulis menilai, putusan itu sudah betul karena telah menempatkan kembali suatu proses hukum pada jalur yang benar, sebagai perwujudan asas persamaan di depan hukum atas semua warga negara di Republik ini. Sementara Humas PN Jakarta Selatan menjawab pertanyaan pers mengatakan, alasan menghentian penuntutan itu tidak berdasar. Dalam KUHAP, hanya ada tiga alasan untuk menetapkan penuntutan dihentikan, yakni tidak adanya bukti yang cukup, peristiwanya bukan tindak pidana, atau perkaranya ditutup demi hukum. <br />
<br />
Menanggapi putusan itu penasihat hukum para tersangka, Bambang Widjojanto menilai, putusan tersebut sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. Mereka begitu meyakini bahwa perkara yang menjerat unsur pimpinan lembaga pemberantasan itu hanya suatu rekayasa semata. Dasar logikanya –dan bukan berdasarkan logika hukum– hanya hasil rekaman yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi antara Anggodo Widjojo dengan beberapa petinggi di Mabes Polri.<br />
<br />
Kini perkara Anggodo Widjojo memang memasuki tahap pemeriksaan di pengadilan. Sementara Kejari Jakarta Selatan telah menyatakan mengajukan permohonan banding atas putusan PN Jakarta Selatan tersebut. Dari situasi hukum yang mengitari dinamika proses hukum perkara ini, telah menimbulkan kegamangan. Sebab itulah dilanjutkannya proses pemeriksaan di muka sidang pengadilan atas perkara tersebut, diyakini dapat memperjelas sekaligus memberikan kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi menyangkut Bibit-Chandra? Semoga***HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-32746100255496202842010-04-18T22:58:00.001-07:002010-04-18T22:58:36.180-07:00BPN Daerah Masih Menjadi Sarang PungliBadan Pertanahan Nasional (BPN) masih menjadi sarang pungutan liar atau pungli. Institusi yang memiliki wewenang menerbitkan hak atas tanah ini, meski kantornya di beberapa daerah sudah berhasil meraih penghargaan karena “kebersihannya”, toh masih marak dengan aksi penyimpangan. Tanpa memberikan tip kepada pejabat yang terlibat dalam pengurusan, jangan harap mendapatkan pelayanan proporsional.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sampelnya, lihat saja di wilayah Malang Raya. Menurut salah seorang pegawai notaris yang pekerjaannya mengurusi berbagai peralihan hak atas tanah mengatakan, tanpa memberikan uang sogok berkasnya bakal dipersulit. Tidak hanya lambat penanganannya, tapi juga bisa tak jelas juntrungnya. “Perilaku semacam itu sudah lama berlangsung, dan tampaknya sulit dihilangkan,” kata lelaki berkacamata itu.<br />
<br />
Padahal sesuai dengan amanat UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA pada 24 September 1960, pemerintah wajib melakukan ketertiban di bidang pertanahan. Salah satu usaha tertib hukum di bidang ini adalah terbitnya peraturan mengenai pendaftaran tanah, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Ketentuan ini merupakan aturan pengganti dari PP No. 10 Tahun 1961, yang mengatur perihal yang sama, namun karena dipandang sudah tidak sesuai lagi ketentuan yang disebut terakhir ini, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.<br />
<br />
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.<br />
<br />
Bertanda “YBS”<br />
Dalam praktik, proses pendaftaran tanah memang tidak semudah yang terlihat. Sebab hampir di seantero republik ini yang namanya pengurusan/ pendaftaran tanah, selalu ditingkahi banyak hambatan. Nyaris di setiap meja bagian pengurusan selalu minta “uang administrasi” yang berkisar antara Rp 30.000,- hingga mencapai Rp 150.000 per orang. Biaya itu belum terhitung pungutan lain, tatkala sertifikat sudah siap ditandatangani kepala kantor.<br />
<br />
Sekadar dipahami, untuk pengurusan sertifikat kebanyakan petugas/pejabat BPN cenderung memprioritaskan mereka yang menggunakan calo/perantaran bebas atau melalui kantor-kantor notaris. Bagi mereka yang mengurus sendiri, asalkan rajin memprotes dan selalu menanyakan kelanjutan permohonan, berkas permohonan akan ditindaklanjuti. Tapi bagi yang pemohon malas, pada map berkas permohonan biasanya oleh bagian penerimaan berkas akan ditandai dengan tulisan “YBS”. Maksudnya, permohonan itu dilakukan sendiri oleh “yang bersangkutan”, karena itu biasanya berkas permohonan yang akan ditumpuk begitu saja. <br />
<br />
Senyampang dengan adanya arus deras pemberantasan berbagai tindak mafia hukum di Republik ini, pihak BPN tampaknya harus didorong pula melakukan gerakan “bersih-bersih”. Sebab dari pengamatan lapangan, khususnya di Malang Raya –baik di wilayah Malang Kota, Kabupaten Malang, maupun Kota Batu– tindak penyimpangan semacam itu masih ada. Para pemberi jasa (baca: calo) maupun pegawai notaris yang aktivitas di sana tampaknya sulit melepaskan diri dari jeratan itu.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-87116035377868974702010-04-18T04:16:00.000-07:002010-04-18T04:21:08.727-07:00Kasus Priok: Kepastian Hukum yang Tak Berkeadilan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIlKd2znGmnRAtynZfsBX-EOAJzCctRueFl0dimCZbx1Bv1lhEMUqNYNYroGM2gSMsSG9CcAXI8eIus2t3DCUw_lT9AL8RZBuWEFiROZhmijBUKT15Ak3AjksgAoC7GN5rnmE_eJ7Ia6KO/s1600/Peradim-3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIlKd2znGmnRAtynZfsBX-EOAJzCctRueFl0dimCZbx1Bv1lhEMUqNYNYroGM2gSMsSG9CcAXI8eIus2t3DCUw_lT9AL8RZBuWEFiROZhmijBUKT15Ak3AjksgAoC7GN5rnmE_eJ7Ia6KO/s320/Peradim-3.jpg" /></a></div>Kasus Priok II telah berlalu dan meninggalkan luka serta berbagai kerugian, baik korban jiwa maupun materi yang cukup besar. Pertarungan dua kubu –kedua-duanya warga bangsa ini– karena memiliki berhala pengabdian yang berbeda. Yang satu pengabdi terhadap kekuasaan yang otoriter, yang lain meyakini kekeramatan seseorang yang dikenal dengan nama Habib Hasan bin Muhammad al Haddad alias Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A, atau yang dikenal masyarakat dengan sebutan mBah Priok.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ada dua hal yang patut menjadi bahan renungan dalam peristiwa mengenaskan itu. Pertama, tentang eksistensi komplek makam mBah Priok berangka tahun 1756, beserta masjid yang ada di dalamnya telah berusia sekitar 244 tahun. Apa pun alasannya, keberadaan kompleks makam itu telah mendahului ada daripada kepemilikan PT. Pelindo, meski BUMN ini memiliki dasar hukum. Karena itu hak pertama atas lahan yang ada dalam komplek makam itu sudah tentu ada pada ahli warisnya.<br />
<br />
Kedua, mengenai keberadaan Tanjung Priok sebagai pelabuhan internasional peti kemas, yang menjadi urat nadi utama bagi Republik ini dalam gerak pengelolaan ekonomi bangsa. Sehingga karena itu Tanjung Priok perlu dikekola secara apik dan sempurna, bahkan bila perlu semakin ditingkatkan pengelolaannya, agar sumber-sumber pendapatan bangsa ini tidak terhambat atau malah hancur. Itulah sebabnya masalah komplek makam mBah Priok dan pelabuhan Tanjung Priok tidak boleh dipandang sebagai buah simalakama.<br />
<br />
<b>Proporsional Saja</b><br />
Umat Islam, siapa pun itu, tentu diharamkan memuja mBah Priok. Sikap berlebihan dalam menyikapi tokoh penyebar Islam –khususnya terhadap guru-guru agama yang diyakini sebagai waliyullah– dikhawatirkan justru malah berujung pada perbuatan dosa. Mengapa? Karena kebanyakan masyarakat muslim yang melakukan ziarah kubur, yang seharusnya menggenggam niat mendoakan sekaligus bermaksud menapaktilasi sejarah perjuangan si fulan sang guru, justru terjebak meminta-minta dikabulkannya permintaan.<br />
<br />
Bila kemudian –atas kehendak Allah– apa yang dicitakan itu terkabul, kemudian mulai tumbuh keyakinan bahwa terkabulnya keinginan itu atas berkah dari ziarah dan berdoa di kuburan si fulan. Berulangnya peristiwa demikian itu, lama-kelamaan secara tanpa sadar menjelma menjadi suatu keimanan fundamenalisme (baca: keyakinan yang amat kuat). Menurut hujjatul Islam Imam Ghozali, sikap semacam itu dapat dianggap melakukan isyrok (baca: kesirikan). Berlawanan dengan sifat ikhlas, untuk mengimani bahwa yang menolak dan mengabulkan permintaan makhluk hanyalah Allah Swt semata.<br />
<br />
Pada tataran ini, maka niatan untuk mempertahankan komples makam mBah Priok haruslah dimotivasi mempertahankan hak atas tanah, bukan perjuangan berdasarkan keimanan karena adanya kekeramatan mBah Priok. Sebab Allah Swt telah mengajarkan kepada manusia agar senantiasa meyakini dan berdoa: Allahumma malikal mulk. Tuktilmulka mantasya’, watandziu’ mulka mimantasya, wa tuizzuman mantasya’, wa tudzilu mantasya’, biyadzikal khoir. Innaka ala kulli syaiinqodir. (Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau ambil kekuasaan itu dari manusia yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan manusia yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan manusia yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemilik segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa berbuat segala sesuatu yang Engkau kehendaki). <br />
<br />
<b>Hukum Berkeadilan</b><br />
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam berlaku dan bertindak wajib memiliki dasar hukum. Namun, hukum yang diberlakukan tentulah hukum yang memiliki dasar pijak yang berkeadilan, bukan sekadar berkepastian hukum. Untuk itulah hukum itu harus merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan dan falsafah hidup bangsa ini, yang telah tumbuh dan berkembang sejak sebelum masa kemerdekaan.<br />
<br />
Hukum bukanlah sekadar sebuah keputusan dari institusi berwenang –dalam kasus komplek makam mBah Priok– pihak PT. Pelindo merasa berhak karena sudah mengantongi bukti penguasaan/kepemilikan yang sah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Karena surat keputusan semacam itu, oleh penguasa atau pengusaha, dalam wajah hukum yang masih compang-camping seperti saat ini sangat mudah untuk dimanipulasikan. Dan, rakyat selalu berada di pihak yang kalah!<br />
<br />
Satpol PP maupun aparat kepolisian yang dikerahkan di lapangan hanyalah pion-pion yang bergerak atas perintah atasan. Mereka tidak dapat disalahkan meski bertindak represif terhadap masyarakat, siapa pun warga masyaarakat itu. Sebab membantah perintah atasan sama dengan mengajukan permohonan pengunduran ini. Mantan Gubernur DKI, Sutijoso mengatakan, mereka akan melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya.<br />
<br />
Masalah komplek makam mBah Priok memang sudah selesai. Pihak PT. Pelindo sebagai pengelola pelabuhan Tanjung Priok, dipastikan tidak bakal menggusur komplek makam beserta masjid di dalamnya, tapi justru akan memperbaikinya agar dapat menjadi obyek wisata ziarah. Tapi kasus itu haruslah dipandangan sebagai peristiwa yang mengandung iktibar (pelajaran) bagi semua pihak. Khususnya pihak penguasa agar tak lagi mengadu domba antar-warga negara, demi menjaga kehormatan atas dasar arogansi kekuasaan semata.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-47279660182617175072010-04-12T17:36:00.001-07:002010-04-18T04:23:21.317-07:00Mengukur Dukungan Terhadap Susno<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb2HSMMiQbzu6-rwugkD07S-_dmjCYGK9M561BNnMTpg6wOBsQvPqaye5ntoyEOSn9fAuPUYIV_5Tj-n1hesFuXUyu2EFfAqWLJijIFiipsQJ5mFCdxQvXUixNZuCR4b1KhRPHtDGWm7ot/s1600/Peradim-3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb2HSMMiQbzu6-rwugkD07S-_dmjCYGK9M561BNnMTpg6wOBsQvPqaye5ntoyEOSn9fAuPUYIV_5Tj-n1hesFuXUyu2EFfAqWLJijIFiipsQJ5mFCdxQvXUixNZuCR4b1KhRPHtDGWm7ot/s320/Peradim-3.jpg" /></a></div>Provost Mabes Polri tangkap mantan Kabagreskrim Susno Duadji –selanjutnya disebutn SD– di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Seketika setelah penangkapan itu, beberapa anggota DPR, anggota Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), dan beberapa pengamat politik mereaksi tindakan konyol kepolisian itu. Empat jam usai diperiksa, SD pun dibebaskan kembali. Loh, koq?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tampaknya kepolisian tengah mengukur dukungan publik terhadap SD. Andai, usai penangkapan itu masyarakat tak begitu menggubris, men-cueki saja, bisa jadi SD bakal ditahan. Sebab paparannya di depan Komisi III DPR-RI beberapa waktu lalu, tak hanya memerahkan telinga jajaran petinggi kepolisian, tapi sekaligus memporakporandakan citra Polri yang telah susah payah dibangun. Ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga.<br />
<br />
Publik sangat paham, kala kasus dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra diusut Mabes Polri, SD menjadi sasaran protes para pengunjuk rasa. Bahkan seolah menjadi bintang utama dalam kemelut “pertarungan” antara Mabes Polri versus KPK itu. Beberapa kali SD diunjuk rasa agar segera dimundurkan dari jabatannya sebagai Kabagresrkim Mabes Polri. Dan, tuntutan itu pun akhirnya dikabulkan!<br />
<br />
Bintang Utama<br />
Kini SD menjadi bintang utama kembali tatkala membongkar praktik mafia hukum di institusinya itu, yang menyeret pula institusi Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, termasuk Komisi Yudisial dan lembaga advokat. Gayus Tambunan, sebagai tokoh sentral dalam praktik mafia hukum dan perpajakan itu sempat diputus bebas, akibat tindakan tidak profesional jajaran penyidik Mabes Polri dan penuntut umum pada Kejaksaan Agung. <br />
<br />
Lagi dan lagi potret penegakan hukum di Republik ini coreng-moreng, akibat sifat greedy dari para pejabatnya. Uang miliaran rupiah ditransfer ke sana ke mari di antara petinggi hukum, Ternyata tak hanya politisi yang terlibat korupsi dan penyelewengan, tapi nyaris di seluruh jajaran dan lini jabatan yang memiliki wewenang atas nama kekuasaan, menjadi ajang bagi-bagi uang haram. Sementara rakyat kecil dan miskin, dipaksa untuk tunduk patuh pada hukum tanpa kompromi, seolah para penegak hukum itu adalah malaikat untuk mewakili eksistensi Tuhan.<br />
<br />
Terhadap masyarakat kecil dan miskin itu, selalu dipahamkan bahwa hukum itu harus ditegakkan secara adil dan tak diskriminasi. Hukum ditegakkan untuk menjaga ketertiban dan ketentraman umum, dan dijalankan oleh pejabat negara yang dianggap sudah mumpuni dan kapabel. Sebab itu masyarakat dilarang, bahkan bisa dihukum, jika melakukan tindak main hakim sendiri (eigen richting). Tapi kalau aparat yang penegak hukum yang melakukannya???<br />
<br />
Kini, bola panas telah menggelinding dan akan terus menyingkap tabir kebejatan sebagian besar pejabat di negeri ini. Terakhir PPATK mengungkapkan, masih ada rekening mencurigakan milik beberapa pejabat tinggi setingkat menteri dan direktorat jenderal, serta beberapa politisi di DPR yang terpantau. Memang belum diungkapkan siapa identitasnya. Tapi sebagai bagian dari warga bangsa ini Penulis berharap “bersih-bersih” yang tengah digarap negeri ini terus berjalan secara konsisten, serta tetap mengacu pada aturan hukum. Semoga***HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-50931229061242376052010-04-12T06:08:00.001-07:002010-04-12T06:11:42.449-07:00Mafia Hukum Di Daerah Masih “Bebas”Kendati peluit komandon dan genderang perang telah dibunyikan, tindak mafia hukum di daerah masih terus berlangsung. Pungutan tak resmi masih saja terjadi di ruang-ruang pengadilan negeri dengan dalih untuk ini dan itu, yang tak jelas dasar hukumnya. Dan, para advokat yang mewakili kepentingan pencari keadilan tak dapat berbuat banyak, bahkan tak sedikit yang justru terjebak dalam “permainan” tak senonoh itu.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Satgas mafia hukum yang kini tengah asik mansyuk menangani perkara Gayus Tambunan begitu sibuk, seolah sudah membongkar seluruh kejahatan mafia hukum di Republik ini. Tiap hari wajah-wajah mereka menghiasi hampir di seluruh media massa cetak maupun elektronik, karena statemen-statemen mereka yang bombastis dan menarik minat publik. Sementara markus-markus di daerah masih tertawa menyeriangi, hingga tampak gigi taringnya bak vampire yang senantiasa haus darah.<br />
<br />
Ambil contoh, di salah satu pengadilan negeri di Malang, biaya resmi untuk mengajukan eksekusi hanya Rp 10 juta. Sesuai prosedur, pihak pemohon eksekusi wajib mengajukan surat permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri setempat melalui kepaniteraan. Pihak pemohon, yang lazim diwakili kuasa hukumnya memang menerima kwitansi pembayaran resmi senilai Rp 10 juta, tapi dapat dipastikan mereka membayar lebih dari itu. Berapa?<br />
<br />
Tidak dapat dihitung secara matematis. Sebab jumlah yang harus dibayar tergantung pada nilai harga atas obyek yang bakal dieksekusi. Karenanya, harga yang harus dibayar bisa lima kali lipat, atau bahkan lebih dari sepuluh kali lipat. Dalih yang dikemukakan oknum yang berwenang untuk itu nyaris seragam. Antara lain biaya “sewa” polisi untuk pengamanan, sewa truk-truk pengangkut barang tereksekusi, transportasi dan akomodasi petugas pengadilan negeri yang tak mungkin dirinci satu per satu. Termasuk diantaranya tip untuk ketua pengadilan negeri karena berkenan menandatangani surat penetapan eksekusi.<br />
<br />
Lebih Rendah<br />
Di Malang pernah heboh tatkala seorang advokat “diadili” oleh para hakim di ruang ketua pengadilan negeri setempat. Mengapa? Gara-gara ia menulis sebuah artikel di media cetak yang pada pokoknya menyatakan, perilaku oknum-oknum di pengadilan itu lebih rendah daripada pengemis. Dengan kata lain, pengemis yang pekerjaannya meminta-minta itu, masih lebih terhormat dibandingkan mereka yang bekerja di lembaga yang menjadi benteng keadilan itu. Lho koq?<br />
<br />
Advokat itu menjelaskan, andai kita memberi tip kepada seorang pengemis, Rp 20 ribu misalnya, maka kita pasti akan didoakan selamat dan banyak rejeki. Pokoknya, kita ini dianggap malaikat yang sangat murah hati. Tapi coba kalau kita memberi tip pada oknum pengadilan Rp 100 ribu, misalnya, mereka bakal nyeletuk: Lho koq cuma segini. Maksudnya, mereka itu memiliki sifat greedy (tamak, rakus, atau loba), meski mereka bekerja di lembaga yang mulia.<br />
<br />
Sebab itu mereka tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap para pencari keadilan. Tak peduli apakah para pencari keadilan itu orang berkecukupan atau orang miskin yang didlolimi kekuasaan, mereka tetap meminta uang. Karena itu, meski oknum-oknum itu pegawai berpangkat rendah, tapi mereka sudah bermobil bahkan memiliki rumah mewah. Pokoknya, hampir di semua lini dan tahapan pengurusan di pengadilan negeri itu adalah sarang mafioso kasus.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-30765165351523289092010-04-05T18:19:00.001-07:002010-04-08T08:18:53.505-07:00Advokat Menjual Diri, Adakah?Sepekan terakhir profesi advokat benar-benar babak belur. Hiruk pikuk pembongkaran mafia pengadilan, kasus Gayus Tambunan dan Hakim Tinggi PTUN Ibrahim, telah menyeret sejumlah nama advokat. Officium nobile yang memayungi profesi terhormat itu pun runtuh. Nyaris tak ada lagi penegak hukum yang terbebas dari tindak “menjual diri” alias pelacur hukum, apakah polisi, jaksa, hakim termasuk advokat.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) sudah dideklarasikan sesuai UU Advokat sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat Indonesia, memiliki tugas berat. Seperti halnya para petinggi di Kepolisian, Kejaksaan Agung, maupun Mahkamah Agung, Peradi pun harus ikut aktif membersihkan baju seragamnya yang berlepotan noda. Bahkan advokat yang memiliki wilayah tugas disemua lini dalam sistem penegakan hukum, memiliki peran utama dan terdepan.<br />
<br />
Semboyan “biarpun langit runtuh, hukum tetap harus ditegakkan” bukan hanya jargon untuk menutupi borok di wajah. Seperti kebanyakan advokat yang menyukai tampilan perlente, rumah mewah dan mobil mewah –karena disesuaikan dengan motto: officium nobile–, tapi dibalik kemewahan itu semua mereka tidak lebih terhormat dari calo-calo perkara alias makelar kasus (markus) yang selama ini sering dicemburui karena dianggap merebut periuk nasi advokat. <br />
<br />
Bukan Pelacur<br />
Salah, jika ada advokat yang mengartikan officium nobile, yang asli bahasa Latin itu, diterjemahkan menjadi “pelacur hukum”. Sebab advokat bukan pelacur hukum. Dalam UU Advokat Bab Ketiga Pasal 5 tentang Status tegas dinyatakan, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri. Sekali lagi, advokat bukan pelacur, tapi bagian dari catur wangsa penegak hukum di Republik ini di samping polisi, jaksa,dan hakim.<br />
<br />
Namun, masyarakat kita terlanjur meyakini bahwa dunia penegakan hukum kita adalah dunia mafia hukum. Lahirnya pengartian singkatan KUHP menjadi Kasih Uang Habis Perkara, sebenarnya merupakan ejekan yang merendahkan martabat lembaga hukum negeri ini. Namun, para penegak hukum, kala diundang berceramah di forum-forum akademik maupun non-akademik, tak jarang mengutip pemaknaan KUHP itu dengan raut wajah cengengesan tanpa merasa tersinggung. Aneh?<br />
Padahal kalau dilihat dari sejarah panjang profesi advokat di Indonesia –sebelum diakui sebagai penegak hukum– sangat memprihatikan. Para advokat (dengan izin Menteri Kehakiman) maupun pengacara praktik (memiliki izin dari Ketua Pengadilan Tinggi), di mata penegak hukum lain dipandang tidak lebih dari calo perkara. Pokrol bambu! Yang kiprahnya dalam sistem penegakan hukum hanyalah kepanjangan tangan –sebab dianggap memiliki akses dengan polisi, jaksa atau hakim– oleh orang-orang yang memiliki problema hukum.<br />
<br />
Kemandirian advokat/pengacara praktik kala itu, selalu dibayangi-bayangi ketakutan pencabutan izin praktik, khususnya di hadapan hakim. Sedangkan di hadapan polisi dan jaksa, advokat/pengacara praktik adalah oknum yang bisa dimanfaatkan layaknya mesin uang (baca: ATM) untuk menangguk rupiah. Kalaupun ada stetemen-statemen “panas” dari advokat/pengacara praktik di berbagai media massa, maka hal itu hanyalah ludrukan semata.<br />
<br />
Peradi Cab. Malang<br />
Peradi Cabang Malang telah menyelenggarakan Musyawarah Cabang I dan berhasil menyusun kepengurusan lengkap pertama. Tentu banyak pihak berharap lembaga milik advokat ini, senyampang dengan maraknya gerakan “bersih-bersih” terhadap perilaku mafia hukum, melakukan upaya-upaya pro-aktif yang mem-back up gerakan tersebut. Paling tidak, pada masing-masing personal advokat anggota Peradi Cabang Malang, menegaskan komitmennya bahwa mereka adalah bagian dari penegak hukum yang menyandang profesi terhormat.<br />
<br />
Terseret godaan materi dan kemewahan dunia, itu kodrati dan manusiawi. Asalkan godaan itu tidak menjadi kausa pertama bagi seorang advokat untuk bertindak layaknya pelacur. Yang menjajakan ketentuan hukum dan pasal-pasal dalam undang-undang sebagai komoditas dagang. Sebab itu Peradi mesti menjadi pioner yang mengawal pintu penegakan hukum di garda depan, dibandingkan penegak hukum lain. Peradi harus mengambil peran utama dan pertama dalam gerakan pemberantasan mafia hukum yang semakin mencengkeram Republik ini.<br />
<br />
Penulis yakin, setiap sosok advokat di negeri ini menyadari bahwa lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Peradi dapat menjadi bumerang bagi eksistensi advokat. Bila hal itu terjadi, pada saat bersamaan akan tumbuh kepercayaan masyarakat kepada advokat asing –karena dianggap lebih kredibel sekaligus mumpuni– yang kini mulai merambah dan beroperasi di Indonesia. Serbuan advokat asing tentu saja tidak sekadar merebut periuk nasi advokat Indonesia, tapi juga dapat merusak sistem hukum dan tatanan penegakan hukum di Indonesia. Bravo Peradi Cabang Malang!HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-79814377471146976492010-02-06T01:34:00.001-08:002010-04-08T07:53:12.277-07:00Pertaruhan Pansus Century dan Kerbau si BuyaPansus skandal Bank Century benar-benar ajang promosi bagi bank yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara itu. Bila rekomendasi pansus ternyata tidak dapat ditindaklanjuti –karena tidak adanya indikasi penyimpangan yang bersifat pidana/tipikor– bank itu bakal memiliki brand yang kuat di benak konsumen. Sebuah pertaruhan antara pengambil kebijakan (baca: pemerintah) dengan pansus DPR yang bakal ditentukan pada 4 Maret mendatang.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Apalagi, bila akibat “ulah” pansus yang menurut banyak kalangan sangat berprasangka itu nantinya gagal– pemerintah maupun Bank Indonesia tentu bakal habis-habisan membela bank tersebut. Sekadar menunjukkan kepada publik bahwa kebijakan yang bernilai trilyunan rupiah itu merupakan tindakan yang tepat. Setidaknya dalam masa kepemimpinan kedua Presiden SBY, akan ada upaya-upaya sistematis agar Bank Century yang semula dinyatakan sebagai bank gagal, setelah menjadi Bank Mutiara betul-betul berkilau bak mutiara.<br />
<br />
Namun, jika ternyata rekomendasi pansus dapat ditindaklanjuti, misalnya KPK dapat menetapkan tersangka, Bank Mutiara mungkin terkena imbas aura negatifnya. Nasabahnya bakal menarik dananya, sedangkan bagi calon nasabah ketakutan untuk menempatkan uangnya. Sudah tentu, berangsur tapi pasti, bank itu pun bakal terpuruk dan tetap memenuhi takdirnya, sebagai bank gagal. <br />
<br />
Merunut perjalanan panjang pansus Bank Century, agaknya warga bangsa ini tidak dapat berharap banyak. Pertarungan kepentingan politik lebih mendominasi nuansa pemeriksaan daripada upaya-upaya membongkar penyimpangan pencairan bailout itu sendiri. Bahkan perdebatan-perdebatan yang tidak fokus dan tidak perlu lebih sering mendominasi jalannya persidangan, untuk sekadar menampilkan wajah garang atau mendongkrak citra partai.<br />
<br />
Tak Simpatik<br />
Sulit mencari pemahaman, apa yang menjadi latar belakang beberapa aktivis yang meneriakan kata: maling, tatkala pansus tengah memeriksa mantan Gubernur BI yang kini Wapres Budiono. Demikian juga ketika Menkeu Sri Muljani memberikan keterangan di depan para wakil rakyat atau saat dialog via radio swasta bersama pengamat ekonomi Faisal Basri. Siapa yang tidak dihormati kala itu, pejabat yang tengah diperiksakah? Ataukah, kredibilitas sidang pansus itu sendiri?<br />
<br />
Andai ejekan itu ditujukan kepada pejabat yang tengah diperiksa, tentu hal itu menunjukkan ketidakdewasaan sekaligus ketidaksiapan dalam berdemokrasi. Dan, jika umpatan itu diarahkan terhadap proses sidang pansus, semakin menunjukkan betapa primitifnya bangsa ini tentang pemahaman nilai-nilai ketatanegaraan modern yang baik. Nilai-nilai demokrasi yang mereka usung sekaligus menjadi tameng bagi gerakan aksi unjuk rasa, ternyata baru dipahami pada tataran kulit luar.<br />
<br />
Mereka berperilaku lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa atau aktivis baik pada era 70-an (dalam peristiwa Malari) maupun saat fase penjatuhan rezim Soeharto 1989. Meski kala itu mereka “keras” bahkan cenderung bertindak anarkhi, namun mereka bersikap hormat ketika sistem sudah bekerja. Sudah sepantasnya, bagi setiap warga negara –untuk tak menyebut para aktivis– yang merasa membawa moral force bagi terciptanya Indonesia sebagai negara bebas korupsi, menjunjung tinggi HAM serta berkeadilan, memiliki sikap dewasa serta berpikir waras.<br />
<br />
Di tengah upaya keras pansus Bank Century, segenap warga bangsa ini sangat pantas bila memberikan support dengan menunjukkan sikap-sikap demokratis dan kedewasaan. Melalui kelompok-kelompok profesi, lembaga-lembaga ekstrakurikuler di kampus-kampus, secara bergiliran dan teratur mengikuti jalannya pemeriksaan. Selanjutnya, melalui lembaga masing-masing, baik via media massa maupun dalam forum-forum diskusi internal maupun eksternal, setiap tahapan hasil pemeriksaan pansus dibahas, dicermati, serta diperbaiki bila memungkinkan.<br />
<br />
Kerbau si Buya<br />
Aktivitas terakhir yang sempat membuat sikap pro dan kontra, adalah unjuk rasa yang membawa-bawa kerbau di mana pada bagian tubuhnya bercat nama si Buya, dengan penembalan huruf SBY. Di bagian bokong binatang pembajak sawah itu ditempeli foto Presiden. Seolah dalam aksi itu ingin memberi pesan, bahwa Presiden Republik ini layaknya seekor kerbau yang lambat dalam bersikap serta bodoh.<br />
<br />
Sebelumnya, kecaman terhadap Presiden sempat pula menyentakkan kita, ketika Fadjroel Rachman, mengatakan, SBY paranoid. Yakni, terjangkiti penyakit jiwa –untuk tak mengatakan SBY gila– yakni mengalami ketakutan-ketakutan luar biasa terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Baik unjuk rasa dengan model kerbau atau statemen paranoid, merupakan ekspresi yang baru muncul pada era reformasi. Buah dari pilihan kita bersama memilih sistem ketatanegaraan sebagai negara demokrasi. Berarti tidak boleh ada sakit hati, apalagi penyesalan.<br />
Yang patut menjadi catatan, sejak lama penduduk di wilayah kepulauan ini dikenal orang (baca: wisatawan mancanegara) sebagai bangsa yang memiliki sikap sopan-satun yang tinggi. Andai kita tidak sepakat dengan budaya feodal dalam sistem pemerintahan masa lalu, kemudian menggantinya dengan budaya demokrasi, tentu seharusnya penggantian itu tak menghilangan ciri khas kita, yakni sopan dalam bertindak serta santun dalam bertutur kata.<br />
<br />
Meski ajaran demokrasi berasal dari dunia Barat, ketika kita menyatakan sepakat dan kemudian mengadopsinya, tidak serta merta kita contoh pula tata budaya Barat yang serba bebas. Indonesia bukan bagian dari negara Barat, dan Indonesia tidak perlu menjadi ala Barat untuk menjadi bangsa besar. Sebagai negara agamis –meski bukan negara agama–, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, tentu penduduknya terdiri dari warga negara yang konsisten terhadap norma-norma ketuhanan.<br />
<br />
Kita semua meyakini, tidak ada seorang manusia pun yang terbebas dari kesalahan. Termasuk Presiden SBY beserta jajarannya, yang terdiri dari manusia-manusia juga. Dan, setiap kesalahan harus diluruskan sesuai koridor hukum yang berlaku. Hukum pun harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Pansus Bank Century harus di-support sepenuhnya, agar tidak menjadi pasar “dagang sapi” para politisi busuk di parlemen, yang di-back up partai-partai sakit hati karena kalah perang dalam pemilu lalu. Intinya warga bangsa ini harus independen dari berbagai kepentingan elit.<br />
<br />
Sekalian pula kalangan aktivis yang memiliki memiliki moral dan rasa tanggung jawab atas keberlangsungan negara ini, diharapkan tidak larut dalam emosi-emosi kemarahan membabi buta. Yang kemudian tanpa sadar, mereka dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat. Kami sebagai bagian dari rakyat negeri ini, terus terang masih menggantungkan harapan pada mereka. Dan tentu saja, menjadi tak pantas bila kalangan aktivis yang memanggul amanat warga negara ini bertindak yang tidak pantas, tidak simpatik, serta keluar dari tatanan budaya bangsa. ***HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-15108515694520897032010-01-23T17:29:00.001-08:002010-04-08T07:53:47.159-07:00Cybercrime, Bobol Rp 0,5 Trilyun # 2Untuk dapat dinyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka harus terlebih dahulu dipenuhi unsur sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, suatu tindakan manusia dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum bilamana perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik/perbuatan pidana, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan pidana. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tentang pengertian “perbuatan melawan hukum” ini, pendapat Mahkamah Agung R.I dapat dilihat dari Yurisprudensi Tetap MARI No. 30 K/Kr/1969, tanggal 6 Juni 1970, bahwa dalam setiap tindak pidana selalu ada “sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan. Dan, menurut Yurisprudensi Tetap MARI No. 42 K/Kr/1965, tanggal 8 Juni 1966, bahwa pada asasnya dapat dibenarkan sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai “perbuatan melawan hukum” berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.<br />
<br />
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan unsur sifat “perbuatan melawan hukum” adalah suatu perbuatan dari petindak sebagai pelaku langsung (manus ministra), yang telah dinyatakan melanggar ketentuan hukum, meliputi:<br />
a. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.<br />
b. Ketentuan berupa asas-asas hukum tidak tertulis.<br />
c. Ketentuan berupa asas-asas hukum yang bersifat hukum publik/umum <br />
<br />
Namun suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia sampai saat ini sudah tidak memadai lagi dalam menanggapi kejahatan siber. Di samping itu pula, perundang-undangan pidana yang berlaku tidak mencakup pengertian-pengertian atau dapat ditafsirkan ke arah pengertian-pengertian kejahatan siber. Di sisi lain, hakim sebagai pejabat yang bertugas mengaktualisasikan ketentuan perundang-undangan ke dalam praktika hukum, ternyata tidak cukup berani melakukan pembaruan hukum berdasarkan kewenangan, seperti rechtsvinding, yakni menemukan hukum melalui putusan-putusannya.<br />
<br />
Dengan telah diundangkannya UU ITE, sebenarnya secara tak langsung Republik ini telah memproklamasikan diri sebagai negara yang siap terhadap kejahatan siber. Jangan sampai undang-undang itu hanya menjadi momok bagi masyarakat kecil seperti kasus Prita Mulyasari. Termasuk kalangan pers modern seperti saat ini, yang kehidupannya sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi yang melibatkan perangkat ITE.<br />
<br />
Putusan Kejahatan Siber<br />
Berikut beberapa kejahatan siber yang pernah diputus oleh pengadilan di Indonesia, dikutip dari Makalah Seminar Hukum tentang E-Commerce dan Mekanisme Penyelesaian Melalui Arbitrase/Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, 3 Oktober 2000, yaitu antara lain:<br />
1. Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/Pid/1984, tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan pidana ini merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI Cabang Brigjen Katamsi Yogyakarta, dari 15 September – 12 Desember 1982. Perbuatan dilakukan sebanyak 44 kali, hingga mencapai jumlah Rp 815 juta. Caranya, mentransfer uang melalui kliring, di mana warkat kliringnya dibebankan pada rekening orang lain (bukan ke rekening yang tertulis pada warkat kliring) dengan cara membukukan melalui komputer tanpa kartu.<br />
2. Pembobolan BNI New York atau Mantrust New York, yang dilakukan oleh mantan pegawai bank bersangkutan. Caranya, dengan bekerja sama dengan orang lain yang bersangkutan mengoperasikan komputer dari sebuah hotel dan mentransfer ke rekening lain dengan menggunakan USER ID dan password enter, yang memerintahkan City Bank New York untuk mentransfer dana atas beban rekening BNI kepada BNI di Mantrust. Kasus ini menyebabkan kerugian di BNI sebesar US 9,100.000 dollar. Dalam perkara ini penggunaan landasan 363 KUHPidana maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan. (Lebih jelasnya, baca buku Andi Hamzah, S.H. DR. berjudul Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 1992.)<br />
3. Kasus mutasi kredit fiktif melalui Bank Dagang Negara (BDN) Cabang Jakarta Bintari Jaya, yang dilakukan oleh pelaku dengan cara mempersiapkan beberapa rekening untuk menampung mutasi tanpa nota (fiktif), baik dengan cara menggunakan rekening milik orang lain maupun menghidupkan rekening yang tidak aktif. Setelah rekening-rekening tersebut tersedia, kemudian pelaku melakukan penyetoran fiktif ke rekening-rekening itu hingga mencapai Rp 1.525.132.300. Dari rekening-rekening itu pula kemudian pelaku mentrasfer ke dalam beberapa rekening yang dipersiapkan lebih dulu di bank-bank lain. Pelaku dalam dalam ini dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana pencurian.<br />
4. Kasus di Bank Danamon. Pelakunya, orang dalam bank tersebut, dan dijatuhi hukuman karena terbukti melakukan pemalsuan, sebagaimana dimaksud Pasal 264 ayat 2 KUHPidana. Tindak kejahatan itu dilakukan dengan cara, pelaku terlebih dulu membuka rekening di Bank Danamon Cabang Utama dengan nama dan alamat palsu. Sebagai orang dalam pelaku mempelajari bagaimana melakukan akses. Setelah paham, melalui komputer di ruang kerjanya, pelaku menggunakan USER ID dan password tertentu untuk memindahkan uang dari kantor pusat, dan dikreditkan pada rekening miliknya. Kerugian mencapai Rp 372.100.000.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-38924801581568288682010-01-22T18:07:00.001-08:002010-04-08T07:54:09.206-07:00Cybercrime, Bobol Rp 0,5 Trilyun # 1Indonesia terguncang. Enam bank –milik pemerintah dan swasta– melapor ke Bareskrim Mabes Polri, setelah puluhan nasabahnya merasa kebobolan. Tingkat kerugiannya tak tanggung-tanggung, sekitar setengah trilyun rupiah. Terutama nasabah yang berada maupun baru melakukan transaksi di pulau wisata Bali. Kontan, bak terjadi bom Bali jilid 3, kepolisian daerah setempat dibantu dari pusat segera melakukan pelacakan serta memanggil beberapa saksi untuk dimintai keterangan.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Peristiwa itu merupakan persoalan hukum baru, seolah ingin menguji keampuhan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang relatif baru diundangkan. Sayangnya pihak kepolisian terlalu menyederhanakan persoalan, bahwa kejahatan tersebut hanya dilakukan melalui alat yang disebut Skimmer untuk melakukan kloning kartu ATM dan pencurian nomor PIN via CCTV. Padahal kejahatan siber, dapat dilakukan melalui berbagai cara, dan sudah banyak dilakukan oleh kalangan hacker nakal diberbagai belahan dunia.<br />
<br />
Untuk mempercepat bahasan, dalam tulisan ini Penulis merasa tidak perlu lagi membahas tentang pengertian kejahatan siber. Sebab mengutip pendapat pakar hukum pidana J.E. Sahetapy, jalan paling aman untuk mengkaji permasalahan kejahatan dapat ditempuh dengan menghindari diskusi tentang berbagai teori yang masing-masing mempunyai pangkal tolak atau outlook-nya serta asumsi yang implikatif sendiri-sendiri.<br />
<br />
Pada dasarnya kejahatan siber dalam dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Mengacu pada putusan Hoge Raad, 31 Januari 1919, perbuatan melawan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan menusia yang dapat dianggap:<br />
a. Melanggar hak orang lain, atau; <br />
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau; <br />
c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau;<br />
d. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain;<br />
<br />
Sedangkan menurut Rachmat Setiawan, S.H., dalam bukunya berjudul Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum menyatakan, perbuatan melawan hukum adalah tindakan melanggar hak subyektif orang lain, yang menurut Yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik, kehormatan, serta hak-hak atas harta kekayaan. <br />
<br />
Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hak orang lain bilamana perbuatan itu telah menyebabkan terluka bahkan kematian atas diri orang lain yang menjadi korban. Atau, perbuatan tersebut menyebabkan kerugian atas harta benda orang lain, baik hilang maupun menjadi rusak bahkan musnah, hingga tidak dapat digunakan lagi. Demikian pula perbuatan seperti membuat orang lain tidak aman, atau orang lain merasa namanya sendiri, namanya orang tua, bahkan namanya orang yang ditokohkannya dianggap atau dapat dianggap tercemar, adalah termasuk perbuatan melawan hukum. <br />
<br />
Suatu perbuatan juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, karena perbuatan yang dilakukan oleh si petindak bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Contohnya, tindakan seorang pegawai bank yang membiarkan nasabahnya melakukan tindakan-tindakan, hingga menyebabkan kerugian orang lain. Sedangkan perbuatan lain yang dapat dihukum, oleh sebab perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan maupun nilai kepatutan yang baik, antara lain seperti pelecehan seksual, termasuk pula penyebarluasan gambar-gambar porno.<br />
<br />
Kejahatan Siber<br />
Dalam kejahatan siber, seorang hacker dapat melakukan segala perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dipaparkan di atas melalui media komputer. Dengan kemampuannya seorang hacker dapat melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa seizin atau dengan cara melawan hukum menembus sistem keamanan pemrograman komputer, yang dalam masyarakat “dunia maya” dikenal dengan sebutan hacking. Dalam aktivitas hacking ini di Amerika Serikat dikenal adanya 2 (dua) macam kelompok atau golongan, yakni white hat hackesr (hacker topi putih) yang tidak melakukan kejahatan. Dan, black hat hackers (hacker topi hitam), yang suka melakukan kejahatan, yang kemudian dikenal dengan sebutan cracker atau bogus hacker.<br />
<br />
Ternyata, akibat dari tindakan hacking ini, telah merugikan orang lain. Oleh karena kejahatan siber, antara lain dapat menghilangkan harta kekayaan atau benda orang lain, rusaknya barang, atau tidak dapat bekerjanya suatu sistem pemrograman komputer. Di bawah ini dipaparkan beberapa kejahatan siber yang pernah terjadi di Indonesia –yang dikutip dari buku berjudul Cybercrime, Penulis Agus Raharjo (2002)-, sebagai berikut :<br />
1. Pada tahun 1997, ketika masalah Timor-Timur memanas, situs milik Departemen Luar Negeri dan ABRI dijebol oleh cracker Porto (Portugis) yang pro kemerdekaan. Desain beranda atau frontpage kedua situs tersebut diganti semua. Dalam aksi yang disebut Timor Campaign dengan kata-kata anti integrasi dan anti ABRI. Dan, pada tahun yang sama, situs milik LIPI, Universitas Airlangga, dan milik harian Media Indonesia juga kena imbas cracker Porto tersebut. Aksi itu pada 1999 mendapatkan serangan balasan dan dihancurkan secara serempak dari seluruh penjuru dunia. Akibat, Toxin, pangkalan Timor Timur di internet milik kelompok antiintegrasi porak-poranda. Yang menghebohkan dalam serangan balik itu, Connect Ireland, salah satu perusahaan server di Irlandia sebagai penyedia server untuk situs yang berada di bawah East Timorese Project, juga mengalami kerusakan.<br />
2. Pada pertengahan 1988, situs milik Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LDII-LIPI) di-hack oleh orang tidak dikenal. Halaman depan atau frontpage diganti dengan gambar wanita telanjang.<br />
3. Pada tahun 1998, setelah kerusuhan Mei, cracker yang diduga berasal dari Cina yang menyebut dirinya Discover, menghantam situs milik BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Indonesia).<br />
4. Pada Juni 1999, cracker lokal menyerang homepage milik Polri, dengan mengganti gambar wanita telanjang. Gambar itu kemudian diganti lagi dengan gambar yang mirip dengan logo atau gambar PDI-P.<br />
5. Pada Januari 2000. beberapa situs di Indonesia, seperti Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bank Central Asia, dan Indosatnet, diserang oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan Naisenodni.<br />
6. Pada 11 Januari 2000, Penerbit Mizan diserang oleh cracker yang menamakan dirinya sebagai Hotmilk@www.com. Akibat serangan itu setiap orang membuka situs Mizan tidak mendapatkan tampilan yang seharusnya, tapi akan menjumpai pesan yang disampaikan cracker dalam bahasa Inggris.<br />
7. Pada September dan Oktober 2000, seorang cracker yang berjuluk Fabian Clone berhasil menjebol situs milik Bank Bali, setelah sebelumnya membobol situs milik Bank Lippo.<br />
8. Pada pertengahan Januari 2001, situs milik PT. Ajinomoto Indonesia diserang cracker, sebagai reaksi atas penggunaan enzim porcine yang digunakan sebagai katalis dalam proses pembuatan monosodium glutamate yang mengandung lemak babi. Akibat ulah cracker itu, ketika situs PT. Ajinomoto dibuka yang muncul adalah gambar seekor babi yang tengah tersenyum, dengan pesan menggunakan huruf Jawa tapi berbunyi “Ajinomoto You Lied ti Us”. Cracker mengaku bernama boyon dengan alamat e-mail boyon@crackermail.com.<br />
9. Pada April 2001, situs milik Departemen Agama dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dirusak cracker, serta file-file penting dan log filenya dihapus, sehingga administrator sistemnya tidak bisa mendeteksi siapa yang melakukannya karena tidak meninggalkan jejak.<br />
10. Pada 8 Mei 2001, situs resmi Polri sekali lagi dibobol oleh cracker yang menamakan dirinya dari Kesatuan Aksi cracker Muslimin Indonesia, yang merupakan reaksi atas ditangkapnya pimpinan dari Pasukan Komando Jihad.<br />
11. Pada 25 Mei 2001, situs Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang dikelola LIPI juga di- hack seseorang yang mengakibatkan layanan situs RUT macet total untuk beberapa saat karena data-data yang tersedia di situs beserta log file dan aplikasinya dihapus.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-1916712122343235672009-12-28T14:30:00.001-08:002010-04-08T07:54:49.859-07:00John Locke Dalam “Membongkar Gurita Cikeas”Kita semua prihatin, ketika buku “Membongkar Gurita Cikeas” dicekal Kejaksaan Agung. Sebenarnya karya George J. Aditjondro itu dapat disetarakan dengan produk jurnalistik. Kita tahu keberadaan pers di tengah kehidupan sosial memiliki posisi strategis. Sebab kedudukan pers selain memiliki peran dalam memberikan informasi kepada masyrakat juga merupakan sarana komunikasi yang ampuh untuk membentuk opini publik. Karena itu kiprah pers dalam suatu sistem kemasyarakatan yang demoklratis seringkali tampil sebagai pahlawan, menyuarakan sekaligus menuntut ditegakkannya nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia (HAM).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kebebasan pers yang dikembangkan di negara-negara Barat berdasarkan falsafah John Locke, berpendapat bahwa kebenaran bisa terungkap hanya melalui pertarungan pendapat yang berlawanan dan diutarakan secara bebas. Tidak ada individu atau kelompok yang memegang monopoli atas kebenaran dan terbebas dari kesalahan. Sebab itu pula, pers harus diberi kebebasan untuk memberitakan apa pun yang terjadi, tanpa perlu memberikan persyaratan yang harus dilakukan sebelum “berbicara”.<br />
<br />
Tidak perlu pula mempersoalkan apakah yang tengah “dibicarakan” itu adalah informasi yang bertanggung jawab dan jujur. Masyarakat, sebagai komunikan, dianggap dapat menentukan sendiri tentang apa yang disebut dengan informasi yang “bertanggungjawab dan jujur”. Berdasarkan pemikiran itulah, dalam menyoroti buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas”, sang penulis telah menilai masyarakat Indonesia cukup dewasa dalam dinamisasi politik bangsa. Warga bangsa ini tidak perlu lagi didikte untuk menilai tentang “kebenaran” atau “ketidakbenaran” informasi.<br />
<br />
Maka, andai karya tulis tersebut kemudian diklasifikasikan juga sebagai produk jurnalistik, sesuai UU Pers, kemerdekaan (baca: kebebasan) mengekspresikan sumber berita/data dalam buku dimaksud haruslah dianggap sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat, berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dan, sesuai Pasal 5 UU Pers itu pula, dalam memberitakan peristiwa dan opini, si penulis wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Termasuk di dalamnya keberanian penulisnya melakukan klarifikasi serta melakukan koreksi, bila tentang apa yang ditulisnya itu ternyata salah.<br />
<br />
Bahasa Caci Maki dan Prasangka<br />
Semakin maraknya bahasa caci maki, sumpah serapah, amarah, dan prasangka pada awal pemerintahan periode kedua Presiden SBY saat ini, sebenarnya bukan hal yang baru terjadi. Harian Kompas dalam tajuk rencananya pada 15 Desember 2000, telah mengulas perilaku seperti itu kala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Presiden. Ulasan tersebut merupakan catatan atas pernyataan presiden, ketika menyambut HUT ke-63 Kantor Berita Antara, bahwa situasi krisis moral dan kepemimpinan saat ini (baca: saat itu) ditandai dengan berubahnya ajang dialog menjadi kancah caci maki satu sama lain dan prasangka buruk menjadi ukuran kehidupan.<br />
<br />
Harian nasional itu mengemukakan, terlepas dari kebenarannya, segera muncul isu KKN baru. Isu perlakuan diskriminatif terhadap pengusaha besar yang bermasalah. Alasan dan pertimbangan rasional dikemukakan dan sebutlah, masuk akal. Akan tetapi baru sebatas isu pun, hal itu tampak sudah mengguncangkan harapan masyarakat. Berkepanjangan sampai sekarang inilah keadaannya. Bagaimana ke luar dari suasana “prasangkan buruk yang menjadi ukuran kehidupan itu?” Ini tugas kita bersama, terutama tentu saja tugas pemimpin dan para pemimpin.<br />
<br />
Faktor-faktor yang menyebabkannya beragam. Faktor-faktor beragam itu amat cepat, menyebabkan komunikasi antara pemerintah dan pemimpin dengan masyarakat luas tidak berjalan lancar. Jangankan dengan masyarakat luas, komunikasi di antara sesama pemimpin dan elite politik pun terhambat, tersendat, dan melahirkan gaya bahasa caci maki, sumpah serapah, dan amarah. Menurut kenyataannya, itulah yang memang terjadi. Harus secara jujur dan secara rendah hati dicari sebab-sebab dan faktor-faktor itu, jika kita menginginkan perbaikan.<br />
<br />
Yang lebih dulu ada ialah fenomena, dan itu menyusul kekecewaan dan kemasygulan. Subur prasangka buruk. Karena sama-sama cuek, perasaan dan pikiran diungkapkan dengan bahasa caci maki, sumpah serapah, amarah. Elite politik dan lingkungannya melampiaskan kekecewaan dengan bahasa politik dan bahasa komunikasi kasar, serta prasangka. Masyarakat luas lain lagi cara mereka menyatakan kekecewaan dan amarah. Ditempuhnya jalan perusakan, main hakim sendiri, ambil tindakan sendiri. Sikap dan tindakan emosional massa ada yang spontan, ada pula yang mengail di air keruh, bahkan merekayasa. <br />
Demi Siapa atau Demi Apa <br />
Pangab/Pangkopkamtib (kala itu) Beny Moerdani, menjawab pertanyaan pers usai berbicara sebagai salah satu nara sumber pada HUT ke-15 Mingguan Berita Tempo di Hotel Sahid Jakarta, berkisah tentang Panglima Pasukan Sekutu, Dwight Eisenhower. Ketika akan mulai penyerangan, panglima itu menjelaskan tentang rencana penyerangan terhadap Nazi Jerman tersebut kepada sekitar 200 jurnalis yang menyertainya. <br />
<br />
Usai menerangkan, ia pun menyatakan kepada para kuli tinta itu, terserah mereka mau menuliskan rahasia penyerangannya atau tidak. Yang pasti, katanya menambahkan, pasukan yang terlibat dalam penyerangan itu tidak kurang dari 500.000 tentara. Jiwa para tentara itu sepenuhnya tergantung pada keputusan para wartawan. Semua wartawan sepakat untuk tidak mempublikasikannya, dan proses pendaratan tentara sekutu dimaksud berjalan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan. <br />
<br />
Dalam episode di atas, jelas sekali pihak pemerintah tidak membatasi kebebasan pers untuk mengekspresikan hak-haknya. Namun, moral wartawan kala itu mengambil sikap untuk tidak menggunakan hak kebebasannya, sebab menurut pertimbangannya mengekspos fakta peristiwa itu sama artinya dengan mengorbankan jiwa para tentara yang telah rela mengabdikan diri bersama jiwa dan raganya. Maka, tindakan selfprotective demi kepentingan negara-negara sekutu dalam perang melawan Nazi Jerman kala itu, menjadi prioritas utama. <br />
<br />
Wartawan seperti itu sudah memahami betul demi siapa dan demi apa, mereka menulis atau tidak menuliskan fakta peristiwa. Kalau sekadar demi keuntungan semata, publikasi mengenai rencana dan strategi penyerangan tentu memiliki bobot nilai berita yang tinggi. Tapi mereka tidak mengambil peluang itu. Bagaimana dengan para pemimpin, para pakar, para mahasiswa, serta pers Indonesia? Apakah perubahan dari ajang dialog menjadi kancah caci maki satu sama lain, dan prasangka buruk yang menjadi ukuran kehidupan saat ini telah memiliki landasan berpikir “demi siapa dan demi apa” semua itu dilakukan? Kalau semata demi perut (baca: kekuasaan) atau sekadar mencari popularitas, sekaligus mendapatkan royalti besar, lalu apa perbedaan mereka?HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-18029768815517184902009-12-27T15:25:00.001-08:002010-04-08T07:55:46.137-07:00Membongkar Gurita Cikeas = Kebenaran IlusiveDalam ilmu komunikasi tentang apa yang terpapar dalam buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, karya George J. Aditjondro, memiliki nilai kebenaran elusive. Yakni, materi berita yang masih sukar dipegang kebenarannya. Sebab sebagai wujud hasil sebuah penerbitan, buku tersebut baru memberitakan –dalam ilmu hukum disebut– testimonium de auditu, kesaksian yang diperoleh dari “katanya” orang.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tentu saja muatan karya tulis yang demikian masih mengandung kesalahan-kesalahan. Sebagai penulis, sosiolog yang aktivis LSM ini pasti menyadari adanya kekurangan tersebut. Namun, dalam suatu proses dialogis, kesalahan atau kekurangan itu merupakan kondisi wajar. Sebab jika hanya kebenaran absolut yang boleh ditulis, maka tidak akan pernah ada buku yang diterbitkan, kecuali kitab suci. <br />
<br />
Karya pria kelahiran 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah, tidak boleh ditanggapi emosional. Tapi boleh ditanggapi secara cerdas, seperti yang bakal dilakukan pihak Cikeas, menerbitkan buku putih tentang hal itu. Pasca rezim Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, juga pernah terbit buku putih berjudul Menegakkan Kebenaran. Buku ini berkisah mengenai kesaksian F-PKB tentang Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunai. Dua skandal keuangan yang menyebabkan cucu pendiri ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) itu terjungkal dari kursi kepresidenan. <br />
<br />
Buku merupakan salah satu dari sekian bentuk proses komunikasi massa. Dr. Phil. Astrid S. Susanto mengutip pendapat Edward Sapir dari bukunya William L. Rivers dan Theodore Peterson berjudul Mass Media an Society mengatakan, pada prinsipnya proses komunikasi dapat dibedakan antara primary process yang meliputi 4 (empat) proses, yakni bahasa, aba-aba, imitasi tindakan luar orang lain, dan sugesti sosial. <br />
<br />
Kemudian, secondary process, yakni proses komunikasi yang menggunakan peralatan (instrumen) untuk melancarkan dan menyebarkan berita, dengan tujuan-tujuan antara lain:<br />
1) Mencapai masyarakat yang lebih luas, artinya mencapai komunikan yang lebih luas daripada yang dimungkinkan oleh kegiatan komunikasi antar-pribadi;<br />
2) Memungkinkan imitasi oleh lebih banyak orang (secara tidak langsung), karena jumlah komunikan lebih luas daripada dalam primary process;<br />
3) Mengatasi batas-batas komunikasi yang dapat diadakan oleh adanya batas ruang (geografis) dan batas waktu. <br />
<br />
Mengandung Delik?<br />
Ketentuan perundang-undangan pidana dalam KUHPidana Indonesia mengatur beberapa kejahatan yang berhubungan dengan produk cetakan/penerbitan. Pembuat atau petindak dapat dipidana, bila melalui surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran/ leaflet, terbukti melakukan:<br />
1. Menyebarkan kebencian (Pasal 154 s/d163 yuncto Pasal 207, 208, dan 483, 484, serta 485 KUHPidana), karena dianggap telah menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia. Termasuk pula menciptakan kebencian antar-golongan masyarakat serta penodaan salah satu agama yang dianut di Indonesia. <br />
<br />
Aturan ini menurut sejarahnya berasal dari British Indian Penal Code, oleh Pemerintah Hindia Belanda diadopsi ke dalam KUHPidana dengan tujuan meredam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sifat delik ini semula termasuk delik materiil. Maksudnya untuk membuktikan pelanggaran tersebut, harus terlebih dulu dibuktikan secara faktual-materiil telah terjadi perasaan permusuhan sebagai akibat perbuatan pidana itu. Namun, Pemerintah penjajah Belanda mengubahnya menjadi delik formil, artinya setiap perbuatan yang dianggap “dapat” menimbulkan permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah yang sah, tindak pidana dianggap telah selesai dilakukan. Penegak hukum tidak perlu membuktikan, apakah benar dalam diri masyarakat telah timbul rasa permusuhan dan kebencian dimaksud. <br />
<br />
2. Melakukan tindak pidana penghinaan, yang di dalam KUHPidana dibagi menjadi 6 (enam) macam pengertian, yakni menista (smaad), menista dengan surat (smaadschrift), memfitnah (laster), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), mengadu secara memfitnah (lasterlijk aanklacht), dan tuduhan secara menfitnah (lasterlijk verdachtmaking), sebagaimana diatur dalam Pasal 137, 144, 310 s/d 312 KUHPidana.<br />
Keterbuktian atas pidana ini cukup dengan melakukan perbuatan yang dapat mempermalukan seseroang, tidak perlu harus dilakukan di muka umum. Menurut hukum dapat dianggap cukup seseorang terbukti melakukan tindak pidana tersebut bila dapat dibuktikan bahwa si pelaku ada maksud menyiarkan tuduhannya itu.<br />
<br />
3. Melakukan tindak pidana penghasutan, sesuai Pasal 160 s/d 163 KUHPidana, adalah perbuatan mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu yang sifatnya melawan kekuasaan umum. Dalam delik ini penghasutan memiliki perbedaan antara perbuatan yang dilakukan secara lisan dengan yang dilakukan melalui tulisan.<br />
<br />
Dalam tindak pidana ini tidak ada perbuatan percobaan, sebab ketika ucapan yang bersifat menghasut itu telah terucapkan, delik tersebut dianggap telah dilakukan. Sedangkan penghasutan melalui tulisan baru dianggap terjadi bilamana tulisan tersebut telah dibuat dan disebarkan atau dipertontonkan ke publik. Dengan demikian, tindakan menulis saja, belum termasuk melakukan percobaan penghasutan, kecuali jika tulisan itu selesai dibuat namun gagal atau digagalkan karena faktor di luar diri pelaku, yang bersangkutan telah melakukan percobaan tindak pidana penghasutan yang dapat dihukum.<br />
<br />
4. Membuat atau menyiarkan berita bohong, juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Yang dimaksudkan dalam pidana ini adalah membuat/menyiarkan informasi yang tidak benar atau tidak pernah terjadi. Namun untuk membuktikan bahwa informasi tersebut adalah informasi bohong-bohongan, membutuhkan pembuktian yang kuat. Sebab menilai suatu informasi adalah informasi yang bohong, tidak sama dengan penulisan yang sumber informasinya salah, datanya tidak akurat, atau adanya kesalahan kutip yang menimbulkan ragam tafsir/persepsi. Maknanya, bila yang terjadi seperti apa yang disebut terakhir, maka kesalahan demikian tidak secara langsung dapat divonis terbukti telah melakukan tindak pidana membuat atau menyiarkan informasi bohong.<br />
<br />
Lalu, apakah buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, karya George J. Aditjondro, dapat diklasifikasikan telah melanggar ketentuan pidana? Semuanya bergantung kepada sistem negara dalam hal memberikan kebebasan warga negara untuk berekspresi melalui tulisan. Tentang kebebasan ini, setidaknya dikenal ada 2 (dua) sistem negara, yakni negara yang menganut sistem libertarian atau menjalankan sistem organis-statis. Pada sistem yang pertama, warga negara memiliki kebebasan yang luas, karena negara meyakini bahwa kebenaran adalah milik individu. Setiap orang berhak menelusuri, mencari kebenaran atas informasi yang diperolehnya, dan mempublikasikannya.<br />
<br />
Sedangkan pada sistem yang kedua, nilai kebenaran suatu informasi berada dalam kontrol dan kekuasaan negara. Bila negara tersebut menggunakan pendekatan otoriter-totaliter, maka kontrol terhadap kebebasan publikasi tulisan (baca: menerbitkan) warga negara sangat ketat. Sebaliknya, bila negara menerapkan kebijakan politik demokratis, kebebasan publikasi tulisan warga negara relatif memperoleh kebebasan. Artinya, pada sisi-sisi tertentu, negara dapat meminta pertanggungjawaban atas tulisan itu dengan dalih dan atas nama demokrasi pula.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-58284721141951770862009-12-14T04:55:00.001-08:002010-04-08T07:56:09.690-07:00Jangan Asbun, Wakil Rakyat = Atas Nama RakyatPersoalannya bukan hak imunitas, tapi mereka para wakil rakyat itu eksistensinya atas nama rakyat. Jika wakil rakyat asbun (asal bunyi), maka tindakannya itu menodai pula kontituen yang diwakilinya. Apalagi kemudian ternyata yang dikemukakannya itu tidak benar. Memalukan sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas dan kapabilitasnya sebagai anggota dewan. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Hak imunitas diatur dalam Pasal 196 ayat (1) dan (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, dan DPRD. Hak ini adalah hak kekebalan, yakni hak setiap anggota DPR yang tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. <br />
<br />
Yang perlu digarisbawahi dalam ketentuan ini adalah “...yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR”. Dengan demikian bila pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya itu karena adanya conflict of interest, seperti sentimen pribadi atau bermaksud melakukan penghinaan/ pemfitnahan, tentu dapat dipidana.<br />
<br />
Dalam perkara pernyataan Bambang Soesatyo, anggota Pansus Bank Century, yang menyebarluaskan print out dialog yang diakuinya dibuat berdasarkan bukti rekaman rapat KSSK, tentu dikemukakannya dalam kapasitas fungsi serta tugas dan wewenang anggota DPR. Sebab itu, anggota DPR dari Fraksi Golkar ini tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Andai Menkeu Sri Muljani berkeras hati melaporkan hal itu ke kepolisian, jelas bakal ditolak. <br />
<br />
Atas Nama Rakyat<br />
Namun yang patut dipahami, segala bentuk tindakan anggota Dewan hakikatnya adalah mewakili rakyat, paling tidak konstituennya. Fakta itu memberi makna anggota Dewan tidak semata harus pintar dan berani berkata vokal, tapi juga harus bijak dan memiliki adat-istiadat kesopanan yang tinggi. Bagaimana pun mereka, sekalian para wakil rakyat itu adalah pejabat negara yang sekaligus menjadi teladan bagi masyarakat.<br />
Sebagai media antara rakyat dan pemerintah, layaknya wartawan, anggota Dewan pun wajib senantiasa melakukan check and recheck serta selalu bothside cover, sebelum melakukan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis. Sebab, jika yang dikemukakannya mengandung banyak kesalahan, secara langsung atau tak langsung menjatuhkan kehormatan dirinya sekaligus partainya.<br />
<br />
Selama ini banyak anggota Dewan yang mewakili dirinya sendiri. Berteriak dan bersuara vokal, seolah melakukan kampanye terus-menerus, agar dipilih kembali pada pemilu yang akan datang. Padahal dipilih kembali atau tidak, tak sepenuhnya tergantung pada teriak-teriakannya itu, tapi sejauh mana dirinya memberikan manfaat bagi rakyat dan bagi kebesaran partainya. Banyak politisi Senayan pada periode lalu di berbagai media massa terkenal garang, toh dalam pemilu 2009 tidak laku. Kini menjadi orator-orator unjuk rasa atau menunggu giliran tampil di televisi dalam dialog interaktif.<br />
<br />
Atas nama rakyat. Itulah kalimat keramat yang selama ini sering dipakai sebagai senjata oleh para anggota Dewan yang terhormat itu. Baik untuk keluyuran –di dalam maupun ke luar negeri– dengan dalih studi banding, yang ujung-ujungnya ternyata melakukan aksi tipu-tipu (baca: korupsi) melalui cara kongkalikong dengan Pemda setempat. Contohnya, banyak anggota Dewan periode lalu yang masuk penjara gara-gara terlibat proyek pembangunan daerah, seperti Al Amin Nasution, Hamka Yamdhu, Abdul Hadi, dan masih banyak lagi. Belum lagi anggota DPRD di daerah yang paling suka menggerogoti dana APBD. <br />
<br />
5 Miliar<br />
Untuk Pansus Bank Century, anggota Dewan merasa tidak cukup bekerja dengan gaji yang telah diterima sejumlah puluhan juta per bulan. Dan, masih tetap dengan atas nama rakyat, Pansus Bank Century ini mengajukan anggaran yang tidak kecil 5 (lima) miliar rupiah. Terinci, untuk biaya persidangan, honor tenaga ahli dan pendamping, pemanggilan saksi, investigasi dan klarifikasi aset Bank Century, serta biaya rapat.<br />
<br />
Ibarat orang sakit influensa, pada mulanya merasa yakin dapat sembuh dengan biaya murah, cukup diobati obat flu biasa dibeli di warung sebelah rumah. Karena tak kunjung sembuh, kemudian dibawa ke dokter biasa, dan tak sembuh pula. Maka, dirujuk ke rumah sakit dengan dokter spesialis, belum tentu sembuh, tapi biayanya semakin membengkak. Skandal Bank Century, awalnya diobati dengan suntikan dana talangan Rp 6,7 trilliun, semakin parah. Sekarang, biaya membengkak menjadi Rp 6,7 trilliun ditambah Rp 5 miliar. Semuanya, uang rakyat! <br />
<br />
Kini, kita sebagai rakyat biasa, hanya bisa berdoa semoga para anggota Pansus Bank Century bekerja penuh amanah dan jujur. Dengan kata lain, tidak melakukan politik dagang sapi. Kengototan anggota Tim-9 Pansus Bank Century ingin Presiden SBY, dapat memancing kecurigaan publik. Agar kondisi warga bangsa ini tidak semakin keruh, kalau ada anggota Pansus Bank Century lagi syahwat dengan temuannya, salurkan melalui forum-forum resmi yang tersedia, baik melalui rapat-rapat maupun sidang pleno.<br />
<br />
Disetujuinya penggunaan hak atas skandal Bank Century merupakan mekanisme resmi untuk membongkar kebobrokan pengelolaan bank swasta itu. Tidak perlu secara perseorangan anggota Pansus, lagi-lagi bersembunyi dengan dalih untuk dan atas nama rakyat, melakukan jumpa pers sekadar mengumbar “syahwat” untuk diketahui publik. Karena dalam sidang pleno khusus Pansus Bank Century, sudah tercapai kesepakatan bahwa pemeriksaan skandal Bank Century oleh Pansus dilakukan terbuka yang dapat diakses publik melalui media massa.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-80286289940131751602009-12-13T19:21:00.001-08:002011-01-04T18:58:35.476-08:00Negeri Para Maling BerseragamBila mencermati berita, baik melalui media cetak maupun elektronik radio dan televisi, seolah kita ini hidup di negeri para maling berseragam. Nyaris tidak ada ruang kosong bagi pelayanan publik yang bebas dari maling-maling semacam itu. Mulai dari jajaran pelayanan lapis bawah hingga ke lapisan atas. Benar-benar negeri berpenyakit moral akut! <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Memang benar, tidak semua pejabat berseragam di Republik ini anggota geng maling. Diyakini masih ada yang bermoral dan konsisten memegang amanah rakyat. Tapi kemuliaan perilaku mereka seolah tertutupi, karena begitu banyaknya yang bermoral laksana maling. Maling-maling berseragam itu ada di mana-mana, di sektor perizinan, penegakan hukum, perbankan, bahkan di dewan perwakilan rakyat.<br />
<br />
Padahal negeri ini memiliki Pancasila. Pedoman hidup (baca: way of life) yang diyakini sebagai nilai-nilai dasar berperilaku bagi setiap warga negara. Bahkan di kantor-kantor Pemerintah, lambang burung garuda yang berkalung tameng berisi sila-sila Pancasila, bertengger hampir di setiap ruangan. Sorot mata sang garuda pun masih tetap tajam, seakan mengawasi setiap langkah lalu-lalang para pengawai negeri, yang semakin hari semakin meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa ini.<br />
<br />
Maka, sila-sila Pancasila yang setiap Senin senantiasa dibaca peserta upacara, termasuk dalam upacara peringatan hari-hari besar nasional lainnya, menjadi sebuah rutinitas tanpa makna. Padahal pada setiap rezim berkuasa di negeri ini, sang pemimpin selalu membuat pernyataan, bahwa pemerintahannya akan menjalankan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekwen. Namun, hampir di setiap lini kekuasaan, di sana-sana bercokol para maling berseragam yang senantiasa ikut upacara dan meneriakkan sila-sila dalam Pancasila. Kemunafikan yang nyata.<br />
<br />
Puncak Gunung Es<br />
Terkuaknya peran Anggodo Widjojo dalam rekaman penyadapan KPK yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, hanyalah pengungkapan puncak gunung es dari keseluruhan kebobrokan para maling berseragam. Sekarang, malah terungkap skandal Bank Century. Pembeda antara mereka dengan maling masyarakat sipil, hanya baju dan kepemilikan surat keputusan pengangkatan sebagai pejabat negara. Selebihnya, sama saja!<br />
<br />
Sudah saatnya warga bangsa ini melakukan perlawanan. Karena para pejabat negara pada hakikatnya adalah abdi praja, pelayan masyarakat. Bukan pangreh praja, bukan penguasa negara. Eksistensinya ada berdasarkan mandat rakyat melalui kontrak sosial. Para pejabat negara itu hanyalah penerima mandat serta menjalankan amanah. Sebab itu jika pejabat negara yang sudah tidak dapat dan tidak mampu memegang amanah rakyat, harus dicopot dan diganti dengan cara apa pun sesuai koridor hukum.<br />
<br />
Emeretus ilmu sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, ketika menanggapi tentang maraknya aksi-aksi massa membakar hidup-hidup para maling yang tertangkap tangan mengatakan, hal itu merupakan puncak keputusasaan rakyat. Rakyat menilai, aparat penegak hukum yang memegang mandat dan memikul amanah berdasarkan kontrak sosial, terbukti sudah tidak mampu lagi menegakkan hukum. Maka, rakyat pun mengambil kembali mandat dan amanatnya itu, yang diekspresikan dengan tindakan main hakim sendiri (eigen richting).<br />
<br />
Tembak Mati<br />
Vonis hukuman mati selama ini hanya dijatuhkan kepada pelaku kriminal umum. Sedangkan terhadap para maling berseragam, tidak ada yang divonis mati di hadapan regu tembak. Lihat saja dalam perkara Jaksa Ester, yang mencuri barang bukti dan menjualnya kembali 300 (tiga ratus) lebih pil ekstasi, hanya divonis hukuman 1 (satu) tahun. Sedangkan warga biasa, seorang sopir yang kedapatan membawa satu butir ekstasi, dihukum penjara 4 (empat) tahun. <br />
<br />
Kemudian, lihat pula pejabat-pejabat tinggi kepolisian, yang divonis karena terima uang sogok, cukup menjalani masa hukumannya di Mabes Polri. Dan, kalau pun ada pejabat tinggi negara menjalani masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan (LP), mereka ditempatkan di ruangan-ruangan khusus yang full service. Tentu saja penjatuhan hukuman yang diharapkan mampu menimbulkan efek jera, nyaris tak membawa dampak apa pun, kecuali rasa malu. Padahal para pejabat negara itu rata-rata sudah tak memiliki rasa malu. Tembak mati saja, para maling berseragam itu!HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2939390147811503782.post-61077844816497521182009-12-09T17:13:00.001-08:002011-01-04T19:00:25.968-08:00Koin Untuk Hakim Nakal dan KoruptorSudah saatnya ada koin untuk hakim nakal dan koruptor. Hakim nakal adalah hakim-hakim yang terlibat mafia peradilan, misalnya membebaskan koruptor. Mengapa? Sebab hakim nakal dan koruptor, meski kehidupannya tampak kaya, hakikatnya mereka adalah orang miskin. Karena jika tidak miskin, tidak mungkin mereka menjadi “maling”. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ide itu terinspirasi gagasan brilian para blogger dalam aksi koin untuk Prita, yang ternyata mendapatkan sambutan luar biasa. Bantuan “uang receh” –meski tidak semua–untuk bayar denda tersebut secara psikis telah menghukum hakim yang memutus perkaranya sekaligus RS Omni International. Bagaimana tidak, mungkinkah manajemen rumah sakit itu mau menerima pembayaran denda hasil donasi dari berbagai lapisan masyarakat itu? Kalau mau terima, jelas sudah kehabisan “rasa malu”.<br />
<br />
Seperti pernah diberitakan, majelis hakim PN Cirebon, yang memeriksa perkara mantan anggota DPRD setempat, karena didakwa mengkorupsi dana APBD, dibebaskan. Kemudian PN Malang, yang memeriksa kasus Kredit Usaha Tani (KUT) oleh fungsionaris Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), dilepaskan dari segala dakwaan. Dan yang paling spektakuler adalah perkara korupsi dana Bulog yang sempat menyeret mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung sebagai pesakitan, akhirnya juga divonis bebas.<br />
<br />
Benteng terkuat untuk menjebol barikade mafia peradilan adalah “keyakinan hakim”. Seperti dipahami area kekuasaan mutlak bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, yang menentukan seseorang itu terbukti bersalah atau tidak bersalah adalah keyakinan hakim. Ini wilayah kebebasan. Dan, kebebasan itu begitu besarnya serta dilindungi hukum secara universal. Di negara mana pun kemerdekaan dan kebebasan hakim sangat dilindungan.<br />
<br />
Tidak ada kekuatan dari kekuasaan apa pun yang diperkenankan memasuki, mempengaruhi, apalagi mengintervensi “keyakinan hakim”. Hakim-hakim itu ibaratnya menjalankan kekuasaan Tuhan. Itu idealnya. Sekarang, area “keyakinan hakim” itu dijualbelikan. Komoditas atau mata dagangan para hakim nakal adalah area “keyakinan hakim”. Dan nilai/harganya tidak terbatas, tergantung besar atau kecilnya perkara.<br />
Kaum “Dhuafa” <br />
Sebagai kaum “dhuafa” baik hakim nakal maupun koruptor perlu disantuni dengan uang receh. Memang, barangkali, mereka atau keluarganya tidak bakal mau menerima uang santunan itu. Namun, gerakan moral menyeluruh kalangan aktifis anti korupsi yang membawa-bawa kardus amal –seperti aksi koin untuk Prita– secara tak langsung akan mempermalukan para hakim nakal maupun koruptor. Gerakan ini dapat menimbulkan efek jera.<br />
<br />
Lambang tikus yang selama ini disimbolkan bagi pelaku korupsi, kini tampaknya sudah tidak mempan. Bagi hakim nakal maupun koruptor simbol tikus mungkin terasa tak lagi menghinakan, justru membanggakan. Seperti kebanggaan kalangan play boy yang disimbolkan dengan kepala kelinci. Simbol bagi hakim nakal dan koruptor sudah saatnya diganti dengan penggambaran seorang pengemis yang sangat gembel, tapi tetap ada gambaran bahwa dirinya adalah sosok maling elit, yakni berdasi.<br />
<br />
Saat ini kebencian masyarakat Indonesia terhadap perilaku korup semakin memuncak. Bara kebencian semacam itu harus tetap dijaga, bak panas api yang tak akan pernah padam. Tensi tinggi anti korupsi harus menjadi naluri hidup, insting perilaku setiap warga negara. Dengan demikian pada tataran praktika kehidupan, para pejabat maupun penegak hukumnya tidak menjadi “pedagang” hukum/perijinan, sedangkan pada sisi masyarakat berani menolak menjadi “pembeli” hukum/perijinan.<br />
<br />
Selama ini gerakan anti korupsi masih berada di alam orasi. Di wilayah tenggorokan. Belum menjadi perilaku bawah sadar masyarakat Indonesia. Mereka yang turun ke jalan melakukan aksi anti korupsi, berkoar-koar serta berorasi dengan nada keras dan memerahkan telinga, masih banyak yang dipertanyakan komitmennya. Lurus tindak antara sikap hati dan perbuatan, hasil pengamatan empirik Penulis, banyak bertolak belakang.<br />
<br />
Maksudnya, tak sedikit orang-orang yang semula diketahui sebagai aktifis anti mafia hukum, ketika mereka terjerat masalah hukum justru memilih langkah kompromi. Melakukan negosiasi, melakukan jual-beli hukum. Contoh paling sederhana, ketika mereka terkena tilang atas pelanggaran lalu. Daripada pada harus repot sidang tilang di pengadilan, mending pilih cara praktis, sogok petugas hukumnya di te ka pe (tempat kejadian perkara). Beres. <br />
<br />
Konsistensi Sikap<br />
Saat ini, baik pihak Istana beserta jajarannya, dan masyakarat anti korupsi yang kemarin berhasil menggerakkan aksi massa mulai dari Ibu Kota hingga ke daerah-daerah, sudah waktunya bertindak riil. Tidak lagi berteriak dan saling mengejek. Pada satu sisi, selama ini jika kalangan aktifis menilai Presiden SBY beserta perangkatnya, melakukan perlawanan korupsi hanya melalui pidato-pidato dan retorika kata-kata, sedangkan pada sisi lain pihak Presiden SBY beserta perangkatnya menyatakan, perlawanan korupsi tidak dapat hanya melalui orasi-orasi. Maknanya, kedua kubu sepakat, harus ada tindakan nyata.<br />
<br />
Dalam kalimat lain, dalam upaya pemberantasan korupsi wajib ada konsistensi sikap. Gerakan-gerakan aksi massa anti korupsi, seperti yang diperlihatkan pada 9 Desember, harus menjadi agenda rutin. Sebab dengan peringatan yang berulang, diharapkan lama-kelamaan akan terbangun tingkah laku balas (response behavior) tersembunyi untuk menghindari tindak korupsi. Dan, melalui generalisasi sikap petindaknya, maka akan terjadi pula penghindaran-penghindaran terhadap segala tindak yang mengarah atau termasuk katagori korupsi, seperti suap dan pungli. Pada titik itulah Gerakan Indonesia Bersih tercapai. InsyahAllah.HENNY MONOhttp://www.blogger.com/profile/13094420593061098371noreply@blogger.com0